Pernah dengar kalimat, “Aku tidak bisa nulis soalnya tidak punya tempat yang tenang”? Padahal, kuncinya bukan di tempatnya, tapi di niatnya. Menulis itu tidak butuh ruang khusus dengan meja besar, kopi panas, atau dibarengi dengan musik tertentu. Kadang, ide terbaik justru muncul di tempat yang tidak terduga. Di kamar sempit, di kafe ramai, bahkan pas duduk di taman sambil melihat orang lalu-lalang.

Menulis bisa di mana saja. Di kamar, misalnya. Banyak penulis memulai karyanya dari sudut kecil di rumah, ditemani lampu redup dan secangkir teh. Di ruang itu, kata-kata bisa mengalir tanpa gangguan. Kamu bisa menulis curhatan, puisi pendek, atau sekadar catatan harian tentang hari ini. Tidak perlu muluk-muluk, yang penting mulai.

Kalau bosan di kamar, pindahlah ke warkop atau kafe. Suara mesin kopi dan obrolan orang bisa jadi latar yang menyenangkan. Banyak penulis suka suasana ini karena membuat mereka merasa “hidup”. Energi di sekitar membantu ide muncul tanpa paksaan. Coba saja, duduk di pojok kafe, buka laptop atau HP, dan tulis apa pun yang terlintas. Tentang orang yang lagi kerja di seberang meja, tentang aroma kopi, atau tentang lagu yang sedang diputar. Siapa tahu dari suasana tersebut lahir cerpen atau puisi baru.

Taman juga bisa jadi tempat menulis yang seru. Udara segar dan pemandangan hijau bikin pikiran lebih tenang. Kamu bisa menulis di buku catatan atau di aplikasi memo HP. Misalnya, kamu lihat anak kecil lagi main bola, lalu kepikiran menulis refleksi kecil tentang masa kecilmu. Sederhana, tapi bisa jadi awal tulisan yang indah.

- Poster Iklan -

Menulis sekarang tidak harus pakai laptop. Banyak penulis muda memulai dari layar kecil di genggaman. Di bus, di kamar, bahkan di antrian kasir. Aplikasi notes di HP bisa jadi “tempat menulis mini” yang praktis. Ide datang kapan saja, dan HP-lah yang paling cepat kamu raih. Jangan tunggu waktu sempurna, karena kalau nunggu, bisa-bisa idenya keburu hilang. Bahkan saya pernah menulis di layar HP dalam perjalanan Surabaya-Jepara di bus Jaya Utama Indonesia.

Tema tulisan juga tidak perlu rumit. Kamu bisa nulis apa saja. Misalnya pengalaman harian, review makanan, lagu yang lagi kamu suka, atau hal-hal kecil yang bikin kamu mikir. Contohnya begini:

“Tadi pagi aku beli kopi di kafe kecil dekat rumah. Baristanya tersenyum sambil bilang, “Pagi yang manis buat hari yang panjang.” Lucu, kan?. Kalimat sederhana tapi bikin mood naik seharian. Kadang, hal kecil kayak gitu aja bisa jadi energi besar buat melangkah.”

Tulisan sederhana seperti itu bisa kamu kembangkan jadi cerita pendek, artikel reflektif, atau bahkan konten media sosial yang inspiratif. Intinya, jangan tunggu tempat ideal untuk menulis. Ide tidak peduli kamu di mana ia bisa datang di kamar, di halte, di taman, bahkan di kamar mandi. Ini serius. Yang penting, siap menampungnya.

Mengapa begitu? Karena pada akhirnya, menulis bukan soal lokasi atau alat, tapi soal keberanian menuangkan pikiran. Jadi, mau dimanapun kamu berada (buka HP-mu), ambil buku catatanmu, dan mulai menulis sekarang. Siapa tahu, kalimat pertama hari ini justru bisa mengubah banyak hal esok nanti.

Beruntung saya dulu punya kebiasaan kecil yang ternyata besar pengaruhnya. Ke mana pun pergi, saya selalu bawa buku catatan kecil. Setiap kali ide muncul, saya langsung tulis di situ. Kadang cuma judul artikel, kadang sudah berbentuk kerangka. Saya juga punya satu buku lain yang saya sebut “kamus kecil”. Isinya kumpulan kata-kata sulit yang saya temukan dari membaca atau mendengar. Begitu ketemu kata yang asing di telinga, saya catat. Nanti setelah pulang, saya buka kamus dan tulis artinya di sana. Jaman sekarang? Sudah ada di mesin pencari internet. Lebih mudah dan praktis.

Saya tahu diri, perbendaharaan kata saya tidak seluas teman-teman di kampus. Mereka sering memakai istilah asing dalam diskusi, meski kadang salah arti. Saya justru memilih menggunakannya untuk menulis. Dunia mahasiswa memang masa pencarian jati diri, masa ingin terlihat pintar. Tapi bagi saya, yang penting bagaimana kata-kata itu bisa berguna untuk menulis gagasan.

Saya sering menulis di tempat yang tidak biasa. Salah satu tempat favorit saya dulu adalah di bawah jembatan Bengawan Solo. Di sana, saya membaca, melamun, mencari ide, sampai mondar-mandir sendirian. Mungkin orang yang melihat saya mengira saya sedang bingung, padahal saya sedang mencari kalimat yang pas untuk artikel saya.

Waktu itu saya masih mengetik dengan mesin ketik manual seharga 65 ribu rupiah. Hasil beasiswa SMP 2 Jetis, Bantul (sekarang SMP 3 Jetis) dari program PELITA. Jadi, setiap punya ide, saya tulis dulu di buku kecil. Kalau sudah sampai di kos, baru saya pindahkan ke buku besar sebagai naskah tulisan tangan.

Pernah, saat bapak saya sakit dan dirawat di RS dr. Sardjito Yogyakarta, saya tetap membawa mesin ketik itu. Setiap akhir pekan saya bolak-balik Solo–Yogyakarta sambil menenteng mesin ketik. Di rumah sakit, saya menulis di sela-sela waktu menunggu bapak. Suasananya bising, tapi saya tetap berusaha menuangkan ide. Dua bulan lamanya saya menulis di situ, sampai akhirnya bapak saya meninggal dunia. Allahuma firlahu.

Setelah itu, ibu saya membelikan komputer lama yang bunyinya mirip jangkrik saat dinyalakan. Waktu itu saya pakai program WordStar dan disket 5¼ inci untuk menyimpan data. Kecil, rawan jamur, tapi saya bahagia bukan main. Komputer itu saya gunakan untuk menulis skripsi, yang akhirnya bisa saya bukukan dengan judul Pers dalam Lipatan Kekuasaan. Saya bahkan pernah menemukan buku itu terdaftar di perpustakaan nasional Australia.

Saya juga punya kebiasaan lain. Jalan-jalan ke department store, bukan untuk belanja, tapi untuk menenangkan pikiran sambil merangkai tulisan. Kalau tiba-tiba ide muncul, saya langsung cari tempat duduk, buka buku kecil, dan menulis. Pernah juga saya hampir tabrakan karena pikiran saya masih sibuk dengan artikel di kepala.

Sekarang, zaman sudah jauh lebih mudah. Kita bisa menulis di laptop, tablet, bahkan HP. Tidak perlu lagi bawa mesin ketik atau pulpen ke mana-mana. Ide bisa langsung dicatat di layar dan disimpan otomatis di awan.

Jadi, buat saya, menulis bisa di mana saja. Di kamar, di rumah sakit, di bawah jembatan, bahkan di tengah keramaian. Yang penting ada niat untuk menuangkan pikiran. Teknologi sekarang memudahkan segalanya. Kalau saya dulu bisa menulis di tengah keterbatasan, mestinya sekarang tidak ada alasan untuk berhenti menulis, bukan?

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here