Gemerlap lightstick, tarian yang sedang viral, vokal yang menggema ada produser eksekutif paling berpengaruh bagi pengembang K-Pop. Produser itulah yang menjadi penentu meledaknya K-Pop. Memang produser eksekutif itu tidak banyak yang mengakui. Padahal produser ini menjadi kunci. Siapa itu? Tak lain dan tak bukan adalah pemerintah Korea Selatan (Korsel).
Kok bisa? Tentu saja maksudnya bukan negara yang menulis lirik atau mengatur koreografi. Tapi pemerintah dengan kebijakan, anggaran pembangunan infrastruktur menjadikan ekosistem K-Pop melejit. Idol bisa tumbuh dari ruang latihan sempit ke fenomena global. Coba dibayangkan jika pemerintahannya agak otoriter seperti Korea Utara (Korut)?
Jalan Panjang
Akhir 1990-an, pemerintan Korsel melihat bahwa budaya penting untuk dikembangkan. Budaya dianggap sebagai mesin ekonomi dan bahkan soft power di dunia internasional. Nah kemudian dibuatlah “payung hukum”. Undang-undang promosi industri konten dibangun untuk memperkuat daya saing sektor kreatif.
Jika diibaratkan, negara menyiapkan rel agar kereta bernama K-Pop melaju kencang tanpa hambatan. Bukan untuk keren-kerenan, tetapi dari sisi ekonomis juga bisa untuk pemasukan negara, bahkan bisa menjadi citra negara. Mengapa? Karena K-Pop sendiri tidak bisa berdiri dan “bermain” sendiri. Di sebelahnya ada K-Drama, game, animasi, fashion, kecantikan. Bentuk budaya populer Korea itulah yang kemudian dikenal dengan nama hallyu.
Di Korea ada Korea Creative Content Agency (KOCCA) yang mewadahi semua ide-ide konten kreatif. KOCCA yang berdiri 2009 memberikan pendampingan bisnis, bantuan dana, dan akses ke pasar global. Musik menjadi prioritas pengembangannya. Tahun 2025, KOCCA menargetkan menembus pasar Asia. Danapun digelontorkan. KOCCA dipatok 609,3 miliar won. Ini naik 3% dari tahuh sebelumnya (2024).
Di tingkat kementrian juga ada penggelontoran dana. Anggara Kementrian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata (MCST) Korsel sekitar 7,07-7,12 tirilin won (tahun 2025). Anggaran itu naik 1,6-2,4% dibanding tahun sebelumnya. Fokusnya memperluas distribusi global dan memperkuat industri konten sebagai lokomotis pertumbuhan budaya populer Korsel. “K-Content & Media Strategy Fund” pun diluncurkan dengan 80 miliar won untuk mendukung proyek ambisius budaya populer Korsel.
Perlahan Tapi Pasti
Apakah ada hasilnya? Ekspor industri konten Korea tembus rekor sekitar US$13,24 miliar pada tahun 2022 (naik 6,3% dari 2021). Pasar konten Korea pun berada pada kisaran US$79 miliar tahun 2023. Angka itu menempatkan Korea di papan atas dunia. K-Pop berada di pusaran pertumbuhan ini. Lagu menjadi pintu masuk, lalu penonton bergerak ke drama, game, kecantikan, sampai wisata. Maka, pemerintah tak hanya mendukung biaya produksi tetapi juga “jalur distribusi” ke luar negeri lewat kolaborasi plafform digital, festival dan promosi terintegrasi.
Kebijakan pengembangan juga fokus ke fans. Misalnya dikenalkan skema visa pelatihan budaya (disebut K-Culture Training Visa). Visa itu memungkinkan pelajar dari berbagai negara belajar K-Pop dan performing arts di akademik resmi. Untuk pelaku profesional ada jalur visa E-6 (budaya dan hiburan). Intinya, aturan dibuat supaya pergerakan orang — fans, pelatih sampai profesional lebih mudah.
Tentu saja, semua tak berjalan mulus. Ada risiko juga. Misalnya risiko “over komersialisasi” dan isu kesejahteraan pekerja kreatif. Maka, kebijakan pemerintah memang harus ketat, hati-hati dan serius. Misalnya, insentif untuk pelaku independen, adanya standar proteksi pekerja kreatif, mendorong diversifikasi jenis dan pasar baru (Amerika Latin, Timur Tengah, India) untuk sasaran. Pemerintah gencar mendorong produksi internasinal, dana digelontorkan ratusan miliar untuk memperluas jejaring global.
Pelajaran Penting
Tentu kita bisa memetik hikmah dari kebijkan produser eksekutif bernama pemerintah Korea itu. Pertama, K-Pop bukan cerita “seribu satu malam”. Bukan instan. K-Pop tumbuh karena strategi panjang, aturan yang mendukung para kreator berkreasi lebih bebas, pendanaan digelontorkan, punya lembaga khusus ekspor dan ada diplomasi budaya yang luwes.
Kedua, semangat menaikkan anggaran karena hasilnya positif. Ini menunjukkan komitmen konsistensi negara. Bukan sekadar euforia sesaat yang bersifat hura-hura.
Ketiga, pemerintah paham bahwa “harga” K-Pop bukan penjualan album semata. K-Pop memicu efek banyak hal. Konser mendongkrak wisata, kolaborasi identitas/merek memicu ekspor gaya hidup, dan konten digital mendorong adopsi bahasa serta budaya.
Pendek kata, dan ini bisa ditiru oleh negara-negara lain untuk memainkan ekspor budaya dalam negeri; (1) aturan dan institusi kuat yang jadi landasan, (2) anggaran terus dinaikkan dengan melihat kemajuannya, (3) diplomasi budaya yang kuat untuk mendorong kerjasama lintas negara dengan didukung ekspor konsisten, dan (4) kreativitas para musisi, produser, penari, koreografer layak diwadahi dan didorong.
Semua itu bisa diwujudkan dengan menjadikan pemerintah sebagai “produser ekeskutif”. Ibaratnya, pemerintah yang menyalakan lampu panggung. Musik yang membikin sorak sorai penontonnya. Nah, Korsel berhasil memadukan keduanya. Salut.