Mimpi Besar Pendidikan Digital di Indonesia
Mimpi Besar Pendidikan Digital di Indonesia

Bayangkan sebuah rumah. Dindingnya retak, pondasinya nyaris roboh, atapnya bocor. Tapi alih-alih memperbaiki kerusakan itu, sang pemilik malah sibuk membangun menara kaca di puncaknya. Itulah potret pendidikan kita hari ini: rapuh di dasar, ambisius di angkasa.

Beberapa bulan lalu, publik diguncang kabar dari kota besar di Pulau Jawa: siswa sekolah menengah yang belum bisa membaca. Tak lama berselang, ratusan siswa SMP di Bali dilaporkan mengalami masalah serupa. Jika di kota-kota besar saja masalah ini terjadi, bagaimana nasib kota-kota kecil di seluruh Indonesia? Ini bukan kasus satu-dua anak; ini fenomena sistemik. Hasil Asesmen Nasional 2023 menunjukkan hanya 34% siswa SMP yang mencapai kompetensi minimum literasi membaca, sementara sisanya berada di bawah standar. Di daerah tertinggal, lebih dari 60% siswa belum tuntas literasi dasar. Anak-anak yang seharusnya sudah menulis esai dan menganalisis teks kompleks masih terpatah-patah membaca kalimat sederhana.

Ironisnya, di tengah krisis literasi ini, pemerintah justru meluncurkan kebijakan baru: menambahkan mata pelajaran keterampilan digital ke dalam kurikulum nasional. Dengan penuh semangat mereka bicara tentang coding, kecerdasan buatan, dan literasi digital abad ke-21, seolah seluruh siswa Indonesia siap terbang ke Revolusi Industri 4.0. Kenyataannya, banyak dari mereka bahkan belum menuntaskan revolusi abjad.

Ini penyakit akut kebijakan pendidikan kita: melompat tanpa mengokohkan pijakan. Pemerintah lebih sibuk memburu mimpi besar ketimbang membereskan kerusakan mendasar. Apakah perumus kebijakan lupa bahwa literasi membaca adalah pintu pertama menuju dunia digital? Tanpa kemampuan memahami teks, mengolah informasi, dan berpikir kritis, segala kecakapan digital hanya ilusi. Lebih parah lagi, sistem pendidikan dan kurikulum sebelumnya tak lepas dari tanggung jawab. Reformasi kurikulum yang berganti-ganti tanpa evaluasi menyeluruh memperparah ketidakpastian di tingkat akar rumput. Sistem zonasi, yang semula bertujuan untuk pemerataan, dalam praktiknya tak dibarengi pemerataan mutu sumber daya. Sistem penilaian kompetensi pun kerap dikorbankan demi target administratif: siswa dipaksa naik kelas meski belum menguasai kompetensi dasar, semata demi menjaga citra sekolah. Administrasi akhirnya lebih dipentingkan ketimbang hak anak untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Integritas guru, sebagai benteng terakhir pendidikan, harus dijaga. Namun tak cukup hanya dengan imbauan moral. Kesejahteraan guru mutlak ditingkatkan agar mereka bisa sepenuh hati membimbing siswa. Bagaimana mungkin kita menuntut dedikasi penuh dari guru yang masih berjibaku dengan persoalan ekonomi?

- Poster Iklan -

Berbagai data memperjelas betapa kronisnya masalah ini. PISA 2018 menempatkan Indonesia di peringkat 74 dari 79 negara dalam kemampuan membaca. Asesmen Nasional 2023 mengonfirmasi bahwa hanya satu dari tiga siswa SMP yang mencapai kategori “cukup” dalam literasi membaca. Bahkan, 25% siswa SD kelas akhir belum menguasai keterampilan membaca pemahaman. Jika membaca saja masih menjadi kemewahan bagi sebagian besar siswa, logikanya di mana kita berbicara tentang coding dan data science untuk semua? Apakah elite pendidikan lebih mementingkan pujian internasional tentang “Indonesia Digital” ketimbang mengakui realitas getir bahwa banyak sekolah masih kekurangan buku, listrik, internet, dan guru berkualitas? Tentu, keterampilan digital penting. Namun menambahkan mata pelajaran baru tanpa membenahi fondasi literasi adalah tindakan sembrono. Ini bukan percepatan, melainkan pelarian. Negara-negara maju seperti Finlandia, Korea Selatan, dan Singapura pun mengutamakan penyempurnaan literasi dasar sebelum memasukkan keterampilan digital ke kurikulum mereka. Mengabaikan fondasi hanya akan melahirkan generasi yang paham teknologi secara dangkal, tapi miskin pemahaman kritis. Mereka akan piawai klik, tap, dan scroll, tapi gagal membaca makna dan membedakan fakta dari hoaks.

Jika pemerintah serius mempersiapkan generasi masa depan, jalan satu-satunya adalah kembali ke dasar. Perbaiki literasi membaca dan numerasi sejak pendidikan usia dini. Pastikan setiap siswa mampu membaca dan memahami teks sebelum diajarkan keterampilan digital tingkat lanjut. Revitalisasi metode pengajaran literasi, berikan pelatihan intensif bagi guru PAUD dan SD, dan pastikan kesejahteraan mereka terjamin. Pemerintah juga harus berani berinvestasi dalam infrastruktur pendidikan dasar: perpustakaan yang layak, buku bacaan bermutu, listrik, dan internet yang stabil di setiap sekolah. Kebijakan kurikulum harus berjenjang, dengan syarat capaian minimum literasi dan numerasi sebelum siswa melanjutkan ke tingkat keterampilan lanjut. Monitoring dan evaluasi kemajuan literasi mesti berbasis lapangan, bukan sekadar laporan administratif.

Revolusi digital bukan bermula dari pelajaran coding, melainkan dari kemampuan membaca dan memahami makna sebuah kalimat. Jika itu saja masih menjadi kemewahan bagi sebagian siswa kita, bagaimana mungkin kita berbicara tentang masa depan? Selesaikan dulu akar persoalannya. Perkuat fondasi pendidikan kita. Barulah kita layak bermimpi membangun menara tinggi—yang berdiri kokoh, bukan runtuh di atas tanah yang rapuh.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here