K-Pop tak lagi sekadar tren musik milik Korea atau Asia. Dalam satu dekade terakhir, ia menjelma sebagai fenomena global dengan basis penggemar yang massif, militan, dan sangat terhubung secara digital. Katakanlah menjadi milik dunia. Data dari International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) pada tahun 2023 misalnya menunjukkan bahwa BTS, BLACKPINK, hingga Stray Kids selalu masuk dalam daftar artis global dengan tingkat streaming tertinggi, menyaingi bahkan musisi Barat papan atas. Sementara itu, survei Korean Foundation (2022) mencatat ada lebih dari 156 juta penggemar K-Pop di 116 negara. Sebuah angka yang melonjak hampir dua kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya.
Di Indonesia, jejak K-Popers kian nyata. Dari penjualan album fisik yang mencapai jutaan kopi hanya lewat pemesanan online, hingga konser yang tiketnya habis dalam hitungan menit. Media sosial pun menjadi ruang hidup utama fandom digital ini. Hashtag #BTS, #BLACKPINK, atau #NCT sering kali menempati trending topic global, dengan ribuan unggahan per menit. Inilah wajah baru fandom di era digital; cair, lintas negara, dan amat berisik di dunia maya.
Interaksi Parasosial
Namun, apa yang membuat jutaan orang dari berbagai belahan dunia bisa begitu terkoneksi? Seolah “dekat” dengan idola mereka yang sebenarnya tak pernah benar-benar mereka temui? Di sinilah Teori Interaksi Parasosial membantu menjelaskan.




















