Pernah mendaki gunung dan tiba-tiba merasa capek di tengah jalan? Kalau iya, pasti Anda tahu rasanya. Saat lelah, Anda punya dua pilihan: terus memaksakan diri naik atau berhenti sejenak untuk mengatur napas, minum air, lalu lanjut lagi. Dalam dunia menulis, hal yang sama juga berlaku. Anda boleh punya impian besar jadi penulis hebat, tapi tetap harus sadar diri: seberapa kuat tenaga dan kemampuannya sekarang?
Ambisi besar itu bagus. Tapi ambisi tanpa tenaga cuma bikin frustrasi. Banyak orang ingin langsung menaklukkan “puncak”, misalnya menulis di media besar, punya ribuan pembaca, dapat bayaran tinggi — padahal baru saja belajar menulis. Sama seperti mendaki gunung tanpa latihan dan tanpa peralatan. Bisa-bisa belum sampai puncak, sudah tumbang di tengah jalan.
Kalau Anda mau jadi penulis, jangan langsung mikir jadi best writer of the year. Mulailah dari hal kecil. Tulis yang ringan-ringan dulu. Sama seperti orang berjalan kaki, semuanya dimulai dari satu langkah kecil. Tidak perlu lari dulu, yang penting jalan terus. Lama-lama, Anda akan terbiasa dan kuat melangkah lebih jauh.
Kita ini manusia biasa. Bukan burung yang bisa langsung terbang ke puncak. Jadi nikmati prosesnya. Kalau Anda yakin dan terus berjalan, pelan-pelan pasti sampai ke tujuan. Menulis itu bukan soal bakat. Tidak ada yang langsung jago nulis sejak lahir. Sama seperti anak kecil belajar jalan, awalnya jatuh-bangun dulu. Tapi karena terus mencoba, akhirnya bisa juga.
Menulis itu keterampilan praktis, bukan keajaiban. Yang penting latihan, latihan, dan latihan lagi. Tapi ingat, latihan juga butuh arah. Jangan asal nulis tanpa tahu mau ke mana. Rencanakan langkah-langkahnya. Mau menulis di media mana? Mau bahas topik apa? Seberapa sering Anda siap menulis setiap minggu? Semua itu penting supaya energinya tidak cepat habis di tengah jalan.
Boleh punya impian besar, tapi ukur juga kemampuan. Kalau Anda ingin tulisannya dimuat di media nasional, siapkah Anda berproses ke sana? Penulis besar pun tidak langsung menulis di media terkenal. Mereka mulai dari bawah, di media kecil, blog pribadi, atau majalah kampus. Dari situ mereka belajar, memperbaiki gaya, memperkaya diksi, dan memahami pembaca.
Coba deh tanya penulis mana pun yang sekarang sudah terkenal. Hampir pasti mereka akan bilang hal yang sama, “Saya dulu juga mulai dari tulisan-tulisan sederhana.” Mereka tidak langsung punya teori keren, tak langsung paham struktur artikel yang rapi, bahkan mungkin dulu bahasanya masih berantakan. Tapi mereka terus menulis. Itu kuncinya.
Saya juga pernah merasa tulisan saya sudah keren banget. Bulan Mei 1991, tulisan pertama saya dimuat di Jawa Pos. Judulnya “Peran Ganda Wanita”. Waktu itu saya merasa bangga luar biasa. Rasanya seperti sudah jadi penulis profesional. Tapi sepuluh tahun kemudian, saat saya baca lagi tulisan itu, saya malah tertawa sendiri. Bahasanya sederhana, diksi terbatas, dan terlalu banyak kutipan. Tapi dari situlah saya sadar bahwa proses membuat saya dewasa dalam menulis.
Tulisan saya waktu itu terlihat “biasa” karena memang kemampuan saya juga masih terbatas. Tapi saya tidak berhenti. Saya terus menulis, sedikit demi sedikit. Dan hasilnya terasa. Lama-lama tulisan saya makin mengalir, cara berpikir makin rapi, dan saya mulai percaya diri. Saya tidak minder meski banyak teman lebih pintar teori atau hafal nama-nama tokoh besar. Saya lebih memilih menulis daripada terlalu sibuk teori.
Pernah suatu kali di kampus, teman saya membahas kasus peran Irak sambil mengutip Alvin Toffler. Saya bahkan belum tahu siapa itu Toffler. Tapi saya cuek saja. Saya pikir, “Ya sudah, dia ahli teori, saya ahli praktik.” Toh, menulis bukan lomba siapa paling banyak hafal teori. Yang penting Anda bisa menyampaikan ide dengan jelas dan membuat orang mau membaca tulisanmu. Itu sudah keren.
Jadi, kalau Anda baru belajar menulis, tidak usah minder. Jangan takut karena belum tahu teori menulis. Belum kenal istilah-istilah keren atau belum punya banyak referensi. Yang penting Anda mau terus berproses. Tulislah hal-hal yang Anda tahu, yang kamu alami, atau yang kamu sukai. Jangan langsung menulis topik berat kalau belum siap. Sekali lagi mulai dari yang ringan, yang Anda kuasai saja dulu.
Bayangkan menulis itu seperti mendaki gunung. Gunung setinggi apa pun bisa didaki kalau Anda punya niat dan tenaga untuk terus naik. Tapi kalau Anda cuma punya niat besar tanpa tenaga, Anda cuma akan berhenti di kaki gunung dan menyalahkan nasib. Jadi, jangan buru-buru ingin sampai puncak. Nikmati proses mendakinya.
Yang terpenting lagi, jangan menyerah di tengah jalan. Percayalah, semakin sering Anda menulis, semakin kuat juga “otot” tulisanmu. Suatu hari nanti, Anda akan menoleh ke belakang dan tersenyum: “Ternyata saya sudah sejauh ini, ya.”
Menulis bukan soal bakat besar atau teori rumit. Ia adalah soal konsistensi dan kesadaran diri. Anda boleh punya mimpi setinggi langit, tapi jangan lupa melangkah dengan kaki yang kuat. Latihan, kesabaran, dan keberanian untuk terus menulis adalah tenaga utama yang akan membawa ke puncak. Jadi, jangan cuma punya nafsu besar. Perkuat juga tenagamu. Lalu teruslah menulis.