
Tidak sedikit dari kita yang kini hafal silsilah raja-raja Korea sampai ke cicit-cicitnya, namun butuh waktu lebih lama untuk mengingat siapa itu Gajah Mada atau tokoh-tokoh penting dalam sejarah Nusantara. Bukan karena kurang cinta pada sejarah bangsa sendiri, tapi karena drama Korea—khususnya genre saeguk—disajikan dengan sangat niat dan memikat. Alur ceritanya rapi, sinematografinya sinematik, kostumnya indah, hingga CGI-nya membuat penonton percaya bahwa naga sungguhan muncul dari danau berkilau cahaya keemasan.
Sementara itu, di negara +62 ini, tontonan sejarah lokal masih berkutat dengan CGI kabut putih yang lebih mirip uap rice cooker. Tulisan ini bukan untuk membanding-bandingkan secara membabi buta. Tapi sebagai penonton yang pernah tumbuh bersama tayangan seperti Mak Lampir, Tutur Tinular, dan Angling Darma, muncul keinginan sederhana: semoga suatu hari nanti, Indonesia juga punya drama kolosal sejarah yang layak ditonton dengan bangga—baik oleh masyarakat sendiri, maupun penonton internasional.
Saya ingat betul bagaimana dulu saya menanti-nanti episode Angling Darma setiap malam. Meskipun kisahnya berlapis mitos, tetap terasa megah dan seru ditonton bersama keluarga. Tapi makin ke sini, rasa cinta itu seolah tergerus. Bukan karena saya makin tidak peduli, tapi karena tidak ada lagi tontonan sejarah yang bisa memuaskan rasa haus akan identitas dan kebanggaan budaya.
Padahal Cerita Kita Tak Kekurangan Tokoh dan Kejayaan
Jika bicara soal sejarah, Indonesia tidak kekurangan cerita epik. Dari Kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit, hingga kisah Patih Gajah Mada yang bersumpah menyatukan Nusantara, semuanya menyimpan potensi narasi yang bisa diolah menjadi tontonan megah.
Belum lagi tokoh-tokoh perempuan legendaris seperti Roro Jonggrang yang kisahnya penuh drama dan mistis, tak kalah menarik dibanding selir Jang Ok Jung. Sayangnya, kekayaan ini seringkali hanya menjadi bahan buku pelajaran atau materi lomba pidato 17 Agustus, bukan inspirasi produksi drama berskala nasional—apalagi global.
Efek Viral Drakor: Bukan Cuma Nonton, Tapi Ikut Pakaian dan Filosofi
Tidak bisa dimungkiri, drama sejarah Korea seperti Jewel in the Palace (2003), The Great Queen Seondeok (2009), hingga Jang Ok Jung (2013) pernah sangat populer di Indonesia, bahkan tayang di stasiun TV nasional. Dari situ, masyarakat kita bukan cuma mengenal nama-nama tokoh sejarah Korea, tapi juga jadi tahu bentuk hanbok, tata krama kerajaan, hingga filosofi hidup ala dinasti Joseon.
Efeknya luar biasa: budaya Korea meroket secara global hanya karena disajikan lewat cerita yang kuat dan visual yang memikat. Bahkan liburan ke Korea pun rasanya belum sah kalau belum coba pakai hanbok. Bayangkan jika Indonesia bisa melakukan hal serupa—mempopulerkan kebaya, kain adat, hingga kisah lokal lewat drama sejarah yang niat. Kita bukan cuma melestarikan, tapi juga mengenalkan budaya sendiri ke dunia.
Kenapa Drama Sejarah Kita Gagal Bikin Bangga?
Sayangnya, ketika kekayaan sejarah itu berpindah ke layar kaca, hasilnya sering membuat penonton mengernyit. Dari sinetron kolosal yang tayang ribuan episode dengan alur cerita yang muter kayak ular naga kelaparan, hingga CGI yang lebih menyerupai uap magic com ketimbang kabut mistis dari zaman kerajaan.
Belum lagi kostum yang kadang lebih mirip properti Agustusan daripada pakaian bangsawan, serta dialog yang terasa dipaksa untuk terdengar kuno padahal intonasinya kayak pidato upacara. Bukannya menghidupkan kembali sejarah Nusantara, tayangan-tayangan ini justru membuat penonton trauma untuk berharap lebih.
Kita Punya Sumber Daya, Tinggal Mau Serius atau Tidak
Padahal kalau dipikir-pikir, kita sebenarnya tidak kekurangan sumber daya. Indonesia punya aktor-aktor papan atas dengan kualitas akting yang bisa bersaing di festival internasional, punya sutradara berbakat yang sudah terbukti lewat karya-karya layar lebar, dan punya tim produksi yang sanggup bikin film dengan kualitas teknis mumpuni. Buktinya sudah ada, seperti film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018) yang mengangkat kisah raja Mataram dan berhasil menyajikan drama sejarah dengan riset dan produksi yang serius.
Atau mungkin kisah ikonik Kartini (2017) bisa diremake versi series dengan sedikit tambahan tokoh fiksi dan love line untuk menunjang karakter utama, namun tetap dikemas secara epik tanpa mengorbankan akurasi sejarahnya. Bayangkan jika tokoh-tokoh seperti Roro Jonggrang, Gajah Mada, atau Nyi Roro Kidul dihidupkan dalam bentuk serial sejarah yang ditulis dengan riset mendalam, disutradarai secara sinematik, didukung visual yang rapi, dan tayang dengan jumlah episode yang manusiawi. Bukan tidak mungkin, suatu saat kisah Majapahit bisa tayang di Netflix, dan kita tidak lagi cuma jadi penonton, tapi juga penyumbang konten sejarah yang bisa dibanggakan di mata dunia.
Di sisi lain, industri perfilman lokal juga sering berjalan terseok karena minimnya sistem pendukung—baik dari pemerintah, sponsor, hingga akses birokrasi yang justru menghambat. Beberapa sineas bahkan menyebut bahwa untuk sekadar mengurus izin syuting di situs bersejarah saja bisa memakan waktu dan proses yang berbelit-belit. Belum lagi lembaga sensor yang seringkali menjadi momok karena dianggap terlalu kaku dan tidak memberi ruang untuk narasi yang sedikit berbeda dari pakem yang “aman”.
Kritik, Sensor, dan Support System yang Setengah Hati
Ironisnya, ketika ada sineas lokal yang mencoba mengangkat tema sejarah atau budaya lewat produksi yang tidak biasa, respons publik justru sering keras dan tidak memberi ruang tumbuh. Netizen kerap jadi komentator paling vokal, padahal belum tentu paham seberapa rumit dan beratnya produksi sebuah drama sejarah. Kritik soal kostum, naskah, bahkan akting kadang dilempar semena-mena, tanpa diiringi dorongan atau dukungan yang konstruktif.
Di sisi lain, industri perfilman lokal juga sering berjalan terseok karena minimnya sistem pendukung—baik dari pemerintah, sponsor, hingga akses birokrasi yang justru menghambat. Padahal untuk menghasilkan tayangan sejarah yang layak dibanggakan, semua pihak harus bergerak bersama. Bukan saling menyalahkan, tapi saling mendorong.
Penonton Sudah Siap Bangga, Tapi Produksi Harus Mau Niat
Saya bukan sedang membandingkan secara membabi buta antara drama Korea dan tontonan lokal. Saya cuma penonton yang cinta negeri sendiri, tapi juga lelah berharap. Sejarah kita tidak kalah megah. Tokohnya tidak kalah heroik. Budayanya tidak kalah estetik. Tapi mengapa hasil akhirnya sering membuat kita bertanya: ini naskah sejarah atau cerita parodi bertabur kabut putih?
Kita sudah pernah punya Sultan Agung, Gadis Kretek, dan beberapa karya yang membuktikan: kalau niat, bisa kok. Tapi mengapa setelah itu sepi lagi? Mengapa ketika Korea sibuk menyebarkan sejarahnya lewat layar kaca, kita justru lebih sibuk sensor asap dan debat durasi?
Andai sineas kita diberi ruang, waktu, dan dukungan sebesar harapan para penontonnya—andai kita semua, termasuk netizen, mau berhenti menyepelekan produksi lokal yang sedang belajar bangkit—mungkin suatu hari nanti kita tak perlu lagi nonton drama kerajaan dari luar negeri untuk merasa bangga. Karena akhirnya, kerajaan kita sendiri tampil megah di layar… tanpa kabut rice cooker.
Kita, meski hidup di zaman serba digital, tetap manusia biasa yang haus akan cerita—terutama cerita tentang diri kita sendiri. Jadi kenapa tidak mulai dari sekarang, membuat sejarah kita kembali hidup dalam bentuk yang layak dinikmati, dibanggakan, dan disebarkan?