Negeri yang Berjalan di Tempat
Negeri yang Berjalan di Tempat

Mulai sekarang tidak usah berharap perubahan-perubahan mendasar di negara ini. Ini tidak bermaksud membuat kita pesimis. Bukan. Tetapi kita perlu mulai belajar realistis saja. Mungkin Anda tak sependapat dengan saya. Mungkin juga masih ada yang malu-malu. Mungkin takut kena “semprit”. Perasaan tidak enak atau semacamnya. Tetapi sekali lagi, kita perlu berpikir mendalam mulai sekarang tidak usah berharap perubahan yang kongkrit. Daripada nanti malah sakit hati?

Lho, apakah dengan demikian para pejabat dan pemimpin kita tidak melakukan atau mengawal perubahan? Apakah yang dikatakan mereka selama ini sekadar retorika? Pemimpin kita memang melakukan perubahan. Tetapi perubahan ini sifatnya hanya fisik semata. Ibaratnya, perubahan hanya pada sisi  wajah saja, soal isi bisa jadi lain.

Tugas pemimpin pun memang harus beretorika. Jika tidak beretorika nanti dianggap tidak melakukan perubahan-perubahan. Ada yang beranggapan bahwa kita tidak perlu banyak retorika, tetapi kerja, kerja dan kerja.

Ingat periode kepemimpinan pak Joko Widodo? Kerja, kerja, dan kerja yang diretorikakan apakah berbuah manis bagi perubahan bangsa ini secara mendasar saat sekarang? Perubahan memang ada, tetapi sangat artifisial, bukan? Ada banyak perubahan tetapi tidak banyak menyentuh substansi dasarnya.

- Poster Iklan -

Perubahan seperti angin yang bertiup di atas awan, tetapi tidak menyentuh tanah. Itu perubahan bukan? Tetapi bukan perubahan mendasar yang menyentuh tanah. Pandapat ini tentu sangat menggelisahkan atau membuat merah pendukung presiden yang berasal dari Solo tersebut. Tetapi kita tidak boleh takut bersuara, bukan? Kita harus mulai realitis saja. Kecuali Anda memang telah “dikunci” oleh keadaan terkait kekuasaan, materi atau yang lainnya. Dalam hal ini Anda tidak akan bisa berpikir out of the box. Anda tetap terkungkung dalam pemikiran sempit karena kebutuhan.

Apakah pemerintahan Prabowo Subianto berbeda? Hampir sama saja. Prabowo dalam beberapa kasus masih “tersandera” oleh pemerintahan sebelumnya. Jika demikian, maka berbagai perubahan apapun yang dilakukan akan sulit menyentuh substansi isi. Ini tak berarti menganggap bahwa presiden periode 2014-2024 itu jahat. Ia asalinya orang baik, hanya keadaan yang membuat dia tidak berbuat yang lebih baik sesuai harapan masyarakat sebelumnya karena telah “tersandera” pula.

Apakah kebijakan mantan Walikota Solo (2005-2012) saat jadi presiden itu pemikirannya sendiri? Dia juga sekadar melaksanakan “perintah” dari “orang yang berpengaruh”. Itulah kenapa Joko Widodo itu mudah mengucapkan janji tetapi mudah pula untuk mengingkarinya. Itu karena adanya tali-temali yang mengitarinya yang membuat dia tidak bisa berbuat secara tegas.

Pencitraan

Kita ambil contoh saja, misalnya koal korupsi. Mengapa korupsi sulit diberantas?  Meskipun pak Prabowo mengatakan akan mengejar sampai antartika saat penutupan Rapimpas partai Gerindra (31/8/24)? Karena hukum belum tegak di negeri ini.  Para pejabat semakin terang-terangan dan rasa malu  untuk melakukan korupsi. Kalau perlu hasil korupsinya dibagi-bagi, sehingga menjadi korupsi berjamaah. Akibatnya, tali-temali korupsi  semakin luas dan kuat. Lalu, untuk memberantasnya pun sangat sulit. Kenapa? Atasan, teman, bawahan semuanya terlibat. Ini sudah bukan menjadi rahasia umum. Mereka yang berkecimpung dalam kekuasaan tentu akan paham. Begitu akutnya, bukan?

Masyarakat mana tahu soal begituan? Tahunya mereka kebutuhan hidupnya terpenuhi. Negara tinggal membangun fasilitas fisik bagus untuk pencitraan atau politik mercusuar.  Lalu sama pemimpinnya digembar-gemborkan sebagai sebuah keberhasilan. Meskipun keberhasulan semu. Rakyat terbuai. Rakyat terkagum-kagum. Perkara darimana uangnya berasal mereka juga tidak akan tahu. Perkara uang itu hasil penyalahgunaan kekuasaan, rakyat pun tak akan tahu. Tahunya soal kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Bantuan langsung tunai saja rakyat senang meskipun ada penyalahgunaan keuangan negara.

Para pemimpin juga tak banyak yang berpikir sampai dasar. Misalnya bagaimana menegakkan hukum untuk kebutuhan dan kepentingan bangsa ini di masa datang. Kebutuhan mereka bagaimana caranya berkuasa dan mempertahankankan kekuasaan. Karena dengan itu mereka bisa hidup dengan makmur.

Jika hukum bisa tegak, maka efek jera akan muncul. Harapannya, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaaan lain bisa ditekan. Mengapa? Karena ada efek jera. Lha jika hukum saja tidak bisa ditegakkan bagaimana mereka akan malu melakukan penyalahgunaan kekuasaan?

Faktor Pemimpin

Perubahan yang ada di Indonesia sangat tergantung dari para pemimpinnya. Bukan berarti masyarakat tidak bisa mempelopori perubahan, tetapi sistem pemerintahan kita menempatkan pemimpin berada pada posisi penentu, sementara masyarakat hanya mengikutinya. Jika dengan demikian maka berbagai perubahan sangat tergantung pada para pemimpinnya, bukan?

Jika ada perubahan baik dan mendasar pemimpin layak untuk mendapatkan pujian. Juga sebaliknya juga, bangsa ini justru semakin bobrok maka pemimpin tak bisa lepas dari tanggung jawab. Sekali lagi karena tipe kepemimpinan di Indonesia menempatkan para pemimpin itu semagai orang yang menentukan. Anda boleh tidak sependapat dengan penyataan ini. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan. Tentu jika kita melihat secera jeli, hati yang jernih dan tak memakai kacamata kuda.

Maka untuk kondisi sekarang kita tak perlu berharap banyak perubahan yang terjadi di masa datang. Para pemimpin masih sibuk dengan urusannnya sendiri-sendiri. Untung masih ada sebagian anggota masyarakat yang tetap kritis. Meskipun kritisisme mereka akan berakibat buruk bagi diri, keluarga dan komunitasnya. Ingat, negeri ini sedang berjalan di tempat.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here