Saya pernah menjadi pembicara dalam pelatihan menulis di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, 30 Agustus 2018. Seperti biasa, di sesi tanya jawab selalu ada pertanyaan menarik yang datang dari peserta. Kali ini, pertanyaannya cukup menggelitik dan sangat mungkin pernah dialami siapa pun yang ingin menulis.

“Pak, apakah Bapak pernah mengalami tulisan yang Bapak buat diprotes pembaca?” tanya seorang peserta.

Saya tersenyum. “Teruskan, Bu,” jawab saya.

Ia melanjutkan dengan nada sedikit kesal, “Saya pernah mau menulis, Pak. Tapi teman saya malah mengejek. Katanya tulisan saya biasa-biasa saja. Tapi memang teman saya ini beda pandangan dengan saya. Setiap saya menulis, hampir selalu dikritiknya.”

- Poster Iklan -

Saya bisa memahami perasaan peserta itu. Dulu saya juga pernah berada di posisi yang sama. Waktu masih mahasiswa, saya pernah mengirim tulisan ke majalah fakultas. Saya mengetiknya berhari-hari dengan mesin ketik manual merek KOFA (saya beli saat sekolah di SMP). Jadi bukan komputer seperti sekarang. Tapi begitu tulisan itu dibaca senior, reaksinya bikin hati panas. Ia langsung membanting naskah saya sambil berkata, “Ini tulisan apa?”

Bayangkan perasaan saya waktu itu. Sudah capek mengetik berlembar-lembar, malah dibanting begitu saja. Dalam hati saya hanya berkata, “Kurang ajar. Tapi nanti saya akan menulis lagi.” Ya, saya marah, tapi saya juga bertekad. Saya bahkan pernah mendengar, tulisan seorang dosen pun pernah dilempar keluar jendela oleh senior yang sama. Jadi, kalau tulisanmu dikritik, kamu tidak sendirian.

Saya lalu bilang ke peserta pelatihan itu bahwa setiap tulisan tidak akan pernah memuaskan semua orang. Mau sebagus apa pun tulisan kita, pasti ada yang tidak suka. Coba lihat media sosial. Saat kita menulis status di Facebook atau cuitan di Twitter (sekarang X), pasti ada yang setuju dan ada yang tidak. Kadang yang tidak suka bahkan belum tentu membaca dengan tuntas, tapi sudah komentar pedas duluan.

Dan itu bukan masalah. Karena suka atau tidak suka adalah hak pembaca. Tugas penulis bukan memuaskan semua pihak, tapi menyampaikan gagasan sejujur-jujurnya. Kalau ada yang marah, tersinggung, atau tidak setuju, biarkan saja. Itu tanda tulisanmu hidup. Tulisan yang tak pernah memancing reaksi biasanya justru datar-datar saja.

Saya sering bilang, dunia media sosial adalah cermin yang bagus untuk belajar jadi penulis tangguh. Di sana, cacian dan kritik datang tanpa ampun. Tapi kalau Anda perhatikan, yang suka mencaci itu-itu saja orangnya. Namanya juga “tukang mencaci.” Dan penulis bukan alat pemuas. Kita bukan sedang lomba mencari like, tapi sedang berproses untuk menyuarakan pikiran.

Tulisan seseorang tidak akan pernah bisa mewakili semua kepala. Karena setiap kepala punya cara pandang sendiri. Ada yang melihat dengan “kacamata kuda” — hanya dari satu arah, menolak sudut pandang lain. Jadi, kalau kamu ingin jadi penulis hebat, pelajaran pertama yang harus kamu genggam adalah jangan berharap semua orang akan suka dengan tulisanmu. Kalau kamu sudah bisa menerima itu, setengah masalahmu dalam menulis sudah selesai.

Banyak calon penulis berhenti menulis bukan karena tidak bisa, tapi karena terlalu takut dikritik. Mereka ragu memulai karena khawatir dianggap tidak pintar. Padahal, sering kali orang yang paling vokal mengkritik tulisan justru bukan penulis. Orang yang benar-benar bisa menulis tahu betapa sulitnya proses itu, dan mereka jarang menghina. Karena mereka tahu, menulis butuh keberanian.

Saya pernah punya mahasiswa yang bilang ingin menulis artikel, tapi malu. Katanya takut kalau nanti tulisannya dibaca dosen. Saya jawab saja, “Kalau kamu malu, ya sudah, jangan menulis selamanya.” Kedengarannya keras, tapi itu kenyataan. Sekali Anda biarkan rasa malu menguasai, kebiasaan itu akan menempel terus. Anda akan terus mencari alasan untuk tidak menulis.

Dan alasan, percayalah, adalah musuh utama penulis. Sekali kamu terbiasa membuat alasan — alasan tidak mampu, alasan sibuk, alasan takut dikritik — kamu akan berhenti sebelum mulai. Menulis butuh keputusan, bukan alasan. Kalau kamu ingin menulis, ya tulislah. Kalau tidak, ya sudah. Tidak semua orang harus jadi penulis. Tapi kalau kamu seorang mahasiswa, apalagi akademisi, menulis itu seharusnya jadi kebutuhan.

Bayangkan, kalau dosen dan mahasiswa tidak menulis, bagaimana ilmu bisa diwariskan? Bagaimana ide dan pengalaman bisa dibagikan ke generasi berikutnya? Sekarang banyak sekali media online gratis yang bisa menampung sebuah tulisan. Dari blog pribadi sampai portal berita. Wong orang yang bukan dari dunia kampus saja berani menulis kok, masa kamu yang hidup di dunia akademik malah ragu?

Tulis apa saja. Tidak harus ilmiah. Mau artikel populer, cerita pendek, esai ringan, puisi, bahkan catatan reflektif pun tidak apa-apa. Dunia tulisan luas. Tidak semua penulis harus kaku dan formal. Yang penting kamu menulis. Karena hanya dengan menulis, pikiranmu bisa punya bentuk, bisa dibaca, bisa diingat.

Jadi pesan saya sederhana kalau Anda sudah memutuskan ingin menulis, jangan takut. Jangan berharap semua orang akan suka dengan tulisanmu. Karena itu mustahil. Selalu akan ada orang yang mengkritik, menyalahkan, atau bahkan mencaci. Tapi ingat, orang yang paling keras mengkritik belum tentu bisa menulis.

Yang penting, teruslah menulis. Tidak untuk mencari pengakuan, tapi untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa Anda mampu. Begitu Anda bisa menerima bahwa tidak semua orang akan suka dengan tulisanmu, setengah perjalananmu sebagai penulis sudah berhasil kamu lewati.

Menulis itu bukan tentang siapa paling hebat, tapi siapa paling berani. Berani jujur, berani salah, berani dikritik, dan berani terus mencoba. Karena sejatinya, tulisan yang baik bukan tulisan yang disukai semua orang, tapi tulisan yang berani berkata sesuatu. Jadi, jangan berhenti hanya karena takut pada komentar orang lain. Dunia menunggu tulisanmu, meski tidak semua akan menyukainya. Percayalah.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here