Langit kampung Cikarak tak pernah benar-benar biru. Ia lebih sering berkabut abu yang enggan menguap, seolah ikut menyimpan rahasia busuk dari rumah-rumah yang membusuk perlahan, seperti daging di bawah karpet. Di salah satu rumah reyot, di bawah langit yang sering lupa caranya cerah, Marni tinggal—atau lebih tepatnya, dikurung oleh waktu dan luka yang menjalar seperti akar beringin lapar. Ayah tirinya adalah gergaji tumpul yang setiap malam memaksa tubuh Marni menjadi papan lapuk—berderit, berdarah, dan tetap disuruh diam. Ibunya? Ibu adalah sehelai jilbab yang tertiup angin ke seberang pulau, mengurus orang tua yang entah sakit atau sekadar dijadikan alasan untuk menghindari borok yang terus menganga di tempat tidur mereka.

Marni gemuk. Tapi bukan gemuk yang manis seperti kue donat di etalase warung. Ia gemuk seperti sampah yang tak sempat dipilah: terlalu besar untuk dibuang, terlalu menjijikkan untuk dipajang. Baunya? Kombinasi antara keringat, ketakutan, dan air mata basi. Di pabrik sepatu, ia dijuluki lempung hidup—karena setiap langkahnya seperti meninggalkan jejak lumpur di hati siapa pun yang melihat. Tapi Marni tak pernah marah. Marah adalah kemewahan yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang masih punya harga.

Lalu datanglah hari itu—hari ketika bos pabrik, Pak Buram, seekor lintah berdasi yang suka menyaru jadi manusia, memanggil Marni ke ruang kantor. “Temani aku malam ini,” bisiknya, seperti racun dalam teh hangat. “Masih untung ada yang mau sama kamu, Marni. Udah jelek, gendut, bau, sok suci lagi.” Kata-katanya seperti paku karat yang diketuk langsung ke tengkorak Marni. Tapi kali ini, Marni bukan papan. Ia adalah bara. Ia menolak. Dan bara, seperti biasa, dibasahi oleh air pemecatan. Keluar dari pabrik, Marni berjalan seperti bayangan yang kehilangan tubuh. Langkahnya menyeret hari, dan dunia seolah ikut menopang lelahnya. Di depan warung kopi yang selalu ramai mengomentari segala yang lewat, Marni duduk. Tidak, ia rebah dalam duduknya. Di kepalanya, suara-suara mulai bergema seperti petir: “Mati saja, Marni. Dunia tak pernah menginginkanmu lahir.” Suara itu bukan hanya keras, tapi berbau amis, seperti bangkai keyakinan yang sudah lama membusuk.

Lalu, dari jalan yang selalu dipenuhi mata-mata palsu, datanglah seorang ibu dengan rok mini dan napas rokok yang menari-nari seperti setan yang sedang bosan. Perempuan itu duduk di sebelah Marni, membuka percakapan dengan tawa yang penuh luka yang tahu cara menyamar. “Namaku Ibu Kembang,” katanya. Padahal yang mekar darinya cuma bekas tamparan waktu dan bibir merah yang lebih sering berdarah daripada bercinta. Ia bercerita. Tentang malam-malam yang menggigiti hidupnya, tentang lelaki yang datang dan pergi seperti hujan yang salah musim. Tapi juga tentang bertahan. “Kadang, hidup bukan tentang menang. Tapi tentang tidak menyerah saat dunia menertawakanmu telanjang,” katanya sambil menghembuskan asap ke langit, seolah ingin menyumpahi Tuhan agar belajar lebih empati. Malam itu, Marni tak jadi mati. Ia pulang bukan ke rumah, tapi ke tubuhnya sendiri. Ia tidur bukan di ranjang, tapi di pangkuan niat yang baru menetas.

- Poster Iklan -

Keesokan harinya, ia mengemas luka-lukanya, menaruhnya di dalam koper, dan menulis sepucuk surat untuk ibunya: “Aku pamit. Bukan karena tak sayang. Tapi karena ingin belajar sayang pada diri sendiri.” Ia merantau ke kota yang tak mengenalnya. Kota yang sibuk mengurusi deadline dan kemacetan, bukan bau badan dan berat timbangan. Di sana, Marni mulai berdamai dengan kaca. Ia membeli sepatu olahraga murah dan menari di bawah langit yang kadang cerah, kadang juga tetap menyebalkan. Ia memakan sayur bukan untuk kurus, tapi karena ingin hidup lebih lama agar bisa membuktikan bahwa dunia salah tentangnya. Marni bukan jadi cantik seperti dalam iklan sabun. Tapi ia jadi terang. Dan terang, tak harus mulus atau putih. Terang cukup dengan menjadi versi dirinya yang tak lagi meminjam definisi dari cemooh. Ia masih disapa bayangan masa lalu tiap malam. Tapi kini, ia menyambutnya dengan segelas air putih dan doa yang tulus. Di suatu sudut malam, ketika suara-suara kejam mulai berbisik lagi, Marni menulis surat: “Tubuhku bukan tempat sampah. Ia ladang. Dan kini aku sedang menanam cinta di setiap lekuknya yang dulu kau cela dan dipaksa merobek vaginaku diatas ranjang bapak tiri. ”

Ibu,

Jika surat ini kau temukan dalam lipatan daster lusuhmu, di antara sobekan kwitansi minyak goreng dan daun salam yang hampir busuk di dapur belakang, maafkan aku. Bukan karena aku tak sempat pamit. Tapi karena tak sanggup. Lidahku telah keropos oleh terlalu banyak diam. Tubuhku yang sering di bilang “gendut karena malas bergerak”, kini tengah bergerak menjauh dari rumah yang membusuk. Dari ranjang tempat ayah tiri yang tak pantas kau sebut suami menjadikan rahimku ladang sembelihannya. Dari dinding kamar yang menyerap jeritku, lalu diam—

Aku tak menyesal pergi.

Aku menyesal karena selama ini memilih bertahan.

Aku tahu, tubuhku bukan perempuan iklan.

Warna kulitku tak putih susu, dan pipiku tak tirus seperti boneka Korea. Tapi, tahukah kau, Bu, tubuh ini menyimpan begitu banyak cerita: tentang malam-malam dingin saat aku menangis sambil memeluk diriku sendiri, tentang pagi hari saat aku mengoleskan bedak murahan ke leherku yang lebam agar tak ada yang tahu, tentang tanganku yang gemetar menulis puisi-puisi rahasia di belakang kalender. Tubuh ini, Bu, masih hidup. Dan aku ingin mencintainya.

Bukan karena dunia akhirnya bersikap baik padaku—dunia tetap kejam, tetap menyeringai saat aku lewat, tetap memaki saat aku membeli gorengan lebih dari dua. Tapi karena tubuh ini sudah terlalu lama menjadi kuburan. Sudah saatnya aku menanam bunga. Sekarang, setiap pagi aku menyapa tubuhku dengan gerakan kecil: sedikit senam, sedikit peluh. Aku bukan sedang mengikis lemak, tapi sedang membasuh dendam. Aku belajar membedakan lapar perut dan lapar kasih sayang. Aku mulai mengunyah pelan, bukan hanya makanan, tapi juga trauma. Aku berlatih tertawa tanpa merasa bersalah. Aku belajar menyebut namaku di depan cermin, tanpa ingin meludah.

Dan yang paling berat—aku pergi ke psikolog, Bu.
Bukan karena aku gila. Tapi karena aku ingin sembuh.
Aku tahu, kau tak akan mudah memaafkan kepergianku. Kau mungkin merasa ditinggal. Tapi izinkan aku berkata, dengan suara yang masih serak oleh tangis bertahun-tahun: *aku pergi justru karena aku ingin hidup.*

Aku ingin menyelamatkan yang tersisa dari diriku, karena kau tak bisa, dan tak pernah bisa. Dan itu bukan salahmu sepenuhnya. Kau juga korban. Tapi aku menolak jadi korban berikutnya.

Malam-malamku masih diliputi mimpi buruk.
Terkadang, bau tubuhnya masih menyeruak di lubang hidungku. Tapi kini aku tahu: aku bisa memilih bernapas lewat lubang yang lain—lubang harapan, lubang masa depan, lubang-lubang kecil yang dulu kututup karena malu. Aku membuka jendela. Aku memanggil angin. Aku membiarkan cahaya mengintip ke tubuh yang pernah remuk.

Dan suatu hari nanti, Ibu, aku akan menulis lagi.
Tapi bukan dengan darah.
Dengan tinta—dari tangan yang sudah tidak gemetar.
Salam rindu,
dari anakmu yang gendut, hitam, dan sedang belajar mencintai hidupnya sendiri.

MARNI

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here