Tidak asing lagi jika jalanan kotamu ini selalu basah. Aspal selalu tampak menghitam dengan sisa air hujan yang bisa saja turun sepanjang hari. Di kotamu hujan bisa sewaktu-waktu turun. Apalagi jika sudah musim hujan begini, hal paling wajib dibawa ke mana-mana adalah payung atau jas hujan.
Seperti sore ini, aku kena marah olehmu, karena lupa membawa jas hujan saat menjemputmu dari tempat kerja. Yang akhirnya mengharuskanku membelokkan motor ke sebuah kedai kopi untuk berteduh, menunggu hujan reda, lalu pulang setelahnya.
Selain karena aku tahu kamu suka kopi tubruk asli dari kotamu ini, aku juga tahu kalau kedai kopi ini adalah kedai kopi favoritmu. Seperti biasanya, kamu langsung memesan dua gelas kopi tubruk Kucur asli dari kotamu. Sedangkan aku melenggang memilih tempat duduk di dekat jendela. Agar bisa melihat hujan, dan jika sewaktu-waktu reda bisa langsung mengantarmu pulang.
Setelah kudapati kamu selesai berbincang dengan penjaga kedai yang sudah lama kamu kenal, kamu kini berjalan ke arahku, aku pura-pura sibuk membuka buku yang sedari pagi ada di dalam tas. Kebiasaanku membawa buku ke mana-mana ternyata lebih membuatku nyaman daripada harus membawa payung ke mana-mana. Alasanku, buku jauh lebih praktis jika dimasukkan tas daripada payung atau jas hujan.
***
“Bawa buku aja gak lupa, giliran jas hujan selalu kelupaan!”
Langsung saja gerutumu yang sempat tertunda karena memesan kopi, mulai kamu lanjutkan lagi. Aku hanya diam tanpa menjawab dengan sepatah kata. Aku tetap fokus pada buku yang sedang kubaca. Ceritanya kali ini tentang seorang anak muda yang punya indera penciuman melebihi siapa pun. Ia bahkan akan tahu kondisi lawan bicaranya, hanya dengan menghirup aroma tubuhnya.
“Diam terus, masak iya gak minta maaf sama sekali. Gara-gara harus mampir ngopi, aku jadi telat pulang.”
Tetap saja, aku bergeming mendengar kata-katamu. Aku benar-benar tenggelam dalam novel yang kubaca. Aku tak rela jika kenikmatan membaca ini putus hanya karena harus menanggapi rasa kesalmu, yang kutahu ujungnya tetap tak akan reda rasa kesalmu itu. Aku sudah sangat hafal, rasa kesalmu hanya akan reda ketika kopi pesananmu datang.
***
“Dua kopi Kucur tubruk mbak” kata seorang yang sangat kuhafal suaranya.
“Makasih ya Nung!”
“Iya mas, sama-sama.”
“Mbakmu lagi kesal sama aku Nung, makanya dia sedikit cuek sama kamu.”
“Aku hafal mas. Hehe.”
“Setelah menyeruput kopi adukanmu pasti langsung luluh rasa kesalnya. Haha.”
“Aku permisi dulu ya mas.”
“Oke, makasih ya.”
“Permisi mbak, sudahi marahnya dan selamat menikmati kopinya. Hahahaha.”
Kulihat Inung mencoba bercanda dengan Sekar kekasihku. Aku tahu, kita berdua sudah terlampau sering untuk sekadar menikmati kopi di kedai ini. Bahkan tak jarang kita juga ikut merancang beberapa kegiatan diskusi buku di kedai ini. Makanya hampir semua yang ada di kedai ini hafal dengan kita.
Kita berdua memang cocok dengan suasana kedai dan rasa kopinya. Aku pun bertemu dengan Sekar juga saat sama-sama menikmati kopi di kedai ini. Dari situlah aku mulai tahu tentang Sekar, begitupun sebaliknya. Sampai akhirnya kita sepakat untuk menjadi sepaket sampai tua.
***
“Kamu baca buku apa?”
“Novel Aroma Karsa.”
“Bagaimana rencana kumpulan cerpenmu?”
“Masih proses, sebentar ya, ini dikit lagi akhir bab. Nanggung kalau gak sampai selesai sekalian bacanya.”
Kamu memang sudah sangat hafal denganku. Aku sudah terlampau sering untuk tak bisa diusik sama sekali saat sedang baca buku. Dan kamu juga sering mengungkapkan kekesalanmu padaku, tapi itu tak berhasil mengubah apa-apa. Aku dan kamu tetap sepakat untuk terus sepaket satu sama lain dan saling melengkapi.
“Akhirnya, tinggal beberapa bab lagi menuju akhir.”
“Apa isisnya?”
“Nanti kalau sudah selesai aku cerita. Karena aku sendiri masih penasaran sama ujung ceritanya.”
“Minum dulu itu kopinya, makin ahli Inung bikin kopinya.”
“Hahahaha iya, itu karena sering kena tegur kamu.”
“Itu demi keaslian dan kekhasan rasa kopi di sini.”
“Hujannya gak reda-reda, bagaimana kalau kamu ketinggalan acara di rumah?”
“Gak apa-apa, tadi sudah kasih kabar ke ibu, kalau kamu menculikku, Hahaha.”
***
Kotamu memang sering hujan. Dan duduk berdua denganmu di kedai kopi seperti sore ini membuatku makin bahagia tinggal di kotamu ini. Kamu sering menyuruhku untuk cepat lulus dan balik ke kampung halamanku yang gersang itu. Meskipun kita satu angkatan, tapi kamu ternyata lebih cepat menyelesaikan kuliah, dan kini kamu bekerja sesuai dengan yang kamu pelajari di ruang-ruang kuliahmu dulu.
Tapi anehnya kamu tak pernah menyalahkanku untuk pergi jauh dari buku, dan fokus kuliah. Kamu hanya ingin aku segera pulang, agar kotamu terbebas macet akibat mahasiswa-mahasiswa yang terlampau lama tinggal di kotamu ini. Tak jarang pula akhirnya ada yang benar-benar menetap di kotamu ini. Seperti inginku pula, agar bisa terus sepaket dan tingal denganmu di kotamu ini. Tapi sore ini berbeda, kamu mulai membincang tentang kuliahku.
“Seharusnya orang yang masuk di kotaku ini dibatasi.”
“Kenapa?”
“Biar gak macet dong.”
“Biar gak banjir juga.”
“Kamu kapan rencana pulang?”
“Kenapa bahas pulang?”
“Selesaikan itu kuliahmu, orang tuamu itu menunggumu di rumah.”
“Kok jadi bahas kuliahku?”
“Aku juga menunggumu, masak iya kamu mau terus-terusan begini. Kamu boleh merasa salah jurusan, tapi kamu punya tanggung jawab untuk menyelesaikan apa yang kamu mulai enam tahun yang lalu.”
“Iya nanti kukerjakan.”
“Kalau sudah selesai urusan kuliah, nanti kamu bisa mulai lagi sesuatu yang baru yang berkaitan dengan buku. Kamu akan sangat leluasa dan tak selalu kepikiran dengan kuliahmu yang belum selesai.”
“Iya, terima kasih sarannya, kita bahas yang lain saja. Kalau sudah selesai baca Aroma Karsa nanti aku ngerjain tugas akhirnya.”
“Tuh kan, pasti gitu jawabnya.”
“Iya sayang…. Pasti aku kerjakan tugas akhirku setelah baca novel ini dulu. Baru setelah itu aku buat lanjutin rencana bikin kumpulan cerpen dan setelahnya baru mulai lanjut tugas akhir.”
“Pasti gitu terus jawabnya, dari dulu juga bilangnya habis ini dikerjakan, habis ini dikerjakan.”
“Ayo bahas banjir dan macet kotamu aja lagi.”
“Tuh kan.”
“Aku mau bikin cerpen tentang kotamu lagi.”
“Terserah!”
***
Setelah mendapati hujan tak kunjung reda. Arah pandangku justru tertuju padamu yang ada di depanku. Aku tahu kamu sedang memikirkan sesuatu.
“Apa kamu kepikiran rumah?”
“Emangnya kenapa?”
“Kamu kelihatan memikirkan sesuatu.”
“Hanya kepikiran sama kamu aja. Kuliahmu gak selesai-selesai.”
“Kok balik lagi ke masalah kuliah?”
“Kamu salah satu yang menyebabkan kotaku banjir dan macet.”
“Ahhh jangan bercanda dong, kan aku sudah berusaha menjadi seorang yang mencintai kesejukan kotamu lewat cerpen-cerpenku.”
“Iya, aku tahu itu memang salah satu cara untuk mengenang kotaku. Bahkan bisa jadi cara menyadarkan orang-orang di kotaku juga.”
“Sebenarnya aku punya rencana menuliskan cerpen tentang kotamu lagi.”
“Tentang apa?”
“Katanya tadi terserah!”
“Tentang apa?”
“Tentang puncak gunung yang hilang di kotamu ini.”
***
Sambil menunggumu memesan kopi, aku tadi melihat jalanan di depan kedai kopi yang beberapa bagiannya tergenang air. Selokan juga tersumbat sampah. Meskipun hujan deras mengguyur kotamu, hilir mudik kendaraan tak surut, seperti halnya air hujan yang membentuk genangan-genangan, bahkan kendaraan itu justru saling kebut satu sama lain. Seolah kotamu ini benar-benar sibuk tak ada istirahatnya.
Mataku juga tertuju pada sebuah bangunan megah berwarna emas seperti istana. Yang kutahu di seberang kedai ini pula dibangun sebuah hotel bintang lima, yang mungkin orang kotamu jarang yang menginap di sana. Kecuali para pejabat ataupun orang-orang yang mampu membayar jutaan rupiah hanya untuk menikmati fasilitas mewah di dalamnya.
Melihat bangunan indah itu, aku teringat ada sesuatu yang hilang dari pandanganku. Dulu Ketika aku awal datang di kota ini, dan menikmati kopi di kedai ini, aku bisa melihat sebuah puncak gunung. Meskipun itu jauh, aku masih bisa melihatnya samar dan yakin itu adalah puncak gunung Panderman. Itu menjadi sebuah pemandangan yang sangat indah dan dari keindahan itu, aku mulai suka menulis tentang kotamu. Mulai gunung-gunung yang mengelilingi kotamu, sungainya, bahkan toko buku paling tua di kotamu pun sempat menjadi inspirasi cerpenku.
Namun sore ini aku sadar, puncak gunung itu telah lenyap, di telan bangunan berkilau emas di hadapanku. Aku jadi penasaran, apakah di sisi timur kotamu juga masih bisa melihat puncak Mahameru di pagi hari. Jangan-jangan sama seperti padatnya kendaraan di sepanjang jalan kotamu, kini tubuh subur kotamu juga sedang banyak ditanami gedung-gedung tinggi. Seolah harus dibangun gagah, kokoh, tinggi menjulang seperti sarang raksasa.
“Sudahlah, itu memang kenyataan kotaku. Kamu harusnya sadar, cepat lulus biar kotaku bisa bernapas.”
“Aku kan mau tinggal di kotamu. Hidup berdua denganmu. Hahahaha.”
“Dasar!!!!”
Malang, 2023