Pemakan Marmer
Pemakan Marmer

Dengan kaki-kaki yang menyemburatkan api, seekor kuda sembrani menatak gunung marmer yang entah sudah berapa ribu tahun ada di kota kami. Saking kuatnya derap kaki-kaki itu hingga marmernya retak dan bahkan di beberapa sisi gunung runtuh menimpa pertambangan yang ada di sana. Dari semua hal yang ada di dunia ini, hanya Mas Galih, kakakku, yang paling serius mengutuki peristiwa perusakan gunung marmer oleh sang kuda sembrani.

“Ini kalau dibiarkan terus, manusia bisa mati dibuatnya. Kapan sih aparat bego itu ngerti. Wong hewan liar bisa mabur kemana-mana kok tidak diikat? Dinas peternakan itu ya gak bener dan pener kerjanya. Ngertinya cuma menggorok sapi kambing saja” 

Gerutu Mas Galih beralasan. Sudah sering kuda sembrani merajuk karena tak diberikan sesaji. Biasanya, penduduk sekitar gunung marmer itu membuat sesaji. Tetapi karena zaman sudah modern, sesaji menjadi semacam itu menjadi hal yang tak berguna. Biasanya sesajinya berbentuk kembang tujuh rupa yang dibungkus dengan daun pisang yang disatukan oleh batang lidi yang dipotek. Bukan saja gunung marmer yang retak sana-sini. Hutan habis dilahap api dari kakinya itu. 

Kami sekeluarga suka makan batu. Varian batu yang paling kami sukai adalah marmer. Kamu bertanya mengapa? Karena marmer itu sumber tenaga tubuh kami. Kami sudah mencoba berbagai macam batu. Basalt di lidah kami terasa hambar, granit terlalu gampang untuk hancur jadi butiran pasir yang amat kami benci. Ya, akhirnya yang paling kami sukai adalah marmer. Lezat sekali rasanya mirip-mirip dengan roti spiku. Sangat manis dan cocok di lidah kami. 

- Poster Iklan -

Keluarga kami paling suka makan marmer (Kan sudah aku jelaskan sebelumnya alasannya). Sebetulnya memang ada pengaruh dari ayah juga sih. Ayah dulu mempelajari geologi di kampus. Dan setelah ia lulus, dengan ketekunannya ayah masuk ke dinas pertambangan kota. Dia sudah menyelami karir di dunia bebatuan lima dekade lamanya. Dalam kamar ayah, kerap kutemukan berbagai macam hal mengenai bebatuan yang pernah kami makan. Basalt, ametis, topas, bahkan berlian. Tapi, segala jenis bebatuan yang diciptakan Tuhan tak mampu menandingi gurihnya sebongkah marmer yang sudah tersaji di sebuah piring kaca dan dilumuri susu. Semua orang di duniaku suka makan batu. Tapi ya keluarga kami paling suka batu marmer. 

“Iya, gila betul. Semua sudah gila. Btw, Papa, marmer semakin langka belakang ini,” keluh ibu.

Memang stok marmer di kota kami sekarang telah menipis. Semua itu karena ulah kuda sembrani yang terus mengamuk. Gunung marmer semakin lama semakin habis. Dulu ia menjulang tinggi bahkan kata papa dulu zaman nenek moyang gunung itu menutupi ufuk! Ditambah lagi para pekerja pertambangan yang takut bekerja karena khawatir tertimpa marmer.

Oh iya, Papaku adalah seorang pendiam. Jarang dari keluhan kami ditanggapinya. Ia lebih sering berdeham. Yang aku kagumi, dari dehamanya itu masalah selesai. Dua bulan lalu, aku bertengkar dengan Mas Galih, mangkok berisi marmer pecah dibantingnya dan ibu hanya bisa mengelus dada. Papa datang dari kantornya, wajahnya tampak lusuh dan ketika melihat kami berteriak papa mendeham, dan lantas menaruh tas kerja dan menggantung dasinya di pintu masuk rumah. Mas Galih berhenti berteriak dan masuk ke kamarnya. Baru di kemudian hari aku tahu, papa memukuli Mas Galih di kamarnya ketika tengah malam.

“Kau apakan adikmu hingga menangis seperti itu? Sini lawan aku kalau berani!” begitu kira-kira perkataan ayah yang didengar ibu dan diceritakan kepadaku.  

Di suatu petang hari, dengan hujan yang rintik-rintik, kami makan malam di rumah. Aku, Mas Galih, Ibu, dan Papa. Meja makan penuh berbagai macam makanan. Semua dari bahan dasar marmer. Ada salad marmer dengan olesan mayonais, soto marmer, dan es serut marmer. Masakan ibu tiada duanya. Tangan ibu bagaikan tangan seorang penyihir, dengan racikan makanannya, dia ubah bongkahan marmer kotak-kotak menjadi makanan yang lezat dan tentu saja bergizi. Bebatuan ini memang sangat enak. Lidah keluarga kecil kami cocok dengan semua hidangan yang ada marmernya.

Kriuk! Kriuk! Kriuk! Gigi gerahamku melumat halus marmer dalam kuah soto. Tak lupa kuseruput kuah soto yang ajaib rasanya itu. 

“Pa, kuda sembrani yang mengacau itu bagaimana?” tanyaku.

“Divisi penelitian dan pengembangan menganjurkan untuk membunuhnya. Papa juga setuju,” jawab ayahku dingin.

“Jadi, kuda nakal itu tidak akan mengacau lagi ya, Pa?”

“Ya, kepala dinas sudah menerima anjuran dan mengatakan setuju. Mungkin, minggu depan akan dilaksanakan pemburuan kuda sembrani itu. Papa juga akan ikut.”

“Wah, pasti seru itu, Pa. Boleh aku ikut, Papa?”

“Tentu, matinya makhluk pengacau itu harus disaksikan pula oleh semuanya. Galih, kau juga boleh ikut, sayang, kau ikut juga ya!”

Tak ada yang berani menolak perintah papa. Sudah kubilang tadi dehaman papa pun sanggup melerai pertengkaranku dengan Mas Galih. Duniaku seperti itu. Dunia yang mungkin lain dari duniamu. Di dunia ini, manusia suka makan batu. 

“Oh ya, kalian juga harus melihat kehebatan Papa dalam menembak. Papa akan coba membujuk aparat untuk meminjamkan pistolnya. Nanti Papa akan tembak sendiri kuda sembrani itu.”

Keputusan sudah bulat. Semua orang setuju. Kuda sembrani itu harus mati dan darahnya harus sudah mengalir sebelum tahun berganti. Maka, kami sekeluarga berangkat ke gunung marmer disertai dengan teman kerja ayah dan kepolisian setempat. Hari hujan dan kuda sembrani pasti tak dapat terbang. Ini akan memudahkan perburuan dan pasti sangat dramatis sehingga dapat dijadikan uang bagi kantor pers setempat. Di dunia manapun semua manusia butuh uang. 

Gunung itu kelihatan menangis di suasana hujan begini. Tepat ketika kami tiba di sana, sayap kiri gunung itu runtuh dan bebatuan jatuh menggelinding dan sekali lagi menghujani pertambangan yang ada di bawahnya. Gubrak-gubrak-gubrak! Suaranya menyerupai gemuruh petir.

“Di sana!” polisi menunjuk ke puncak gunung marmer. Kuda sembrani itu mendongakkan kepalanya ke arah langit yang mendung dan disambut dengan gemuruh petir. 

“Kalian semua tunggu di sini, biar kami yang urus kuda itu!” kata polisi yang lain.

“Pak, bolehkah aku yang menumpas kuda nakal itu? Serahkan saja pistol bapak kepadaku,” Papa menawarkan diri untuk menjadi algojo maut bagi sang kuda sembrani. 

“Tuan yakin? Hati-hati, Tuan. Hujan begini tanah gunung jadi licin.”

Papa mendeham, dan semua seakan tak sanggup lagi menahan kehendaknya. 

Kami menunggu dengan cemas. Dari raut muka polisi terpampang bahwa mereka tidak mempercayai Papa. Memang sih badan Papa lumayan juga. Cukup berotot sisa kejayaan masa muda dimana Papa berjuang mendapatkan mama. Tapi apa boleh buat. Toh Papa sekarang sedang berlari-lari kecil menaiki bukit marmer yang licin akibat hujan. Papa terlihat seperti kurcaci kecil di kejauhan sana. Ia menekuk lutut dan membidik kuda sembrani.  

Papa menembak dan desingan peluru terdengar dari bawah bukit. Suara rintikan air hujan tak mampu menandingi suara lengkingan kuda sembrani malang itu. Peluru Papa tepat mengenai sasaran. Papa mengokang sekali lagi pistolnya dan menembak sekali lagi untuk yang terakhir kalinya. Kuda sembrani itu mati seketika. Sayang, zaman sudah begini modern jadi tak ada yang akan memperdulikan kematiannya. 

Dalam perjalanan pulang, kami diam saja. Peristiwa tadi mengguncang jiwaku. Jujur saja, aku merasa kasihan kepada makhluk yang malang itu. Kuda sembrani nakal itu dibiarkan tergeletak tanpa evakuasi apa pun. Kata polisi yang tadi menemani kami risiko untuk menurunkan jasad kuda dari atas bukit marmer sangatlah besar. Pihak mereka tidak mau ambil resiko.

“Akhirnya, kita tak akan kekurangan stok marmer lagi, “ kata Papa, “Harga marmer akan semakin murah.”

Kami masih diam. Di tikungan saat sebelum sampai di pusat kota. Akhirnya aku mencoba untuk bertanya pada Papa.

“Papa, kenapa kuda sembrani itu mengamuk terus?”

“Karena dia juga suka marmer, sayang. Stoknya tidak akan cukup untuk dia dan kita. Maka, sebagai gantinya kita suruh kuda itu makan sesajen. Masih mengamuk? Ya kita harus bunuh.”

Aku terdiam. Dan kehidupan kembali seperti sedia kala. Tak ada lagi yang bisa menghambat stok marmer kami. Kami tetap suka makan marmer. 

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here