Kota Akasha, 2225 M

Langit tak lagi biru. Sejak Peristiwa Silau 2105, langit menjadi kelabu kekal. Tak ada lagi udara yang bersih hanya debu-debu radiasi yang berterbangan dan sisa-sisa letusan nuklir pendingin reaktor. Semua ini terjadi akibat meledaknya “matahari buatan” yang digunakan untuk menambang energi bersih tak terbatas. Matahari yang berada di atas sana masih baik-baik saja. Namun, tak lagi memancarkan sinar hangat. Kota ini masih bergulat dari koma yang panjang.

“Orang-orang di ruangan tadi masih rebut soal pelanggaran etika. Tapi, bukankah etika sudah lama musnah?” Xander menatapku lekat. Sorot matanya penuh api.

Aku menarik napas dalam. Mataku mengamati pancaran suram dari lampu neon tua di Lorong Kementerian Rekonstruksi. “Mungkin memang begitu. Tapi tetap saja… mengintip ingatan orang mati?”

- Poster Iklan -

Xander mendekat. “Fang, kita hidup di antara puing-puing peradaban. Hanya ini caranya untuk membangun kembali dunia melalui ingatan masa lalu. Gawai itu bisa menjawab banyak hal. Kenapa harus takut?”

Aku tertunduk lesu. Status sebagai cucu pendiri Kota Akasha akan selalu menjadi beban tersendiri untukku. Dulu kami menyebutnya sebagai Orang-Orang Mahatma. Kini, sebutan itu tak berarti apa-apa di kota yang mati ini. “Kau mungkin benar, tapi bagaimana kalau kita justru membuka ingatan yang bukan milik kita sendiri? Seperti menelanjangi jiwa.”

“Lebih baik menelanjangi jiwa daripada membiarkan kita semua mati bodoh.”

Aku menghela napas. Xander sudah melangkah menuju ruang pengamatan. Seolah mengerti aku akan menyusulnya dari belakang.

***

120 tahun lalu – 2105 M.

Hari ini, Kota Akasha begitu ramai. Mal Super Eon dipenuhi antrian. Orang-orang menunggu peluncuran gawai terbaru dari Batara Corp, perusahan teknologi yang didanai Elon Musk Foundation.

“Bapak sudah mengantre dari jam berapa?” tanya seorang reporter muda.

“Lima pagi, Mbak. Panjang banget antreannya.”

Seorang ibu menimpali. Saya dari jam tiga. Demi LCD 3.0!”

Kameramen memberi aba-aba pada sang reporter untuk maju. “Peluncuran LCD 3.0, gawai Lucid Dream generasi terbaru disambut meriah. Antusiasme publik terhadap produk Batara Corp sangat tinggi. Apakah anda sudah ikut antre hari ini?. Sekian, Natasha Apriyanka melaporkan untuk Anda.” Kamera menyorot kerumunan yang mengular. Suara terompet menyambut tahun baru, iklan-iklan hologram berseliweran di billboard. Kota Akasha bersinar terang malam ini.

Selesai siaran, Kameramen menyerahkan sebotol air pada Natasha. “Kamu beli juga?”

Natasha menggeleng. “Aku nggak tertarik sama hobi proyeksi astral kayak gitu.”

Kameramen di sampingnya tertawa. “Lucid dream bukan sihir, Nat. Ini sains. Katanya, LCD generasi ketiga bisa menyambungkan memori dengan realitas.”

“Realitas siapa?” gumam Natasha lirih.

Malam itu, mereka berjalan ke jembatan untuk merekam pesta kembang api. Kerumunan orang-orang seperti tidak ada habisnya menyambut pergantian tahun. Akasha mulai berbenah karena meninggalkan tambang batubara sebagai suplai utama energi. Para ilmuwan memutuskan untuk menambang energi melalui “Matahari Buatan” yang diimpor juga dari Tiongkok. 

“Kamu serius mau pensiun?” tanya Natasha.

Kameramen mengangguk. “Aku lelah mengejar berita tentang dunia yang makin runtuh.”

“Bukan karena aku, kan?”

“Bukan. Kita dewasa, Nat.”

Mereka tertawa pahit. Keheningan mulai menyeruak.

“Orang-orang di kota ini doyan banget pesta, ya,” ucap Kameramen sambil mengeluarkan rokok. Ia seperti ingin memecahkan keheningan.

“Pemerintah ingin warganya bahagia. Lihat saja yang antre beli gawai tadi.” Natasha tersenyum getir.

“Kebahagiaan semu,” sahut Kameramen.

Suara terompet dan teriakan Selamat Tahun Baru membahana. Kameramen merekam semuanya. Natasha menatap punggungnya. Hari ini adalah hari terakhir mereka bekerja bersama.

“Selamat tahun baru,” bisiknya pelan.

***

Pukul 05.00 pagi, Kameramen pulang ke apartemennya. Hujan rintik-rintik menyambutnya dari balik jendela. Ia menatap langit-langit kamar yang retak.

“Akhirnya pensiun.”

Sebuah kardus besar tergeletak di atas meja. Ia membukanya. Helm berwarna putih mengkilat telah terhubung dengan tablet. Ia memilih foto istri dan anaknya. Foto yang ditemukan pada reruntuhan rumah setelah gempa dan tsunami menyapu pesisir utara.

“Selamat pagi, Papa Pulang,” bisiknya sebelum tidur dalam proyeksi memori buatan.

***

Kembali ke Kota Akasha, 2225 M.

Aku dan Xander berdiri di depan jasad seorang pria. Jasad ini ditemukan seminggu lalu dari reruntuhan pod cryogenic. Gawai LCD 3.0 masih menempel di kepalanya seperti artefak purba.

“Kadang aku berpikir kita ini seperti zombie. Kita hanya bisa makan melalui hal-hal intelektual begini yang sebenarnya sangat tidak etis. Bahkan, kita menyebutnya ini demi masa depan yang belum tentu berada di depan sana.”

Xander menatapku. “Bukankah itu yang membuat kita tetap manusia? Karena manusia suka melakukan pencarian dari hal-hal yang paling dasar, ingatan.”

“Tapi, aku masih merasa ini tidak etis. Ingatan ini punya mereka.”

“Fang, kita hanya ingin tahu kenapa peradaban sebelumnya runtuh,” jawaban Xander membungkam mulutku.

Tujuh jam berlalu. Aku dan Xander bergantian memutar ulang fragmen ingatan lewat helm LCD yang berhasil dipulihkan. Gambar samar terdapat pemandangan jembatan kota lama, wajah perempuan yang tersenyum, teriakan tahun baru. Beberapa gambar menampakkan tsunami yang tingginya tiga meter menyapu rumah-rumah di pesisir utara. Menurut sejarah kota, memang pernah terjadi tsunami di bagian utara.

Aku berdiri memutuskan keluar ruangan. “Aku tak sanggup melihat ini, Xander.” 

Xander masih berada di ruang pengamatan. Aku memperhatikan layar lewat ruangan sebelah. Fragmen terakhir tampak kamar apartemen yang retak. Suara seorang laki-laki terdengar memanggil nama anak-anaknya.

Akasha, tiga hari kemudian.

Siaran pers Kementerian Rekonstruksi resmi menghentikan proyek penggalian ingatan. Para petinggi kementerian menjelaskan terlalu banyak kerusakan sistem etis. Tapi, aku tahu alasan sebenarnya. Banyak dari ingatan itu bukan cuma sejarah melainkan kengerian masa lalu. Pengkhianatan, perang sumber daya, pembataian kaum miskin di Zona Aman yang dikelola oleh Batara Corp.

Satu minggu kemudian.

Kota Akasha gelap. Pusat energi nuklir mini yang menopang zona aman padam. Para outsider, penentang Proyek Ragasukma turun ke jalanan. Kota yang berusaha bangkit dari reruntuhannya kembali jatuh lagi.

Xander datang ke rumahku, matanya merah.

“Fang, labmu terbakar di sektor tiga. Kita tidak punya banyak waktu.”

Aku mengangguk. “Aku tahu. Tapi, aku masih punya ini.” Kutunjukkan helm LCD 3.0 yang tergeletak di atas meja.

“Kamu menyimpannya?”. Mata Xander berbinar menatapku.

“Aku mempercayaimu. Ingatanlah yang akan menyelamatkan kita. Bukan mesin yang dibuat oleh para petinggi kementerian, tapi kenangan tentang cinta, kehilangan dan harapan.”

“Kalau begitu, kita lanjutkan proyek ini. Kita bisa pergi ke Selatan, di sana ada para pembaharu yang membentuk koloni.”

Aku tersenyum.

***

Catatan Terakhir – Arsip Terbatas Jaringan Bawah Tanah

Siaran pers dari Kementerian Rekonstruksi telah dirilis hari ini. Kalimatnya datar tanpa kesan emosi mendalam. Aku mencurigai para petinggi kementerian separuh cyborg. Proyek Penggalian Ingatan dihentikan karena resiko menganggu stabilitas publik.

Tapi aku tahu, itu semua hanya dusta.

Satu demi satu, ingatan berhasil kami buka dari helm LCD 3.0 yang bukan hanya potongan kehidupan pribadi melainkan fragmen sejarah yang telah hilang. Kami berhasil mengamati beberapa kejadian penting seperti:

  • Rekaman penguncian suplai air bersih di Zona Aman Selatan.
  • Para Preman yang disewa Batara Corp untuk membakar logistik sembako.
  • Seorang perawat perempuan dieksekusi karena membocorkan data mutasi akibat vaksin generasi keempat.
  • Anak-anak dari golongan radikal yang dikunci di dalam ruang belajar kemudian diberi gas karbon monoksida agar mati perlahan.

Masih banyak rekaman memori yang belum berhasil kami uraikan. Namun, memori ini berhasil menawarkan kebaruan dalam sejarah. Satu laboratorium kami sudah dibakar. Xander nyaris tak selamat. Kami akan mengungsi ke Selatan. Proyek Ragasukma akan dilanjutkan. Jika dunia ini harus dibangun ulang, bukan dari tumpukan senjata atau perangkat lunak. Dunia berawal dari mimpi-mimpi yang pernah mengisi kehidupan manusia.

  • Fang dan Xander, Peneliti Rekonstruksi
- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here