Adalah Racun yang Punya Kemilau Amat Indah
Airmuka lelaki tua itu amat jernih; sedangkan kami,
yang temani di luar jeruji, tampak muram menahan sedih:
seorang bijak yang telah kami anggap sebagai bapak,
juga sahabat dan sanak, hendak tinggalkan kami
beranjak. Amat sepi, dan langkah kaki dari yang dititah
antarkan racun dalam gelas kepada lelaki bijak yang dulu
pemahat batu, terdengar begitu jelas. Dipanggil pula ia
oleh lelaki tua agar lekas datang bergegas—
Ayoh, kemari, lekas beri racun di dalam gelas, supaya
tuntas, supaya terbangun aku dari tidur yang pulas.
Ini adalah racun; dan terserah kepada Tuan, hendak
biarkan atau meminum-tenggak menghabiskan.
Ah! lihatlah, lihatlah, kemilau yang amat indah…
Marilah, marilah, kita bersulang, duhai, Kebenaran!
Segelas racun sudah di tangan di hadapan; dikata pula,
sudah menanti jawaban di tanah seberang. Akan ditenggak
olehnya meski tersedak pada telak. Seperti yang dikata,
habislah isi gelas! Sang pemahat telah tewas. Akan tetapi,
hanya raganya, tersebab citanya tetap sahaja mencari sejati.
Polanco S. Achri
(2018—2025)
Adegan Malam sebelum Kepergian Sokrates
Kepada Krito, Sokrates berkata, supaya dibayarkan utangnya
kepada Ascepilus, berupa seekor ayam betina. Dengan lekas,
Krito iyakan, dan bertanya apa yang masih dihendak.
Setelah ucap syukur, ditinggalkannya diam—kepada kami
yang mana rajin diajarinya untuk betah bertanya . . .
Polanco S. Achri
(2019—2025)
Ratap Plato atas Kematian Sokrates
Oh, Sokrates, Gurunda, yang pemahat batu dulunya, berilah izin
pada sahaya tuk jadikan sosok Gurunda citra suara kebenaran,
suara mereka yang terluka karena kezaliman. Semoga Guru
berkenan. Dalam bentuk percakapan, akan sahaya tuliskan segala
pandangan Guru. Semoga berjalan niat sahaya lancar adanya.
Amat zalim mereka yang berikan hukuman menenggak racun
kepada Gurunda sahaya, Sokrates yang pematung dulunya.
Betapa ia manusia adil, yang ucapan sesuai laku dijalan.
Amat jujur dan tulus dalam mengajar. Betapa sahaya
sekarang bagai anak kehilangan bapak. Oh, Sokrates,
masihlah sahaya ingat ucapan itu: Lebih baik menderita
oleh kezaliman, daripada berbuat zalim! Alangkah gatirnya,
mereka yang tentang kezaliman mesti dapati perlakuan zalim;
mereka yang perjuangkan keadilan mesti dapati perlakuan
tiada adil. Duh, Gurunda, hendaklah sahaya tempuh kembara
sebab hanya kembara yang dapat hapuskan suatu yang dinama
oleh manusia sebagai duka.
Polanco S. Achri
(2019—2025)
Akademia: Setelah Satu Setengah Windu Pengembaraan Plato
Di sini, hendak kubuktikan bahwa kesengsaraan
tiada mungkin sirna sampai filsuf menjadi raja—atau
para raja menjadi filsuf pada laku dan pikirnya!
Akan tetapi, Dionisius bosan pada ajaran-ajaran moral;
dan dituduhnya aku ialah bahaya yang nyata. Plato itu
bahaya, ucapnya. Dan dijuallah aku pada seorang
sebagai budak. Akan tetapi, nasib berpihak, dan
ditebuslah aku oleh murid yang tiada tamak. Oh! Plato,
guruku, ucapnya. Akademia, akademia! Dari sanalah
cikal-musal akan kuguncang dunia—
Polanco S. Achri
(2019—2025)
Matinya Seorang Murid Sokrates
Ada murid yang mengundangmu, untuk datang
ke pesta kawinannya; dan di sana, kala pesta
hendak selesai, maut pun menjemputmu.
Oh, Plato, pendiri Akademia yang suka
berjalan-jalan di taman bunga, orang-orang
kala itu bertanya: Tiadakah dirimu mau
kawin, beranak, dan sedikit bisa berbahagia?
Akan tetapi, di hadapan maut yang menjemput,
dirimu memahami jika tiada lagi bisa berkata,
tiada lagi bisa berdialektika. Dan maut,
yang sedikit lembut, membukakan pintu
untukmu sejenak istirah, sebelum lahir lagi;
dan temui gadis yang jelaskan apa itu tangis . . .
Polanco S. Achri
(2019—2025)