Hidup di negara yang penuh oligarki sebagai rakyat kecil sungguh tidak menyenangkan. Berharap pada sekumpulan Borjuis untuk merubah negara menjadi lebih baik adalah sebuah keniscayaan. Seperti yang disampaikan oleh Friedrich Engels dalam bukunya The Condition of The Working Class in England “Kaum Borjuis hanya punya satu tujuan : keuntungan. Demi mengejarnya mereka menginjak-injak semua pertimbangan kemanusiaan.”. itu terlihat jelas sekarang di negara kita Indonesia, dimana para borjuis bersaing menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan batasan norma dan etika sosial maupun kemanusiaan.
Istilah Borjuis berasal dari bahasa Francis “Bourgeois” yang awalnya merujuk pada golongan masyarakat kelas menegah yang tinggal dikawasan perkotaan (Bourg). Mereka adalah para penguasa ekonomi yang perlahan menjadi penguasa politik, karena mereka memiliki uang yang memungkinkan mereka untuk mengendalikan hukum, kebijakan, dan bahkan opini publik.
Seiring perkembangan kapitalisme, kekuatan borjuis tidak lagi terbatas pada pemilik pabrik atau tanah, melainkan meluas ke para pemilik modal besar, korporasi multinasional, dan elite politik yang berkolaborasi demi mempertahankan privilese mereka. Di Indonesia, pola ini terlihat jelas sejak era kolonial, ketika segelintir pemilik modal bekerja sama dengan penguasa kolonial untuk mengontrol perdagangan, perkebunan, dan sumber daya alam. Warisan tersebut tidak hilang setelah kemerdekaan, melainkan bertransformasi dalam bentuk oligarki modern yang memadukan kekuatan ekonomi dan politik.
Mereka kini bahkan tidak perlu lagi menyembunyikan perbuatannya. Jika kau memiliki uang, berarti kau memiliki kekuasaan.Undang-undang seolah kehilangan roh dan identitasnya di hadapan mereka; hukum berubah menjadi sekadar permainan yang bisa direkayasa sesuka hati untuk melindungi kepentingan mereka. Yang lebih memuakkan, orang-orang yang sebelumnya kita pilih dengan harapan mampu menjadi solusi atas masalah sosial yang mereka ciptakan, justru berbalik arah. Alih-alih membela rakyat, mereka malah bergabung dalam lingkaran kekuasaan borjuis, dibutakan oleh gemerlap uang dan godaan jabatan. Kesetiaan kepada rakyat tergadaikan, dan suara hati nurani dibungkam demi mempertahankan kenyamanan yang diberikan oleh para pemilik modal.
Berbagai dalih mereka ucapkan demi meraih kursi kekuasaan, namun pada akhirnya tetap menjilat, bersikap munafik, dan bermuka dua di hadapan rakyat. Sungguh menjijikkan melihat mereka begitu cepat melupakan tanggung jawab sosial sebagai pihak yang diberi mandat untuk memimpin. Kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk melayani justru berubah menjadi kendaraan pribadi untuk menumpuk kekayaan dan memperkuat posisi. Aparat negara dan instrumen hukum diperalat sebagai tameng untuk menekan kritik, membungkam suara-suara yang berbeda, dan mengintimidasi mereka yang berani bersuara. Masyarakat dipaksa bungkam, dibungkus dengan janji-janji manis yang tak pernah ditepati. Di hadapan publik, mereka berlagak peduli dan penuh empati, tetapi di balik layar, mereka tunduk dan patuh pada kepentingan para borjuis yang menjadi penyandang kekuasaan sesungguhnya.
Kekuasaan yang berada di tangan segelintir borjuis tidak akan pernah membentuk suatu kesatuan yang utuh dan adil. Tidak ada sedikit pun kepedulian terhadap ketimpangan, penindasan, atau ketidakadilan yang menimpa rakyat. Sistem sosial yang mereka bangun ibarat parasit yang menempel pada tubuh negara merambat, mengakar, dan menggerogoti dari dalam tanpa pernah merasa puas. Segala kebijakan diarahkan untuk melanggengkan kekuasaan mereka, sementara kebutuhan rakyat hanya menjadi retorika kosong. Kaum proletar dijadikan perisai, dimanfaatkan sebagai tameng perlindungan. Setiap kesalahan besar yang sulit ditutupi, akan dialihkan dan ditimpakan kepada rakyat kecil, seolah merekalah biang dari semua permasalahan yang ada.
Bentuk paling menjijikkan dari semua itu adalah ketika suara rakyat tak lagi didengar, seolah ketimpangan dan ketidakadilan tak pernah ada di mata mereka, sementara para penguasa tunduk sepenuhnya pada kehendak para borjuis. Segala upaya yang kita lakukan terasa percuma, sebab di saat para pemegang kekuasaan tak berani bertindak, harapan rakyat perlahan terkikis hingga menyisakan rasa pasrah terhadap keadaan yang seharusnya dilawan. Lingkaran setan yang dibentuk oleh borjuis ini begitu busuk dan rapat, sulit ditembus, dan membuat ketidakadilan terus berulang dari generasi ke generasi tanpa ada tanda-tanda akan berakhir.
Kekuatan borjuis yang semakin tidak terkendali menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi yang besar. Konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang menyebabkan timbulnya kemiskinan struktural pada rakyat kecil, di mana peluang memperbaiki nasib semakin terbatas, dan angan-angan menjadi Indonesia emas hanya omong kosong. Begitu pula di sektor pendidikan, dominasi borjuis membuat pendidikan berkualitas hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu membayar mahal, sementara dana untuk memperbaiki kualitas pendidikan justru dikorupsi. Masyarakat di pelosok yang merasakan dampaknya seolah tidak dapat berbuat apa-apa. Jika akses pendidikan saja dipersulit, bagaimana mungkin menuju negara adidaya yang memerlukan SDM berkualitas yang dihasilkan dari pendidikan bermutu. Contoh lainnya terlihat dalam penciptaan lapangan kerja bagi rakyat, di mana borjuis yang mengendalikan industri dan perusahaan besar cenderung hanya fokus pada keuntungan semata tanpa mempertimbangkan apakah upah yang diterima pekerjanya sudah setimpal dengan kerja keras yang dilakukan.
Semakin jauh kita melihat, semakin ditampar oleh realita. Seolah tidak ada masa depan cerah di negara ini, tidak heran muncul tagar #KaburAjaDulu. Disisi lain bukannya introspeksi diri kenapa masyarakat memilih kabur dari negara yang mereka cintai, para Borjuis menjijikkan itu malah mempersilahkan, seolah itu sebagai salah satu bentuk menghilangkan kerikil-kerikil kecil yang menghalangi ambisi mereka.
Bukankah itu semua menjijikkan? Lalu sampai kapan kita mau diperdaya seperti ini? Setiap lima tahun, kita seolah tunduk di hadapan amplop yang disodorkan. Sudah saatnya kita menghidupkan kembali semangat demokrasi yang mulai redup, menabrak ego para borjuis menjijikkan itu, dan menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang tidak bisa diperkuda. Sejarah mencatat, tidak ada dominasi borjuis yang runtuh hanya karena belas kasihan; selalu dibutuhkan kesadaran kolektif dan keberanian untuk bertindak. Perlawanan tidak selalu berarti kekerasan, tetapi dapat diwujudkan dalam bentuk penolakan terhadap praktik kotor yang merugikan masyarakat di kemudian hari. Mungkin jalannya akan berat, namun lebih baik memiliki pendirian yang kokoh daripada terus-menerus diperdaya demi kepentingan mereka.
Diam adalah bentuk persetujuan. Setiap kali kita menutup mata terhadap ketidakadilan, kita memberi ruang bagi para borjuis untuk semakin mengakar. Kita mungkin tidak bisa mengubah dunia dalam semalam, tetapi kita bisa memulai dari langkah kecil yang konsisten. Lawanlah dengan pikiran, kata-kata, dan tindakan yang berani.