Kemajuan teknologi informasi yang pesat dan secara terus menerus tanpa henti menunjukkan bahwa teknologi kini tidak hanya berkembang, tetapi juga telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bidang-bidang seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial semakin berkembang pesat karena kemajuan teknologi informasi.
Perkembangan teknologi informasi ini memudahkan interaksi antar individu, baik dengan keluarga, teman, maupun orang yang bahkan belum bertemu sebelumnya. Teknologi informasi juga memberikan kemudahan akses ke beragam informasi dan pengetahuan. Meskipun demikian, teknologi juga memiliki sisi lain yang harus kita waspadai. Dibalik kemudahan yang diberikan, terdapat pula dampak negatif yang ditimbulkan, yaitu munculnya berbagai tindakan kejahatan digital.
Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) adalah kejahatan yang muncul dikarenakan perkembangan teknologi informasi. Salah satu bentuk KBGO yang saat ini marak terjadi adalah kasus pornografi balas dendam atau disebut juga revenge porn. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) tahun 2023, terjadi 339.782 kasus kekerasan berbasis gender yang dilaporkan, dan 1.697 diantaranya merupakan KBGO yang didominasi oleh kasus revenge porn. Secara umum korbannya mayoritas adalah perempuan. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, mengingat revenge porn merupakan salah satu bentuk dari kekerasan seksual.
Revenge porn merupakan tindakan menyebarluaskan konten seksual pribadi di internet tanpa adanya persetujuan atau pengetahuan dari pemilik konten tersebut. Menurut Violence Against Women Learning Network (VAW Network), revenge porn dikategorikan sebagai distribusi materi berbahaya dengan tujuan membalas dendam melalui penyebaran konten pornografi milik korban.
Meski istilah ini mengandung unsur balas dendam, pada kenyataannya, motif revenge porn seringkali juga mencakup pemerasan, intimidasi, atau ancaman, baik untuk memperoleh uang, memaksa korban melakukan hubungan seksual, maupun merusak reputasi korban. Ironisnya, pelaku revenge porn umumnya berasal dari lingkaran terdekat korban, seperti pasangan, mantan, teman, atau bahkan peretas.
Revenge Porn dalam Sudut Pandang Kesetaraan Gender
Fakta bahwa korban KBGO termasuk revenge porn didominasi perempuan, menyebabkan revenge porn sering dikaitkan dengan budaya patriarki. Budaya patriarki menggambarkan cara pandang yang menganggap dominasi laki-laki atas perempuan sebagai hal yang biasa. Dalam budaya ini, perempuan diposisikan sebagai sosok yang lebih lemah secara sosial dan dianggap harus menaati semua kehendak laki-laki.
Pandangan ini mendorong keinginan untuk mengendalikan dan menguasai perempuan untuk mendapatkan keinginan pelaku, dan ketika tidak ada persetujuan, kekerasan sering kali menjadi cara untuk memaksakan kehendak tersebut. Pelaku revenge porn biasanya menjadikan foto atau video milik korban sebagai alat mengendalikan atau mengintimidasi perempuan. Ancaman penyebaran foto atau video tersebut, menjadikan perempuan rentan terhadap kekerasan psikologis dan pemerasan, yang sering kali terjadi dalam hubungan yang tidak setara atau mengandung kekerasan berbasis gender.
Budaya patriarki dalam kasus revenge porn dapat juga dilihat pada pandangan budaya kita terhadap kejahatan seksual turut melanggengkan sikap menyalahkan korban (victim blaming) dan cenderung memaklumi tindakan pelaku, sekaligus memperkuat ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Victim blaming sendiri berarti membenarkan ketidakadilan dengan mencari kesalahan atau kekurangan pada korban.
Menyalahkan korban karena dianggap sembrono mengambil gambar telanjang adalah contoh nyata dari victim blaming. Selama ini, fokus kesalahan selalu diarahkan kepada korban, padahal yang seharusnya disorot adalah hak korban yang telah dirampas. Revenge porn bukan hanya soal penyebaran gambar intim di ranah digital, tetapi juga mencerminkan perampasan kontrol perempuan atas tubuh mereka sendiri.
Budaya victim blaming yang kuat di masyarakat membuat banyak orang memberikan komentar negatif tanpa menunjukkan empati pada korban revenge porn. Bahkan victim blaming nyatanya tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga dapat muncul dari perempuan terhadap sesama perempuan. Dampaknya, banyak korban yang merasa malu atau takut untuk bersuara maupun mencari pertolongan ketika mengalami kekerasan. Hal ini terjadi karena korban merasa tidak aman untuk mengungkapkan apa yang mereka alami.
Salah satu kasus revenge porn yang cukup menarik perhatian publik, yaitu kasus revenge porn yang dialami oleh artis Indonesia RK (24) yang dilakukan oleh mantan kekasihnya sendiri, dengan menyebarkan video syur mereka pada Juni tahun 2023 lalu. Dilansir dari Tribunnews.com Komnas Perlindungan Perempuan (22/10/2023), diduga motif penyebaran video syur tersebut adalah pelaku iri hati atau cemburu terhadap korban. Sebagai korban, RK malah menjadi pihak yang disudutkan oleh masyarakat. Banyak masyarakat yang menyalahkan dan memojokkan RK melalui akun media sosial pribadinya baik di Instagram maupun Tiktok.
Diantaranya adalah komentar akun @abcdergh44: “Like L*ntee”, @rude.die: “Semua orang punya aib, tp tidak semua orang mendokumentasikan aibnya, @ocaamalia3105: “ngeri yahh video nya”, dan masih banyak komentar negatif lainnya hingga RK pun menonaktifkan fitur komentar pada akun media sosialnya. Bahkan RK sebagai korban malah meminta maaf terhadap masyarakat serta orang sekitarnya yang terkena imbas mengenai kasus yang dialaminya.
Akibat kasus ini, hubungannya dengan kekasihnya FF harus kandas dikarenakan tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Dikutip dari suara.com (09/08/2023), orang tua FF secara terang-terangan tidak lagi merestui hubungan putranya dengan RK dikarenakan kasus tersebut. Pihak RK juga meminta pendampingan psikolog dan selayaknya mendapatkan bantuan dari Komnas Perempuan.
Dampak Revenge Porn Terhadap Korban
Masalah Psikologis
Awalnya, korban merasa dikhianati dan privasinya dilanggar. Namun, perasaan itu dengan cepat berubah menjadi malu, takut, tertekan, dan merasa sendirian. Rasa cemas sering muncul saat korban membayangkan seberapa luas konten itu telah tersebar, siapa saja yang sudah melihatnya, dan seperti apa tanggapan orang-orang.
Perasaan ini muncul bukan hanya karena tubuh atau aktivitas seksual mereka ditampilkan tanpa izin, tapi juga karena adanya stigma dari masyarakat terhadap orang yang menjadi korban. Dalam beberapa kasus, korban mengalami gangguan tidur, stres berat, trauma, rasa bersalah, kecemasan, bahkan hingga PTSD. Tak jarang korban menarik diri dari kehidupan sosial, bahkan muncul pikiran untuk bunuh diri sebagai cara untuk mengatasi stres yang dirasakan.
Rusaknya Reputasi dan Hubungan Sosial
Revenge porn memiliki dampak sosial yang signifikan. Korban sering kali langsung dinilai negatif oleh masyarakat dan disalahkan atas sesuatu yang bukan kesalahan mereka. Perasaan malu dan rasa bersalah sering kali membuat korban menarik diri dari pergaulan. Akibatnya, mereka bisa kehilangan dukungan sosial, menjadi bahan pembicaraan negatif, atau menghadapi perlakuan tidak adil di tempat kerja maupun sekolah. Citra diri di kehidupan nyata dan di media digital saling terhubung, sehingga penyebaran konten balas dendam seperti ini bisa membawa dampak serius dalam jangka panjang terhadap hubungan pribadi, karier, dan kesempatan sosial korban.
Reaksi Emosional yang Intens
Individu yang menjadi korban dapat merasakan gejolak emosi yang sangat kuat, seperti terkejut secara ekstrem, merasa bingung, mengalami mimpi buruk, hingga ketakutan yang terus-menerus, meskipun konten yang melibatkan dirinya tidak tersebar secara luas.
Upaya Perlindungan terhadap Perempuan Sebagai Korban Revenge Porn
Upaya memberikan perlindungan bagi perempuan korban revenge porn dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu jalur preventif (pencegahan sebelum kejahatan terjadi) dan jalur represif (penindakan setelah kejahatan terjadi). Upaya preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan dengan mengatasi faktor-faktor penyebab yang berakar pada masalah atau kondisi sosial yang dapat secara langsung maupun tidak langsung menumbuhkan tindakan kriminal.
Upaya preventif revenge porn bisa dimulai dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga privasi digital. Masyarakat perlu diberi edukasi bahwa membagikan konten pribadi berisiko, bahkan kepada orang yang dipercaya.
Penyuluhan publik perlu menekankan bahwa korban bukanlah pihak yang bersalah. Pelakulah yang harus dihukum. Korban justru perlu dilindungi, bukan disalahkan atau ikut dikenai sanksi. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya victim blaming untuk kedepannya.
Upaya represif mencakup tindakan penindakan dan penghukuman melalui proses penyidikan yang berlanjut ke pengadilan. Pendekatan represif ini dilakukan melalui penerapan sanksi hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang setelah melalui proses pembuktian diharapkan menghasilkan putusan pengadilan yang adil. Oleh karena itu, upaya represif yang dapat dilakukan meliputi:
Penindakan tegas terhadap pelaku dengan menjerat pelaku dengan hukum pidana sesuai undang-undang yang berlaku.
Perlindungan terhadap korban berupa pendampingan hukum, psikologis, dan menjamin korban tidak dikriminalisasi.
Pemblokiran konten oleh pemerintah dan penyedia platform bekerja sama untuk menghapus konten yang disebar tanpa izin.
Revenge porn merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang memperkuat ketidakadilan gender, dan oleh karena itu harus diberantas secara serius. Upaya ini membutuhkan peran semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga lembaga pendidikan. Pemerintah harus memperketat undang-undang serta memberi perlindungan hukum bagi korban.
Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran serta menghentikan budaya victim blaming yang memperparah penderitaan korban. Lembaga pendidikan juga berperan penting dalam menanamkan nilai kesetaraan dan menghormati privasi, sehingga generasi mendatang dengan upaya kolektif, kita dapat menciptakan ruang digital yang aman dan menghormati hak asasi setiap individu.