Setiap tahun, kalender cuaca di Indonesia seharusnya sudah hafal. Antara April hingga Oktober, wilayah kita biasanya memasuki musim kemarau. Namun kenyataannya belakangan ini justru lain cerita: musim kemarau malah sering diwarnai hujan deras dan banjir di mana-mana. Bukannya kering, justru jalanan berubah jadi sungai dadakan, rumah warga terendam, sawah rusak, dan aktivitas lumpuh.
Fenomena ini bukan hanya karena “cuaca ekstrem” semata. Ada banyak faktor yang sebenarnya sudah lama kita tahu, tapi seolah dibiarkan: buruknya tata kota, penebangan liar yang masif, hingga kebiasaan membuang sampah sembarangan yang masih saja dilestarikan masyarakat.
Tata Kota yang Buruk, Warisan Masalah yang Terus Terjadi
Salah satu penyebab utama banjir di musim yang seharusnya kemarau adalah tata kota yang buruk. Banyak kota besar di Indonesia dibangun tanpa perencanaan drainase dan resapan air yang memadai. Alih-alih memperluas ruang terbuka hijau (RTH) untuk menyerap air hujan, lahan-lahan kosong malah berubah jadi pusat perbelanjaan, perumahan padat, hingga gedung pencakar langit.
Sungai yang dulunya lebar kini menyempit karena pembangunan, bantaran yang seharusnya steril justru ditempati rumah-rumah warga. Drainase tersumbat oleh sedimentasi, lumpur, atau sampah plastik yang dibuang sembarangan. Akhirnya, hujan deras sedikit saja langsung menggenangi jalan-jalan utama.
Jika kota-kota kita ingin benar-benar siap menghadapi perubahan pola cuaca ekstrem, sudah saatnya pemerintah serius memperbaiki tata kota. Memperbanyak taman kota, memperluas lahan resapan, memperbaiki sistem drainase, serta menegakkan aturan tentang tata ruang yang sering kali hanya jadi dokumen pajangan.
Penebangan Liar: Menggerus Hutan, Mengundang Bencana
Selain kota yang tak tertata, kerusakan hutan karena penebangan liar juga jadi dalang banjir yang makin sering. Hutan yang semestinya jadi “penyerap” air hujan sudah berubah jadi kebun sawit, permukiman liar, atau gundukan kayu gelondongan hasil pembalakan ilegal.
Tanpa pohon-pohon besar yang menahan air dan menjaga tanah tetap stabil, air hujan langsung turun deras ke permukaan tanpa sempat diserap. Tanah jadi gundul, erosi terjadi, tanah longsor mengancam. Tidak heran jika daerah hulu sungai kirim banjir bandang ke daerah hilir.
Pemerintah harus tegas memberantas penebangan liar. Sanksi berat harus diterapkan bagi pelaku pembalakan ilegal, dan rehabilitasi hutan harus dipercepat. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga hutan juga perlu diperkuat melalui pendidikan lingkungan sejak dini.
Kebiasaan Buruk: Sampah yang Dilestarikan
Faktor terakhir yang tak kalah penting adalah kebiasaan buruk masyarakat sendiri. Sampai hari ini, banyak orang masih menganggap sungai sebagai tempat sampah raksasa. Botol plastik, kasur bekas, bahkan limbah rumah tangga semua dibuang sembarangan ke sungai. Akibatnya, aliran air tersumbat, sungai jadi dangkal, dan banjir pun tak terelakkan.
Perubahan pola pikir masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan sebenarnya sederhana tapi sangat penting. Perlu kampanye berkelanjutan, penyediaan tempat sampah yang cukup, sistem pengelolaan sampah yang lebih modern, hingga penegakan aturan berupa denda bagi pelanggar.
Banjir Adalah Peringatan
Banjir di musim kemarau adalah peringatan keras bagi kita semua: bahwa bumi tidak lagi bisa menoleransi kelalaian kita. Tata kota yang kacau, hutan yang terus dirusak, serta sampah yang dibiarkan, semua kembali kepada kita dalam bentuk bencana.
Jika tidak segera diubah, pola ini akan terus berulang, bahkan bisa lebih buruk. Banjir, longsor, gagal panen, kerusakan ekonomi, hingga hilangnya nyawa manusia menjadi taruhannya.
Sudah waktunya kita berhenti menyalahkan “cuaca ekstrem” saja. Sebaliknya, mari kita benahi cara kita memperlakukan lingkungan: menuntut tata kota yang lebih baik, menjaga hutan dari penebangan liar, dan berhenti membuang sampah sembarangan. Karena kalau bukan sekarang, kapan lagi?