Kabut senja turun perlahan, menyelimuti atap-atap rumah yang kian merunduk di tepi kampung. Lintang berdiri di ambang pintu kayu yang lapuk, memandangi bayangan kedua orang tuanya yang bergerak lamban dalam cahaya lampu minyak yang kepayahan melawan gelap. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkedip seperti mata-mata letih yang enggan terpejam meski malam kian dalam, mempendarkan janji-janji kemajuan yang tak pernah sampai ke pelosok seperti kampungnya.
Di dalam ruangan sempit yang berdebu, alat-alat pertanian terbaring bagai mayat-mayat yang gagal dikuburkan. Sebilah cangkul berkarat dengan gagang patah di bagian siku. Dua sabit yang dulu tajam kini ompong, giginya rontok satu per satu. Selang irigasi yang mengeras bagai urat nadi yang kehabisan darah, masih menyimpan ingatan tentang kehausan yang tak terobati. Seonggok arit tua tergolek di sudut, bilah-bilahnya yang tumpul menyimpan cerita tentang panen terakhir yang gagal.
“Ia masih bisa bernapas,” bisik sang ibu, tangannya yang keriput mengelus mata cangkul seperti mengelus kepala anak yang sakit. Suaranya serak bagai gesekan daun kering di musim kemarau panjang.
Lintang mengepalkan tangannya tanpa sadar. Sebentuk lambang di lengan baju dinasnya yang masih rapi menangkap cahaya lampu, memantulkan bayangan yang meliuk-liuk di dinding kayu—mewujud siluet ular yang sedang mengejek nasibnya. Bau antiseptik dari sepatu kulitnya yang mengkilap bertabrakan dengan aroma minyak tanah dan kayu lapuk, menciptakan racun nostalgia yang selalu membuat tenggorokannya mengeras setiap kali pulang.
Di dapur, bunyi air mendidih terdengar seperti napas tersengal-sengal seorang ibu yang tak pernah berhenti berharap. Sang ayah duduk terpaku, menatap ke luar jendela yang kaca-kacanya telah keruh. Ia menggenggam sebuah kertas peta lama—gambar tangan Lintang kecil yang pernah mencoret garis-garis sungai, gunung, dan sawah, semua yang kini hanya tinggal nama di surat keputusan pembangunan.
**
Sebelum kalender dan aplikasi cuaca menggantikan kebijaksanaan langit, mereka menanam selaras isyarat alam. Ketika angin mulai berembus dari timur dan burung-burung prenjak turun lebih awal ke tanah, itu pertanda musim tanam sayur telah tiba. Ayah selalu berkata, ‘Langit memberi aba-aba, bumi memberi restu, dan kita hanya perlu mendengar dengan rendah hati.’ Tapi suara alam itu kini tenggelam dalam deru genset dan alarm peringatan banjir.
Dua belas tahun silam, di petak terakhir yang masih setia, Lintang kecil berlutut di antara alur-alur kehidupan yang rapi. Tangannya yang mungil menggenggam erat rumput-rumput liar, mencabutnya satu per satu seperti mencabut kenangan buruk. Di kejauhan, ayahnya membungkuk di atas saluran irigasi bambu yang semakin kurus, tubuhnya yang kekar membentuk tanda tanya besar tentang masa depan di bawah topi jerami yang sudah kusam.
“Pergilah menggapai langit,” kata ayah suatu pagi ketika embun masih setia membasahi ujung rumput, “biarkan tanah ini menjadi kenangan, bukan belenggu.” Mata ayah yang kerap merah oleh terik matahari itu memancarkan sesuatu yang baru—bukan keputusasaan, tapi sebuah pengorbanan yang direncanakan.
Kalimat itu mengkristal di benaknya, menjadi batu permata yang sekaligus melukai. Lintang menyimpannya di ruang batinnya yang paling dalam, bersama semua janji yang tak pernah terucap. Di buku tulis bergambar pemandangan sawah yang kini sudah tak ada, ia mencatat setiap kata ayahnya seperti mencatat mantera suci.
Tapi siapa yang tahu? Saluran air itu mengering bukan karena kemarau yang kejam, tapi karena tetesan-tetesan kehidupan telah dijual ke tempat lain. Sumber mata air di atas bukit berubah menjadi kolam renang dan kafe tematik. Hutan-hutan yang dulu menyimpan hujan ditebang, diganti bangunan objek wisata dan vila-vila eksklusif. Hujan yang dulu turun dengan sopan membasahi bumi, kini datang bagai penjarah yang marah, menyapu segala yang dilewatinya setelah pohon-pohon penjaga pergi satu per satu. Di musim terakhir sebelum ayahnya menyerah, buah-buah kehidupan mereka mengambang di genangan air kotor, seperti impian-impian yang tenggelam dalam banjir bandang yang datang tanpa permisi. Mereka pun harus menggali parit dengan tangan kosong demi mengalirkan air yang naik ke dalam bilik tidur. Ibu terjatuh dan kepalanya terbentur, Lintang kecil menangis sambil memanggil nama Tuhan yang belum ia kenal betul. Malam itu, mereka sadar: tak ada yang bisa diandalkan selain diri mereka sendiri.
**
Ruang kerjanya yang dingin bagai peti mati berdinding kaca memantulkan bayangan gunung-gunung yang sedang meratapi kebotakannya. Jari-jari Lintang yang kini halus menari di atas papan ketik, melahirkan laporan-laporan yang lebih mirip surat wasiat daripada dokumen pembangunan. Di layar monitor yang jernih, garis-garis koordinat digital membentuk kuburan-kuburan baru, termasuk satu titik merah yang dulu mereka sebut rumah.
“Ini namanya kemajuan,” kata sang atasan dengan senyum yang tajam seperti pisau bedah yang siap mengeluarkan organ-organ kenangan. Bau parfum mahalnya yang menyengat membuat Lintang ingin bersin. Kata “kemajuan” itu menggantung di udara ber-AC, beratnya membuat dadanya sesak.
“Masyarakat akan diberi pelatihan keterampilan baru,” lanjut si atasan, “mereka bisa berjualan makanan organik, atau membuat kerajinan dari limbah kayu. Alam tetap dilestarikan, tentu saja, dalam bentuk paket wisata.”
Lintang hanya mengangguk. Dalam hatinya, sebuah gemuruh pecah: bisakah alam dijadikan suvenir?
Seketika kenangan itu kembali menyelinap dalam kepalanya: warung kopi tua di dekat terminal, dipenuhi aroma tembakau yang dibakar dan bayang-bayang orang-orang yang menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Ia melihat lagi ayahnya duduk di sudut warung, tubuhnya diterpa cahaya lampu temaram yang membuat wajahnya tampak lebih renta dari usia sebenarnya. Di atas meja, segulung sertifikat tanah diletakkan seperti benda keramat yang kehilangan tuah. Saat ayah menyerahkannya, tangan tuanya yang dulu kuat mencangkul sawah, kini gemetar memegang gelas kopi yang dari awal memang tak pernah ia sentuh. Lintang mengingat betul suara napas ayahnya malam itu—pelan dan berat, seolah menahan dunia agar tidak runtuh. “Ambil ini,” bisik ayah, matanya kering bagai sumur yang ditelantarkan, “dan jadikanlah sayap untuk terbang jauh dari kuburan kami.” Uang hasil penjualan tanah warisan itu berbau tanah basah dan air mata yang tak pernah diteteskan.
Kini uang itu membelikannya tiket untuk masuk ke dunia yang dingin, tapi tak bisa membeli kehangatan yang telah hilang. Untuk bisa masuk dinas pariwisata, ia harus menyerahkan sesuatu yang lebih dari sekadar ijazah cumlaude—ia menyerahkan petak terakhir tanah yang dimiliki orang tuanya untuk menyuap pintu yang tidak pernah terbuka bagi yang tidak membawa persembahan.
**
“Kau masih ingat cara menanam benih?”
Suara ayahnya yang tiba-tiba memecah kesunyian seperti batu yang jatuh ke air tenang. Lelaki tua itu kini berdiri di hadapannya dengan sebilah sabit berkarat di tangan, tubuhnya yang dulu kekar sekarang bungkuk seperti batang padi yang kelebihan buah. Tangannya yang berurat seperti peta kehidupan yang telah usang memegang erat alat tua itu.
“Aku… tak yakin,” jawab Lintang. Suaranya lirih, seperti suara anak kecil yang ragu mengakui kesalahannya.
“Tidak apa,” jawab ayah, matanya tak lagi muram, tapi teduh seperti tanah basah yang siap menerima benih apa pun.
Di luar, hujan mulai mengetuk-ngetuk atap seng yang sudah berkarat, seperti tamu yang tak diundang datang di tengah malam. Bau petrichor—aroma tanah yang kehujanan—menyelinap dari celah-celah pintu, membangkitkan ingatan yang lama terpendam.
Lintang mengangguk pelan. Mulutnya terasa penuh dengan tanah yang tak bisa ditelan maupun dimuntahkan. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkedip melalui tirai hujan, seperti bintang-bintang palsu yang tergantung di langit buatan. Dengungan mesin-mesin dari proyek pembangunan yang tak pernah berhenti menggantikan nyanyian jangkrik yang dulu selalu menemani malam-malam mereka.
Dengan gemetar, Lintang menjatuhkan diri ke lantai kayu yang basah oleh rembesan air hujan. Ia meraih sabit tua itu, jarinya yang kini halus menyentuh karat yang melekat—luka-luka yang tak pernah sembuh. Di dadanya, peta baru sedang terbentuk: bukan peta pembangunan yang ia buat setiap hari untuk para investor, tapi peta jalan pulang yang sudah tak jelas lagi arahnya.
Malam ini, di rumah tua yang semakin tenggelam dalam zaman, Lintang ingin kembali menjadi benih. Walau tanah untuk bertumbuh telah dijual ke tangan-tangan asing. Walau musim untuk berkembang telah berlalu ditelan roda-roda mesin berat. Dan ketika hujan semakin deras, suaranya yang bergema di lembah-lembah kehidupan bagai tangisan anak yang kehilangan jalan pulang—terdengar oleh semua orang kecuali oleh dunia yang terlalu sibuk mendengar gemerincing koin.