Yae tidak pernah merencanakan sebelumnya untuk keluar rumah hari ini. Hari libur sangat menyenangkan untuk dihabiskan sendiri di rumah. Biasanya Yae akan tiduran sepanjang hari setelah membaca satu buku. Dan jika sore telah datang, ia akan membuka jendela kamar lebar-lebar, melempar pandangan ke arah danau. Di sana, di tepi danau itu, ada pohon sakura yang besar berdiri sendirian. Jika musim semi tiba, dari kejauhan pohon sakura itu terlihat seperti lolipop merah jambu. 

Tidak juga ia lewatkan untuk menurunkan pandangan ke bawah jendela, memeriksa kucing oranye yang suka mendengkur di bawah rimbun ajisai. Kucing itu benar-benar malas, melebihi kemalasan Yae di hari libur. Sesekali apabila terusik dengan suara Yae, kucing itu membuka sedikit matanya dan merenggangkan tubuh, kemudian tidak peduli kepada Yae yang berusaha mengusik kemalasannya dengan aroma kesemek matang. 

Namun pagi ini, saat membuka mata, Yae didatangi sebuah keinginan untuk berjalan-jalan. Ia tidak menentukan sebuah tujuan, hanya berjalan-jalan saja. Mungkin, mengitari kota sampai hari senja. Keinginan itu cukup mengherankan, bagai dorongan yang tidak butuh alasan. Dan ia tidak menemukan alasan kenapa ia harus berjalan-jalan hari itu. 

Teman sekantor Yae, pernah memberi usul untuk berjalan-jalan di hari libur. Tetapi Yae terlalu malas untuk mengatasi kemalasannya sendiri. Tidak ada tempat paling nyaman, yang bisa menyaingi kasur empuk, angin yang berembus dari jendela, seekor kucing oren, dan sebuah novel roman di hari libur. Itu sudah jadi kebiasaan yang sulit untuk dilanggar. Namun, bukan karena usulan yang pernah diutarakan temannya itu, sehingga pagi ini ia terprovokasi untuk keluar rumah. 

- Poster Iklan -

Membungkus tubuh dengan sweter abu-abu, Yae mengayuh sepeda,  menyusuri jalan-jalan sempit yang sunyi. Dinding-dinding bangunan terpaku dalam perenungan abadi. Sunyi yang tiada lebih sunyi, sehingga yang singgah di telinganya hanyalah suara pedal sepeda dan sekali-dua decit ban. Kota seolah-olah telah lupa cara bangun dari tidur pagi ini. 

Tapi Yae kurang bisa membandingkan keadaan kota di akhir pekan dan hari-hari kerja, karena ia sendiri tidak pernah melihat kota di hari libur. Semenjak ia datang sebagai pekerja di kota itu, harinya selalu sibuk dan bising dengan pekerjaan. Kesunyian hanya ada dalam dengkur malam dan akhir pekan yang lelap. 

Berhenti di persimpangan, Yae menengok ke arah jalan yang saling berlawanan, bergantian. Sepanjang pandangannya, jalan tampak kosong. Itulah kekosongan yang dingin. Sungguh menusuk. Rasa-rasanya darah dalam pembuluh di sekujur tubuh Yae telah membeku. 

Di depan persimpangan, ada sebuah stasiun kereta yang kecil, bangunannya terlampau sederhana, seperti stasiun kereta di pedesaan. Tidak seorang pun duduk di sana. Bangku panjang  bersendiri dengan pagi dan udara yang masih sejuk. Sebuah papan putih menerangkan nama stasiun itu, namanya asing, seakan-akan stasiun itu tidak pernah ia kenali. 

Setelah melewati stasiun, kurang lebih 100 meter, Yae menemukan sebuah kedai teh. Tirai cokelat di pintu kedai tampak kaku, padahal angin sedang berembus. Mata Yae menerobos ke dalam kedai melalui celah tirai, kursi-kursi kayu tampak kosong. Tidak tampak pemilik kedai, tidak ada sahutan meskipun Yae memanggil. Padahal Yae sangat ingin menikmati nerikiri dan secangkir teh. 

Kesunyian yang ganjil, ke mana orang-orang pergi? Barangkali semua penduduk kota sedang berkumpul di Hakozakigu untuk meramaikan festival. Tetapi apakah perlu seluruh penduduk kota pergi? 

Melewati sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dua tepi sungai, Yae berhenti sejenak. Ia melongok ke bawah. Tidak ada sesuatu yang istimewa. Hanya air sungai yang bening, tenang, seperti seorang pertapa yang khusyuk. Air tidak beriak, tidak ada kecipak dari kibasan ekor ikan koi. Bahkan sungai menolak meminjamkan dirinya untuk mencatat keberadaan Yae. 

Menuntun sepeda, Yae memasuki sebuah taman kota yang kuning kemerahan. Pohon-pohon ginko menguning, dan momiji laksana lidah api yang memijar warna merah menyala. Yae menanti daun yang berlenggak-lenggok di udara karena putus dari tangkai, disapu angin, lalu mendarat di sebuah tempat. Namun, daun-daun itu membeku. Tidak ada yang melayang jatuh. Satu daun terjebak di udara, menggantung, diam, tidak pernah sampai ke tanah. Alangkah ganjilnya pemandangan itu, seperti sebuah perjalanan yang tidak akan pernah sampai pada tujuan. 

Perasaan asing mulai merasuk ke dalam hati Yae. Ia mulai menyoal kembali, alasan untuk berjalan-jalan di hari libur. Apakah dorongan itu datang hanya untuk menyaksikan sebuah hari  musim gugur di mana kota sudah bunuh diri? Meskipun Yae mencintai hening dan kesendirian, tetapi kesunyian hari ini menggigilkan. Kesunyian yang bisa mencekik seseorang. 

Yae lekas-lekas mengayuh sepedanya. Menuju jalan besar. Tetapi, jalan besar hanya menyuguhkan hamparan  yang lebih menyedihkan daripada padang pasir gersang. Sebuah hamparan yang melahirkan keputusasaan. Yae lebih menyukai jika ada seekor ular melintas, untuk menandai sebuah kehidupan. Seekor ular bahkan tidak menjadi ancaman saat itu. 

Perasaan asing lamat-lamat menjelma takut dalam diri Yae. Meneror seperti panggilan telepon dari nomor tak dikenal di tengah malam. Ia mengayuh sepeda lebih kencang, melewati lampu lalu lintas yang berkedip berganti warna, menembus jalan-jalan kota sampai matahari nyaris terbenam. Ke sudut mana pun ia pergi, ia tidak menemukan satu hela napas milik orang lain. 

Suara pedal sepeda, desis ban yang menggilas aspal, dengung sunyi di telinga dan napas yang berkejaran membuat Yae frustrasi. Otot kakinya mulai lelah. Yae menyerah untuk mengayuh sepeda. Dan akhirnya berhenti, ketika warna jingga sudah terbit di barat. 

Yae berdiri, memandangi sebuah bangunan. Cahaya matahari yang lemah menyorot pucuk bangunan itu. Bangunan itu tampak seperti sebuah kastel masa lampau, yang entah bagaimana terseret di masa kini. 

“Museum Hal-Hal Yang Tidak Terjadi” sebuah nama menjelaskan kebenaran bangunan itu. Nama itu mendorong Yae untuk mendekat. Pikirannya tergugah, barangkali museum itu punya jawaban. Kalau saja museum itu adalah pintu, maka ia adalah jalan keluar yang dicari Yae. 

Yae memarkir sepedanya di samping pohon kamper di depan museum. Tidak ada kendaraan lain. Lagi-lagi kesunyian yang dingin, seperti sebuah kematian.

Pintu kayu museum tertutup rapat. Yae memiliki perasaan bahwa pintu itu sedang menatapnya. Ia melangkah pelan, mengetuk. Muncul hening yang mengiris. Lalu, tanpa dorongan apa pun, pintu itu bergerak, terbuka sedikit, menyambut kedatangan Yae. 

Mata Yae langsung tertuju pada jam ukir besar, tingginya nyaris menyentuh plafon bangunan, letaknya di salah satu sudut ruang utama. Lonceng jam berdentang, suaranya menggema. Namun, jarum jam sama sekali tidak bergerak. 

Di dalam, udara terasa dingin dan berbau seperti kertas tua yang basah. Suara langkah Yae di lantai kayu kusam menguap di udara. Cahaya remang datang dari lampu yang menggantung rendah. Cahaya itu sesekali gemetar seperti hendak padam. 

Lemari kaca berbaris di sepanjang lorong. Di balik kaca, Yae melihat benda-benda yang membuat napasnya tertahan: sebuah jam saku yang jarumnya berputar mundur, segelas kopi yang asapnya membeku di udara, sepucuk surat dengan alamat yang tidak pernah ada di peta, sebuah buku dengan halaman-halaman yang kosong, dan sebuah tiket kereta menuju Tokyo. Setiap benda memiliki label kecil berwarna krem, bertuliskan:

“Pertemuan yang seharusnya terjadi, 14 Mei 1992”

“Tangisan yang tidak sempat pecah, malam musim hujan”

“Hubungan yang tidak pernah dimulai”

“Cerita-cerita yang tidak pernah ditulis.”

“Perjalanan yang  batal, musim semi 1990”

Yae meneruskan langkahnya, memasuki sebuah ruangan yang tidak kalah muram. Tanpa jendela. Cat putih tembok yang usang, menceritakan perjalanan usia. Di tembok berjejer foto-foto berwarna. Yae mendekat, ia merasa akrab.  Gambar-gambar itu bukan  sesuatu yang baru, tetapi hal-hal yang telah melekat dalam ingatannya. 

“Stasiun kereta yang tidak jadi dibangun, 1950.”

“Kedai teh dan toko manisan yang hanya rencana.”

“Jembatan yang batal jadi tempat pertemuan sepasang suami-istri yang terpisah karena perang Dunia II”

“Pohon-pohon yang tidak tumbuh karena musim panas yang ekstrim.”

Yae tertegun. Air ludah mendadak terdesak masuk dalam kerongkongan. Matanya kemudian beralih pada gambar di sebelah kiri: sebuah gambar kamar tidur yang sederhana, ranjang kosong, sebuah jendela yang menganga, di bingkai jendela itu seekor kucing oranye sedang duduk memandang keluar. Gambar itu memuat keterangan “Pagi yang Tak Pernah Dimulai”. Pikiran Yae terpaku pada gambar kamar itu, bukanlah itu kamar tidurnya? 

Lalu mata Yae terseret pada gambar terakhir setelah gambar itu: gambar seorang gadis yang menuntun sepeda di sebuah jalan sunyi. “Liburan musim gugur di Fukuoka yang tidak pernah terjadi.”

Menyentuh wajahnya dengan kedua tangan, Yae tersadar, seolah-olah jiwanya yang tersesat dalam kesunyian kota tersedot kembali dalam tubuhnya. Yae kemudian bertanya, “Apakah saya benar-benar keluar rumah pagi ini?”

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here