Potret Generasi Biru dari Sudut Gang Kota (sumber foto: wikipedia)
Potret Generasi Biru dari Sudut Gang Kota (sumber foto: wikipedia)

Saat menduduki bangku SMP, lagu-lagu genre reggae dan pop punk banyak disetel dan dinyanyikan oleh kawan-kawan saya di tongkrongan. Suatu saat saya mendengar lagu yang genrenya beda (rock), liriknya pun tidak asing, pernah mewarnai masa kecil saya dan sering disetel ayah di rumah melalui kaset pita. Nggak mungkin, nggak mungkin, semua itu terjadi, seratus tiga tahun mungkin, begitulah liriknya. 

Saya tanyakan kepada pemilik warung, “Itu lagu judulnya apa Mas? Katanya judul lagu itu, “Pak Tani” lagunya Slank. Itu band kesukaan ayah saya. Saat itu, nama Slank dan lagu-lagunya lebih dikenal di generasi sebelum generasi saya. 

Generasi angkatan saya, tak banyak yang tahu lagu-lagunya kecuali yang hits-hits saja, kebanyakan dari formasi 14, formasi Slank yang baru. Semenjak itu, rasa ingin tahu saya terhadap Slank bertambah, ya biar beda saja dari teman-teman pada umumnya. Saya pun mulai mendengarkan lagu-lagu Slank yang rilis di tahun 90-an, dan membaca sejarahnya. 

“Slank” sebuah nama yang terdengar simpel, hanya satu suku kata, tapi berkharisma. Susunan kata yang diawali “s” diakhiri “k” lalu dikreasikan menjadi logo kupu-kupu menambah daya tarik band tersebut. Lirik-liriknya yang vulgar serta gaya musik rock yang dianggap revolusioner di era itu oleh Ahmad Dhani, membuatnya menjadi band rock pendatang yang nampak mencolok di belantika musik Indonesia, setelah God Bless. 

- Poster Iklan -

Lima album pertama Slank, yaitu Suit-suit He He (Gadis Sexy), kampungan, piss, generasi biru, dan minoritas, semuanya meledak dan mendapat penghargaan BASF Award berturut-turut. Lagu-lagu mereka nyangkut di kepala penggemar yang sekarang sudah tak muda lagi, diwariskannya lagu Slank itu kepada generasi selanjutnya, sehingga lima album itu menjadi everlasting. 

Formasi 13 yang terdiri dari Pay (gitar), Bimbim (drum), Indra Q (keyboard), Bongky (bass), dan Kaka (vokal), menciptakan idiom yang mewakili spirit kehidupan anak muda, yaitu “Generasi Biru” yang rilis di tahun 1994, terhimpun dalam album yang bertajuk sama. Bimbim menuturkan bahwa “biru” menyimpan dua makna, yakni sedalam biru laut, seluas biru langit. Selain itu, ada juga lagu yang bertajuk “Pulau Biru” yang mengisahkan sebuah pulau yang indah bagai surga, manusia bijaksana, hidup merdu dengan kesenangan, tak perlu salah paham. Begitupun di lagu-lagu Slank selanjutnya kata “biru”masih sering dipakai, dan menjadi identitas kuat untuk merepresentasikan Slank dan slankers. 

Generasi Biru bukanlah idiom bikinan Slank di tahun 90-an, lalu lantas terlupakan begitu saja, melainkan kelanjutan spirit perlawanan anak muda yang telah dimulai jauh sebelum itu; R. A Kartini dengan feminismenya, Chairul Saleh dan kawan-kawan dengan keberaniannya dalam peristiwa Rengasdengklok, atau para pemuda yang menggagas revolusi Prancis, hingga Slank dengan Generasi Birunya. Kesemuanya itu pada dasarnya memiliki spirit yang sama, yaitu spirit pemuda yang mendobrak pakem-pakem yang sudah saatnya berubah, serta keberanian  menggugat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. 

Berikut adalah penggalan lirik lagu Generasi Biru,

Aku bukan pion-pion catur

Aku nggak suka diatur-atur

Jangan coba menghalangi aku

Karena aku generasi biru

Hampir setiap konser di Indonesia, bendera Slank masih sering terlihat walau sedikit, meskipun yang tampil bukan Slank. Hal itu membuktikan bahwa pengaruh Slank sangat luas di kalangan penggemar. Komunitas slankers yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi yang terbesar setelah OI (Orang Indonesia) fans Iwan Fals. Loyalitas Slankers memang tidak diragukan lagi. Meskipun formasi 13 sudah terpecah, nyatanya di konser-konser BIP (Band yang dibentuk Bongky, Indra Q, dan Pay), masih muncul bendera Slank, begitupun ketika ulang tahun komunitas SFC (Slank fans club) di suatu daerah, tak jarang ketiga orang itu diundang untuk ikut merayakan. 

Gaya slengean yang ditampilkan Slank adalah nilai estetis itu sendiri; Anak muda yang bergaya apa adanya, kelihatannya sepele, tapi ternyata punya keterampilan unggul dalam bermusik. Dengan slengean itulah, Slank tetap menjaga kebetawiannya, meski mengenakan baju rock, sehingga membuat mereka tak berjarak dengan penggemar dari berbagai lapisan, sesuai dengan kodratnya orang betawi yang supel

Pergaulan anak muda pada zaman itu tentu berbeda dengan zaman sekarang, influence dari musik tampak lebih menyemarak di kehidupan nyata, karena kehidupan (maya) media sosial belum masif, sehingga gang potlot (markasnya Slank) menjadi ramai dan dijadikan tempat nongkrong para musisi dan slankers. Lagu-lagu dari lima album itu sudah jarang terdengar sekarang, tapi spiritnya, saya baru merasakannya sekarang, mungkin terbilang telat, tapi tak masalah, yang penting saya mendapat sensasi musik baru, nilai yang terkandung, serta cerita-cerita di luar lagu. 

Di era kini, ada beberapa fenomena yang hilang dari dinamika sosio-musikal di tahun 90-an. Kedekatan antara musisi dengan fansnya saat ini cukup melalui digital saja. Berbeda dengan bagaimana Bongky yang saat itu merancang logo Slank, dan ditanya seorang Slankers dari Jawa Mas itu logonya Slank baru ya Mas? Itu tulisannya opo sih Mas? Sidik ya? Mendengar itu Bongky mengamati lagi lalu ketawa Eh iya bener juga lu, ia mengganti desain logonya menjadi kupu-kupu seperti di album Generasi Biru yang melegenda sampai kini. Sebegitu dekatnya Slank dengan penggemar. Begitupun juga, koleksi kaset pita bagi penggemar serta prestasi penjualan kaset hingga sekian juta kopi, kini sudah tak ada. Euforianya pasti berbeda. 

*** 

Setelah saya membaca dan mendengar banyak tentang Slank, saya pun menjadi fanatik. Perjalanan hidup Slank terekam kuat di hati saya, tentang bagaimana mereka berjuang mati-matian melawan narkoba, perlawanan mereka terhadap korupsi, serta ikut terjun di persoalan lingkungan dan alam. 

Akan tetapi, saat mereka masuk ke ranah politik dan berdiri di balik salah satu partai, bagi saya itu adalah hal yang cukup kontroversi dilakukan seorang seniman, terlebih bagi musisi seperti Slank dengan reputasi rocknya yang demikian tandas. Puncaknya adalah saat mereka merilis single “Polisi yang Baik Hati” di tengah tindakan represif yang dilakukan aparat polisi juga kerap kali terjadi. Hal ini membuat geger banyak pihak. Fenomena ini tentu bertentangan dengan lirik Generasi Biru yang menggema di tahun 90-an; aku bukan pion-pion catur. Aku nggak suka diatur-atur.

Sementara itu, Abdee Slank diangkat menjadi Komisaris Telkom dengan latar belakang musisi semata. Tentu lagu tersebut adalah timbal-balik Slank terhadap partai, bukan murni sumbangsih untuk negara. Kira-kira demikianlah persepsi yang berkembang di masyarakat, meskipun, Bimbim menuturkan bahwa lagu itu adalah doa dan harapan untuk polisi. 

Barangkali keputusan Slank untuk menarik Abdee dari jabatan komisaris Telkom di saat penyelewengan konstitusi dilakukan rezim yang didukungnya adalah titik balik dari nafas Generasi Biru, yang tak akan tinggal diam ketika melihat penyimpangan terjadi, meskipun Slank masih ada di barisan partai politik tersebut. Setidaknya, langkah itu dapat meredam anggapan bahwa Slank berpolitik untuk cari untung belaka.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here