“Anti petani tembakau, ya? He…he…he…..” Pria itu terkekeh ketika dia menawarkan rokoknya dan mendengar jawaban kami bahwa kami tidak merokok. Kepulan asap rokok yang kesekian kali keluar dari mulutnya, menguar di ruang tamu. Beberapa jam sebelumnya, saya dan dua orang kawan melihatnya berjalan menuju pagar rumah dari arah sebuah lapangan menenteng jerigen sambil ngedumel: “Orang seenaknya saja membuang sampah. Mengurusnya tidak mau.” Pria dengan rambut memutih hanya berkaos oblong dan kain sarung. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia adalah seorang penulis besar Indonesia.
Beberapa hari sebelumnya saya diminta kawan menghubunginya untuk membuat janji wawancara melalui telepon.
“Ya, dari mana ya?”, tanya seorang perempuan dari ujung telepon sana setelah saya menyebutkan nama.
“Dari Kultur,” sahut saya. Nama itu terlontar begitu saja dari mulut saya. Kultur adalah nama pamflet ‘jadi-jadian’ kami yang baru terbit tiga edisi sejak Presiden Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998. Pada masa itu penerbitan press bermunculan bak jamur di musim hujan. Siapa pun dapat menerbitkan entah majalah, surat kabar atau sekedar buletin asalkan ada modal dan tentu ada yang menulis. Apakah nanti ada yang membacanya itu urusan nanti.
Untuk edisi keempat Kultur, kami memutuskan mewawancarai Pramoedya Ananta Toer (1925-2006). Ide itu muncul berkaitan dengan tema untuk edisi keempat yaitu budaya kekerasan. Saat itu sedang hangat-hangatnya berbagai peristiwa kekerasan di Indonesia, antara lain Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998, aksi protes masyarakat dan mahasiswa terhadap pelaksanaan dan Sidang Istimewa MPR di awal pemerintahan Presiden BJ Habibie (1936-2019). Untuk wawancara dengan Pram saya menyiapkan tape recorder kecil Sanyo, dua kaset kosong dan satu buku catatan. Tak lupa saya membawa buku Mereka Yang dilumpuhkan (edisi 1995) dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995) untuk ditandatangani.