Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak musisi Indonesia yang menghadirkan karya dengan muatan reflektif dan relevan dengan isu-isu zaman. Hindia menjadi salah satu di antaranya melalui album Lagipula Hidup Akan Berakhir yang dirilis pada Juni 2023. Album ini memuat berbagai lagu yang sarat makna, salah satunya adalah “Pesisir”. Lagu ini tampil sebagai refleksi mendalam terhadap krisis iklim dan sikap manusia yang acuh terhadap ancaman lingkungan. Melalui lirik yang penuh metafora, Baskara Putra berhasil menangkap keresahan generasi yang hidup di tengah kemajuan teknologi namun disertai kerusakan lingkungan yang tak terkendali.

“Pesisir” sejatinya lahir sebagai bentuk keprihatinan terhadap fenomena nyata di sekitar kita. Di saat dunia sedang menghadapi perubahan iklim ekstrem, manusia justru tenggelam dalam rutinitas dan kepentingan pribadi. Lagu ini menjadi semacam peringatan, mengingatkan bahwa ancaman lingkungan bukan sekadar isu di atas kertas, melainkan kenyataan yang sudah mengintai.

Lirik pembuka menghadirkan gambaran yang kuat melalui baris “komet melintas di atas kepala, tak satupun kita menoleh”. Metafora ini menggambarkan sikap manusia terhadap tanda-tanda peringatan alam. Komet, sebagai fenomena langka yang seharusnya menarik perhatian, dalam konteks ini menjadi simbol berbagai sinyal lingkungan yang terus diabaikan masyarakat.

Kritik terhadap ketidakpedulian ini kemudian diperkuat melalui gambaran yang lebih personal dalam frasa “semua sibuk hidupi diri” dan “semua sibuk hidup di mimpi”. Kedua ungkapan ini mencerminkan individualisme yang menjadi ciri khas masyarakat modern. Sementara berbagai masalah lingkungan seperti polusi udara dan pemanasan global semakin mengancam, manusia justru larut dalam rutinitas pribadi tanpa menyadari dampak yang lebih besar. Transisi dari sikap acuh tak acuh ini lalu tergambar jelas dalam ungkapan: “lutut hanyut, pinggang tenggelam”, yang memberikan gambaran nyata tentang proses kerusakan lingkungan yang berlangsung secara bertahap namun konsisten.

- Poster Iklan -

Nuansa keputusasaan semakin terasa dalam bagian selanjutnya melalui kalimat “harapanku menyelam, kala langit menghitam, dan pesisir bergumam dalam diam mengancam”. Pemilihan kata yang berulang seperti “menyelam” dan “tenggelam” secara konsisten membangun atmosfer kehilangan harapan, baik secara personal maupun kolektif terkait upaya penyelamatan lingkungan.

Dalam konteks yang lebih luas, lirik “langit menghitam” dapat ditafsirkan sebagai representasi berbagai fenomena lingkungan yang terjadi saat ini. Mulai dari polusi udara yang menggelapkan langit perkotaan, asap kebakaran hutan, hingga perubahan cuaca ekstrem yang semakin tidak terprediksi. Sementara itu, frasa “pesisir bergumam dalam diam mengancam” menampilkan alam sebagai entitas yang tidak lagi pasif. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, pesisir menjadi simbol yang sangat relevan untuk berbagai ancaman seperti abrasi pantai dan kenaikan muka air laut.

Kritik yang disampaikan dalam lagu ini semakin tajam ketika masuk pada bagian “kencang kau menertawakan hujan di tengah gurun berapi”. Kalimat ini menggambarkan sikap kontradiktif manusia yang meremehkan solusi alami di tengah masalah yang mereka ciptakan sendiri. Kritik serupa berlanjut dalam lirik “cepat kau menertawakan hewan, di dalam, hilang empati”, yang menyoroti hilangnya koneksi emosional antara manusia dengan alam dan makhluk hidup lainnya.

Bagian lain yang juga tajam dalam mengkritik sikap manusia modern muncul dalam kalimat “cendekia kau anggap jenaka, durhaka kau di hadapan data”. Bagian ini secara langsung menyoroti fenomena yang sangat relevan di era modern: penolakan terhadap fakta ilmiah tentang perubahan iklim. Di zaman informasi seperti sekarang, penolakan terhadap data dan penelitian ilmiah justru menjadi hambatan terbesar dalam mengatasi krisis iklim. Kritik ini kemudian diakhiri dengan pesan yang tegas: “yang kau bangun sekarang, semua fana”, yang menegaskan bahwa cara pembangunan saat ini tidak akan bertahan lama.

Dimensi yang lebih personal kemudian muncul dalam bagian lain dari lagu melalui kalimat “sejauh ku berlari, dosaku kan kembali”. Lirik ini menggambarkan kesadaran yang pahit bahwa tidak ada tempat untuk melarikan diri dari konsekuensi kerusakan lingkungan. Krisis iklim adalah masalah global yang tidak mengenal batas geografis atau kelas sosial, dan setiap individu pada akhirnya akan merasakan dampaknya.

Relevansi lagu ini dengan kondisi Indonesia saat ini terasa ketika kita melihat data. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tahun 2024 tercatat 973 kebakaran hutan dan lahan, sementara tahun 2023 berjumlah 538 kejadian. Pada tahun yang sama, juga terjadi 1.420 banjir. Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak kenaikan muka air laut.

“Pesisir” juga dapat dibaca sebagai suara generasi muda yang mewarisi permasalahan lingkungan dari generasi sebelumnya. Keputusasaan yang tergambar dalam lagu bukanlah sekadar pesimisme, tetapi bentuk kejujuran terhadap situasi yang sudah mencapai titik kritis. Generasi muda saat ini hidup dengan kesadaran yang berat bahwa mereka mungkin adalah generasi terakhir yang bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan planet.

Pada akhirnya, lagu “Pesisir” menjadi cermin peradaban kita: individualistis, empati yang menipis, dan kecenderungan mengabaikan kenyataan sulit. Kehadirannya juga menunjukkan bagaimana seni dapat berperan sebagai medium untuk menyampaikan isu kritis yang sering terabaikan. Tanpa kata-kata keras, Hindia memotret kondisi kita apa adanya, sekaligus mengemas pesan lingkungan yang kompleks dalam bentuk yang mudah dipahami, menangkap momen ketika harapan mulai tenggelam dan ancaman lingkungan semakin nyata, sementara manusia tetap sibuk dengan urusan masing-masing, seolah tidak menyadari bahwa badai sudah di depan mata.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here