Ilmu dan kearifan lokal dapat dipandang sebagai dua sisi dari satu koin yang saling melengkapi. Di masyarakat pesisir, kedua pandangan ini masih hidup berdampingan karena relevansi ilmu pengetahuan modern dengan keyakinan kosmologis yang menjadi bagian dari kearifan lokal. Masyarakat yang akan ditelaah dalam tulisan ini berasal dari Sulawesi Tenggara. Meskipun tidak sebesar Bugis atau Makassar, wilayah ini merupakan rumah bagi dua etnis maritim besar: Suku Bajo dan Suku Buton, bagian dari enam suku pelaut utama di Indonesia (Southon, 1995). Masyarakat ini menerapkan ekonomi berbasis moral, yang menghasilkan masyarakat dengan modal sosial yang tinggi, sesuai dengan apa yang Midgley (2014) katakan sebagai masyarakat yang mengarah pada pembangunan sosial. Dalam konteks masyarakat pesisir Sulawesi Tenggara, khususnya Bajo dan Buton, praktik ekonomi berbasis moral dan kearifan lokal menunjukkan bahwa hubungan harmonis antara manusia dan alam dapat terwujud tanpa harus mengorbankan kebutuhan ekonomi.

 

Pembangunan Sosial vs Pembangunan Ekonomi

Sebelum munculnya paradigma pembangunan sosial, logika pembangunan yang dominan lebih berfokus pada aspek ekonomi semata, terutama pada pertumbuhan dan akumulasi kapital. Dalam kerangka ini, kemajuan diukur melalui peningkatan pendapatan nasional, investasi, dan produksi, sementara dimensi sosial dan ekologis seringkali terabaikan. Akibatnya, pembangunan ekonomi yang tak terkendali menimbulkan beragam eksternalitas negatif, seperti ketimpangan sosial, degradasi lingkungan, dan rusaknya tatanan sosial komunitas lokal. Kesadaran akan dampak tersebut melahirkan kebutuhan untuk meninjau ulang paradigma pembangunan agar lebih inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Di sinilah gagasan pembangunan sosial mulai mendapatkan tempat, menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi hanyalah salah satu dari banyak dimensi pembangunan yang saling berkelindan.

Dalam konteks masyarakat adat seperti Suku Bajo dan Buton di Sulawesi Tenggara, paradigma pembangunan sosial ini hadir bukan sebagai konsep akademik, melainkan sebagai praktik hidup yang telah berlangsung turun-temurun. Mereka mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, sosial, dan ekologis dalam setiap aktivitas ekonomi, melalui upacara penghormatan laut, pantangan (pamali), serta pandangan kosmologis bahwa laut, perahu, dan ikan adalah entitas hidup yang patut dihormati, bukan sekadar komoditas yang dieksploitasi. Pendekatan ini mencerminkan apa yang disebut Midgley (2014) sebagai pembangunan sosial, yang bersifat dinamis dan multifaset, di mana dimensi ekonomi tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan kolektif dan harmoni dengan alam. Dari sinilah perbedaan fundamental antara paradigma pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi modern dapat mulai dipahami.

- Poster Iklan -

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here