
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Barangkali kutipan dari Pramoedya Ananta Toer ini banyak dikenal khalayak. Tak terkecuali saya, sangat mengagumi ucapan Pram itu, dan bahkan menjadikannya layaknya kompas dalam sebuah perjalanan hidup. Ya, perjumpaan saya dengan karya-karya Pram boleh jadi terlambat. Kala itu, saya masih duduk di bangku perkuliahan. Terlibat dalam kegiatan pers mahasiswa membawa saya pada ide-ide, diskusi dan pengetahuan baru. Termasuk dalam membaca buku. Di bangku perkuliahan, kegemaran membaca buku sudah terbentuk. Terlebih membaca karya sastra saya jadikan sebagai kebutuhan untuk menunjang keilmuan yang sedang digeluti, yakni antropologi.
Suatu kali sebuah kegiatan diklat, sang pemateri berujar “jika kalian mau tahu bagaimana kisah hidup RM. Tirto Adhi Soerjo (tokoh pers nasional), cobalah baca-baca bukunya Pram”. Kurang lebih itu yang saya ingat. Dan benar saja, rasa ingin tahu saya didorong oleh dua hal: bagaimana kisah hidup Tirto yang diceritakan? Serta bagaimana membaca buku Pram. Buku yang katanya ditulis oleh tahanan politik, dan ada satu masa di mana mahasiswa atau orang yang membaca karyanya juga digelandang ke penjara? Sejujurnya, pengetahuan sosial-politik saya minim. Saya hanya ingin memperluas cakrawala dunia saya melalui sastra.
Dan benar saja, saya langsung terpana dengan karya-karya Pramoedya. Antara lain pada karya Tetralogi Pulau Buru. Satu hal yang semakin membuat saya berdecak kagum, lantaran satu tokoh karakter kuat seorang perempuan bernama Nyai Ontosoroh. Karakter Nyai Ontosoroh hadir dalam novel Bumi Manusia, bagian pertama dari Tetralogi Pulau Buru. Nyai Ontosoroh pun menjadi salah satu karakter ikonis dalam dunia sastra Indonesia. Saya sebagai pembaca, sulit untuk tidak terkesima oleh karakter perempuan tangguh ini. Meskipun karakter fiksi, karakter yang ditulis oleh Pram ini rupanya menunjukkan simbol perlawanan terhadap sistem patriarki dan kolonialisme yang menindas. Seperti apakah karakter Nyai Ontosoroh dan bagaimana Pramoedya menunjukkan sisi perlawanan perempuan Jawa?
[…] novelnya, Pramoedya menggambarkan betapa sistem feodalisme memberikan dampak negatif bagi masyarakat pribumi. Ia menyoroti bagaimana jabatan dan pangkat […]
[…] karakter perempuan yang melawan stigma dan diskriminasi, Nyai Ontosoroh menunjukkan bahwa keberanian dan keteguhan hati dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem […]