Bagaimana rupa nasionalisme? Seperti apa bentuk padatnya dan wujudnya? Apakah masih dalam format yang abstrak yang dikonversikan berulang dalam pelbagai implementasi kebangsaan? Barangkali tak ada jawaban pasti mengenai wujud. Hanya ada laku dari nasionalisme itu sendiri, mulai dari yang besar sampai kecil sekalipun.
Inilah yang mungkin dicoba dipresentasikan ulang oleh Mangunwijaya dalam bentuk kisah di novel monumentalnya, Burung-Burung Manyar. Dengan nada yang lugu, alih-alih otoriter. Lewat para karakternya yang dilema dan penuh ragam bimbang, Mangunwijaya menciptakan gejolak batin akan persoalan identitas kebangsaan.
Novel Burung-Burung Manyar ditulis oleh Y.B. Mangunwijaya, atau yang lebih dikenal dengan Romo Mangun. Selain sebagai sastrawan, ia juga merupakan seorang imam Gereja Katolik Roma. Pun, Mangunwijaya dikenal sebagai budayawan, arsitek, sekaligus aktivis sosial.
Di sini Semilir, setelah merampungkan diskusi intens mengenai substansial isi dari Max Havelar, bergeser lagi untuk lebih dalam menyusup ke ruang-ruang sejarah yang jarang terjamah. Nantinya novel karya Mangunwijaya, Burung-Burung Manyar tersebut menjadi ladang adu argumen dalam acara diskusi yang bertajuk “Romo Mangun dan Burung-Burung Manyar”.
Acara diskusi tersebut diselenggarakan langsung oleh Semilir Media, dibersamai Kalimetro Shop, Komunitas Kalimetro, Kedai Kopi Kalimetro, dan MCW (Malang Corruption Watch). Acara diadakan pada;
Tanggal : Sabtu, 25 Februari 2023
Waktu : 14.00 WIB
Tempat : Kalimetro, Jl. Joyosuko Metro No.42, Merjosari, Kec. Lowokwaru, Kota Malang
Pada acara diskusi “Romo Mangun dan Burung-Burung Manyar” ini, Muammar Nur akan duduk sebagai pemantiknya. Acara diskusi berlangsung semi-eksklusif, dengan membuka gerbong kuota yang terbatas untuk pihak luar atau yang diundang.
Perlu diketahui bahwa eksistensi dari novel Burung-Burung Manyar sangatlah massif. Novel yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1981 ini mengundang banyak komentar dari para sastrawan dan akademisi lainnya, sebab di samping mendengungkan sejarah, novel ini juga gambaran dari kegentingan dan kegalauan batin seorang Indonesia pada masa-masa kependudukan asing.
Tentu akan menjadi pergumulan yang menarik jika lapisan-lapisan novel Burung-Burung Manyar dibuka lagi. Kiranya, apa yang akan kita dapatkan lagi di sana. Identitas yang masih samar, kah? Atau suatu ketegasan identitas?