Nakba dalam bahasa Arab berarti “malapetaka”, dan kata tersebut mengacu pada peristiwa ketika lebih dari 700 ribu warga Arab Palestina meninggalkan tanah dan rumah mereka untuk pergi mengungsi selama perang Arab-Israel pada tahun 1948.
Peristiwa ini merupakan perang berdarah Arab-Israel dan terjadinya pengusiran atau eksodus besar-besaran penduduk Arab Palestina saat terbentuknya negara Israel pada 14 Mei 1948. Akibat yang ditimbulkan adalah munculnya trauma yang mendalam dan memori kolektif yang mencekam bagi penduduk Palestina serta penderitaan yang terus berlanjut hingga saat ini.
Jumlah pasti para pengungsi pada saat itu masih menjadi bahan perdebatan sampai saat ini, tetapi diperkirakan 80 persen warga Arab Palestina di wilayah yang kelak menjadi Israel terusir. Selain dari pengusiran dan pengungsian yang terjadi, istilah “nakba” itu sendiri juga merujuk pada kejadian-kejadian yang menimpa warga Palestina pada periode perang dari bulan Desember 1947 hingga Januari 1949.
Eksodus massal warga Palestina yang dilakukan baik secara paksa maupun sukarela ini dimulai ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi membagi Palestina menjadi dua negara, satu negara Yahudi dan satu negara Arab pada 29 November 1947.
Berdasarkan rencana pembagian wilayah yang dikemukakan oleh PBB, negara tersebut akan memiliki lebih dari 300 ribu penduduk Arab–termasuk 90 ribu suku Badui. Para pemimpin Zionis khawatir dengan jumlah orang non-Yahudi yang ada akan mengancam stabilitas negara Yahudi tersebut baik secara militer maupun sosial seperti menantang karakter mereka.
Oleh karena itu, pengungsian yang dilakukan lebih dari 700 ribu warga Arab Palestina dari desa-desa dan kota-kota Palestina pada tahun 1948 menjadi peristiwa yang dianggap menggembirakan bagi banyak orang. Chaim Weizmann, tokoh kunci dalam gerakan Zionis menyebutnya sebagai “a miraculous simplification of the problem,” atau yang berarti “penyederhanaan ajaib dari sebuah masalah.”
Penyebab eksodus Palestina tahun 1948 menjadi topik yang sangat kontroversial dalam wacana publik maupun politik hingga saat ini. Meskipun para sejarawan sepakat mengenai sebagian besar peristiwa pada periode tersebut, masih terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai apakah eksodus tersebut merupakan hasil dari rencana yang dirancang sebelum atau selama perang atau eksodus tersebut merupakan konsekuensi perang yang tidak disengaja. Menurut seorang sejarawan, Benny Morris, pengungsian yang diakibatkan oleh pengusiran tersebut direncanakan dan didorong oleh kepemimpinan Zionis.
Pada beberapa dekade setelah eksodus, muncul pernyataan atau aliran analisis yang cukup berlawanan mengenai penyebab dari eksodus Palestina pada tahun 1948 itu. Pertama dari pandangan Israel dimana Israel mengklaim bahwa tragedi tersebut merupakan “perintah dari atas,” atau dari pemimpin Arab itu sendiri. Sedangkan menurut pandangan Arab, Arab mengklaim bahwa penyebab utama tragedi tersebut dapat terjadi ialah karena ketakutan akan pengusiran dan juga kekerasan yang dilakukan oleh pasukan Zionis untuk pemenuhan mimpi lama Zionis dan mengubah tanah tersebut menjadi negara mayoritas Yahudi.
Klaim Israel menyatakan bahwa pemimpin dari warga Arab Palestina itu sendiri-lah yang melakukan evakuasi massal dengan memohon kepada warganya untuk meninggalkan rumah mereka untuk membuka jalan kepada tentara penyerang dan mereka dapat kembali setelah kemenangan sudah didapatkan.
Hal tersebut sama sekali tidak masuk akal karena tentara Arab sendiri pastinya membutuhkan warga sipil lainnya untuk persiapan dan kebutuhan mereka mulai dari makanan, transportasi, air, bahkan bahan bakar hingga informasi. Klaim tersebut dianggap semakin tidak masuk akal karena pengusiran dan perang psikologis yang terjadi itu dilakukan secara langsung oleh pasukan Israel.
Bahkan Ben Gurion, pemimpin Israel dalam perang Arab-Israel itu sendiri yang menyatakan bahwa tujuan akhirnya adalah untuk mengevakuasi populasi Arab Palestina sebanyak mungkin. Selain mengevakuasi penduduk secara langsung, ia pun kerap meminta untuk berfokus pada isu-isu ekonomi Arab dan membuat mereka kelaparan. Penasihat Ben Gurion juga mendesak untuk melakukan penutupan toko-toko, pelarangan bahan baku dari pabrik-pabrik , melumpuhkan transportasi Arab dan berbagai tindakan lainnya.
Selain melemahkan perekonomian penduduk Arab Palestina, perang psikologis juga dilakukan oleh pasukan Zionis. Irgun, organisasi paramiliter Zionis yang beroperasi di Mandat Palestina saat itu berupaya untuk membuat siaran yang memperingatkan penduduk Arab bahwa tifus, kolera, dan penyakit serupa akan menyebar luas kepada mereka pada bulan April dan Mei. Tidak hanya itu, pesan-pesan radio yang memperingatkan penduduk Arab tentang penyakit-penyakit, ketidakefektifan perlawanan bersenjata yang dilakukan sampai ketidakmampuan para pemimpin mereka terus disiarkan dan membuat penduduk Arab Palestina menjadi ketakutan.
Kampanye militer yang melawan penduduk Arab Palestina yang menyatakan penaklukan dan penghancuran daerah-daerah pedesaan, mulai dilaksanakan pada bulan Maret 1948. Penyerangan yang dilakukan ini juga termasuk penghancuran musuh bersenjata dan juga pengusiran penduduk ke titik-titik di luar batas negara jika terjadi perlawanan selama penggeledahan.
Perang psikologis lainnya yang menjadi salah satu peristiwa sangat penting secara historis dalam mempercepat kepanikan penduduk Arab Palestina adalah insiden pembantaian Deir Yassin. Pada tanggal 9 April 1948, Menachem Begin, memimpin sebuah serangan yang disengaja dan tidak beralasan di sebuah kawasan pedesaan bernama Deir Yassin yang terletak di sebelah barat Baitul Maqdis, Yerusalem. Menachem Begin meluncurkan serangan tersebut bersama dengan kelompok paramiliter Zionis, Irgun, dan Lehi. Peristiwa tragis yang dipimpin oleh seorang tokoh fundamentalis Yahudi dan kelak menjadi Perdana Menteri Israel itu telah membantai, menelanjangi, dan memutilasi lebih dari 250 orang tua, wanita, dan anak-anak.
Kekejaman dalam pembantaian tersebut sangat mengejutkan opini penduduk Yahudi dan dunia, memberikan ketakutan dan kepanikan yang semakin besar bagi penduduk Arab Palestina sehingga menyebabkan warga sipil segera melarikan diri dari rumah mereka. Insiden tersebut menjadi peristiwa yang paling menimbulkan ketakutan diantara penduduk Arab Palestina dibandingkan dengan serangan-serangan lainnya. Bahkan pembantaian Deir Yassin dipertimbankan menjadi alasan langsung atas pelarian orang-orang Arab dari Haifa pada 21 April dan dari Jaffa pada 4 Mei.
Pembantaian ini juga menjadi alasan runtuhnya pasukan tempur Arab untuk melawan pasukan Yahudi yang terus maju karena pelarian pengungsi terbukti efektif untuk mengganggu dan menghalangi perencanaan militer Arab. Para pengungsi yang kekurangan makanan dan kebutuhan pokok lainnya mulai menjarah toko-toko makanan dan menempati kamp militer menjadikan hal ini sebagai beban berat bagi administrasi militer.
Hal-hal itulah yang menjadi dampak demoralisasi yang disebabkan oleh pasukan Zionis untuk mereka manfaatkan menjadi senjata menghancurkan moral Arab agar perlawanan segera runtuh dan penyerahan diri dilakukan segera. Dengan kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi dan sulit dijangkau, teror-teror yang terus berdatangan–tentunya sebagian besar penduduk akan memilih untuk pergi, terutama mengingat bahwa hampir seluruh pemimpin mereka telah pergi bahkan sebelum perang dimulai.
Menurut Benny Morris, para penduduk Arab Palestina dari kelas atas dan menengah yang melarikan diri secara sukarela antara Desember 1947 dan Maret 1948 berharap untuk kembali ketika negara-negara Arab memenangkan perang dan kemudian mereka dapat mengambil kendali atas negara tersebut.
Banyak sekali yang menjadi latar belakang terjadinya pengungsian warga Arab Palestina dan menciptakan kepanikan diantara warga sipil, menimbulkan perintah evakuasi warga Arab, perintah pengusiran dari otoritas Israel, pengungsian sukarela oleh warga yang lebih makmur dari kelas-kelas atas, goyahnya pemimpin Palestina, hingga ketidakrelaan untuk hidup di bawah kendali Israel.
Bahkan setelah peristiwa eksodus itu terjadi, semua upaya dikerahkan untuk mencegah warga Arab Palestina kembali. Mulai dari sumur-sumur desa yang diracuni, ratusan desa dihancurkan, tempat pembibitan dan kebun dihancurkan, ternak disita hingga puluhan pembantaian yang menargetkan orang Arab dilakukan oleh pasukan militer Israel.
Tidak hanya itu, serangkaian hukum juga ditetapkan oleh pemerintah Israel untuk mencegah warga Arab pulang ke tanah dan rumah mereka dengan melakukan penjarahan atau mengklaim harta benda yang mereka tinggalkan sehingga warga Arab Palestina dan keturunannya menjadi kaum pengungsi. Meskipun sebagian sejarawan menolak istilah ini, tidak sedikit juga sejarawan yang menyebut peristiwa ini sebagai suatu tindakan pembersihan etnis.
Hingga kini, jutaan warga Palestina yang menjadi pengungsi bersama keturunan mereka masih menjadi diaspora yang tersebar di berbagai kamp pengungsian di Tepi Barat, Gaza, Lebanon, Suriah, dan Yordania. Mereka hidup tanpa kewarganegaraan yang jelas, menghadapi diskriminasi hukum serta keterbatasan untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan.
Mimpi mereka belum juga terwujud untuk kembali ke tanah kelahiran mereka. Peristiwa Nakba bukan hanya sebatas tragedi sejarah, tetapi juga luka yang belum sembuh bahkan hingga detik ini. Setiap tahunnya, hari Nakbah menjadi pengingat akan penderitaan yang pernah dan masih dialami sekaligus memperjuangkan hak yang terus menjadi inti konflik Israel-Palestina yaitu “right of return” atau hak untuk kembali.
Pembersihan atau penghapusan etnis dilakukan secara paksa dan sistematis oleh Israel terhadap kelompok etnis dari sebuah kawasan yaitu Palestina dalam rangka untuk menciptakan masyarakat yang homogen. Serangkaian peristiwa pada tahun 1948 inilah yang diperingati oleh rakyat Palestina pada tanggal 15 Mei sebagai Hari Nakbah.
Di sisi lain, satu hari sebelumnya—negara yang didambakan oleh kaum Yahudi dideklarasikan dengan nama Israel di bagian negara Palestina sehubungan dengan berakhirnya mandat dan penarikan pasukan Inggris dari Palestina.
Selama tahun-tahun awal berdirinya negara Israel tersebut, pemimpin Zionis—Ben Gurion menyatakan bahwa bangsa Arab tidak dapat menerima keberadaan Israel dan solusi yang terbaik bagi penduduk Arab Palestina di Israel adalah untuk pergi. Selain itu, penentangan dan permusuhan penduduk Arab Palestina terhadap Zionisme dianggap tidak dapat diubah lagi dan untuk hidup bersama atau berdampingan antara orang Yahudi dan orang Arab sama sekali tidak mungkin.
Sebagian besar orang Yahudi di Palestina juga menganggap orang Palestina selalu terpinggirkan meskipun mereka adalah mayoritas. Tidak hanya itu, kehadiran penduduk Arab Palestina juga hanya dianggap terasa ketika mereka melawan apa yang mereka anggap sebagai pelanggaran Zionis atas hak dan properti mereka. Bahkan, pertahanan yang dilakukan oleh penduduk Arab Palestina dianggap sebagai kekerasan pada upaya untuk berdamai yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi di Palestina.
Sudut pandang yang sangat sempit ini membuat banyak sekali orang Yahudi yang menganggap diri mereka sebagai revolusioner sosialis di samping dari sikap mereka yang sama sekali tidak memperdulikan kehadiran dan hak-hak orang lain.