
Bayangkan sebuah perjanjian perdamaian yang menjamin stabilitas dan harmoni antarsuku di sebuah kota multikultural. Kini bayangkan surat perjanjian itu dibakar di hadapan publik oleh salah satu pihak, disertai deklarasi dingin: “Kami tidak pernah ada janji apa-apa dengan Muhammad.” Itulah yang dilakukan oleh Bani Quraizhah—sebuah tindakan dramatis yang memicu babak kelam dalam sejarah Madinah dan Islam awal. Penghancuran simbolis atas Piagam Madinah bukan hanya pengingkaran terhadap kata-kata, tetapi juga pembukaan pintu bagi pertumpahan darah dan kehancuran politik.
Artikel ini mengangkat salah satu aspek paling dramatis dan unik dari Perang Bani Quraizhah: tindakan pembakaran perjanjian secara terbuka yang menjadi titik balik konflik. Peristiwa ini bukan hanya soal militer atau politik, tetapi juga menyangkut simbolisme, etika perjanjian, dan kehormatan dalam masyarakat Arab kala itu.
Piagam Madinah dan Koeksistensi Damai
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad saw. memprakarsai sebuah dokumen politik dan sosial bernama Piagam Madinah. Dokumen ini menjadi dasar hidup berdampingan antara umat Islam (Muhajirin dan Anshar) serta komunitas Yahudi seperti Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Salah satu poin penting dalam piagam ini adalah: setiap komunitas berhak menjalankan agamanya dan akan saling membantu melindungi Madinah dari serangan luar.
Piagam ini bukan hanya janji mulut. Ia merupakan instrumen kenegaraan awal yang menciptakan tatanan hukum dan kerukunan antarsuku. Oleh karena itu, pengkhianatan terhadap perjanjian ini bukan sekadar pelanggaran politik, melainkan penghancuran tatanan sosial.
Dinamika Politik dan Provokasi Bani Nadhir
Ketegangan mulai meningkat ketika Bani Nadhir—yang sebelumnya telah diusir dari Madinah karena pelanggaran serupa—berusaha membalas dendam. Huyay bin Akhtab, tokoh utama Bani Nadhir, memainkan peran sentral dalam memprovokasi Bani Quraizhah untuk melanggar perjanjian. Ia berhasil membujuk Ka’ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah, untuk bergabung dalam koalisi musuh dalam Perang Khandaq.
Ini bukan keputusan yang mudah bagi Bani Quraizhah. Mereka menghadapi dilema antara kesetiaan terhadap perjanjian atau peluang untuk memulihkan dominasi politik Yahudi di Madinah. Sayangnya, mereka memilih pengkhianatan.
Tindakan Simbolis: Pembakaran Perjanjian
Yang membuat pengkhianatan ini luar biasa adalah bagaimana Bani Quraizhah mengumumkannya. Alih-alih menyembunyikan niat atau membatalkan perjanjian secara diplomatis, mereka melakukan tindakan teatrikal: membakar surat perjanjian di depan umum.
Dalam budaya Arab kuno, perjanjian adalah sakral. Membakar perjanjian berarti membakar kehormatan. Dengan melakukan ini, Bani Quraizhah mengirimkan pesan kepada semua suku di Madinah bahwa mereka siap untuk menghapus semua bentuk kesetiaan demi ambisi politik.
Pengepungan dan Arbitrase
Setelah pasukan Ahzab gagal menaklukkan Madinah dari luar, Nabi Muhammad langsung mengalihkan perhatian ke ancaman dalam kota: Bani Quraizhah. Mereka dikepung selama 15 hingga 25 hari. Tanpa bantuan dari luar yang dijanjikan, mereka menyerah.
Menariknya, Nabi Muhammad tidak langsung menjatuhkan hukuman. Ia menyerahkan keputusan kepada Sa’ad bin Mu’adz dari suku Aus, sekutu lama Bani Quraizhah. Sa’ad memutuskan berdasarkan hukum Taurat, yang ironisnya dipegang oleh Bani Quraizhah sendiri: para pria dewasa dihukum mati, wanita dan anak-anak dijadikan tawanan.
Pengepungan pun dimulai. Dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW, sekitar 3.000 pasukan infanteri dan 30 pasukan berkuda mengepung benteng selama kurang lebih 15 hingga 25 hari. Strategi pengepungan dilakukan secara sabar namun konsisten, memutus akses air dan logistik. Setiap hari yang berlalu memperlemah mental dan fisik Bani Quraizhah.
Benteng yang kokoh itu lambat laun menjadi penjara bagi para penghuninya. Ketakutan mulai menyelimuti hati mereka. Persediaan makanan semakin menipis, dan tidak ada bala bantuan yang datang. Mereka sadar, pengkhianatan yang mereka lakukan kini berbalik menjadi bumerang mematikan.
Di tengah penderitaan itu, muncul perdebatan di antara anggota Bani Quraizhah tentang langkah selanjutnya. Sebagian ingin melawan hingga mati, sebagian lain mengusulkan untuk memeluk Islam, namun mayoritas memilih untuk menyerah dengan syarat keputusan nasib mereka ditentukan oleh salah satu sekutu lama mereka dari suku Aus—yakni Sa’ad bin Mu’adz.
Permintaan ini dikabulkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sa’ad bin Mu’adz, yang saat itu tengah terluka karena pertempuran sebelumnya, dibawa dengan tandu ke hadapan Nabi dan kemudian memimpin proses arbitrase. Di sinilah sejarah mencatat salah satu keputusan paling dramatis dalam sejarah konflik suku di Madinah, yang akan dikenang hingga hari ini.
Penyerahan diri Bani Quraizhah bukanlah akhir dari penderitaan mereka, tetapi awal dari konsekuensi yang sangat berat atas pengkhianatan mereka. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa dalam politik dan perang, pelanggaran perjanjian bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan.
Dampak Politik dan Sosial
Eksekusi antara 600 hingga 900 laki-laki dewasa Bani Quraizhah menandai berakhirnya kekuatan politik Yahudi di Madinah. Ini bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga transformasi total struktur kekuasaan kota. Rampasan perang dari Bani Quraizhah memperkuat sumber daya Muslimin, dan keamanan internal Madinah pun terjaga.
Sebelum peristiwa ini, Bani Quraizhah dan suku-suku Yahudi lainnya memiliki peran besar dalam pengelolaan ekonomi, sosial, dan administrasi di Madinah. Namun, setelah pengkhianatan mereka dibalas dengan keputusan arbitrase Sa’ad bin Mu’adz, posisi mereka runtuh seketika. Perang ini menjadi titik balik dalam sejarah kota, di mana kendali penuh atas keamanan, politik, dan kepemimpinan sipil kini berada di tangan umat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW.
Rampasan perang yang diperoleh dari kekayaan Bani Quraizhah memperkuat sumber daya komunitas Muslim. Harta benda, senjata, dan lahan yang sebelumnya dikuasai oleh Bani Quraizhah kini menjadi bagian dari aset umat Islam. Ini memungkinkan Nabi dan para sahabat memperkuat struktur pertahanan, memperluas program dakwah, serta meningkatkan taraf hidup umat Islam yang sebelumnya berada dalam tekanan ekonomi.
Lebih jauh lagi, peristiwa ini memberikan pesan kuat terhadap komunitas lain di Madinah dan sekitarnya: bahwa umat Islam bukan hanya sekadar komunitas baru yang mencari tempat tinggal, tetapi kekuatan yang terorganisir, disiplin, dan memiliki mekanisme pertahanan serta keadilan sendiri. Keamanan internal Madinah pun semakin kokoh karena ancaman dari dalam telah disingkirkan, dan komunitas Muslim mulai dikenal sebagai penjamin stabilitas politik dan sosial yang baru di kawasan itu.
Warisan dan Kontroversi
Perang Bani Quraizhah menjadi topik yang terus diperdebatkan dalam sejarah Islam. Apakah tindakan Nabi Muhammad adil? Apakah hukuman itu sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan? Sebagian sejarawan menilai bahwa peristiwa ini harus dilihat dalam konteks perang dan pengkhianatan di masa itu.
Namun satu hal yang pasti: tindakan pembakaran perjanjian adalah simbol paling kuat dari pengkhianatan dalam sejarah Islam awal. Ia bukan hanya merusak kesepakatan, tetapi juga menciptakan preseden bahwa pengingkaran terhadap janji akan mendapat balasan tegas.
Simbol yang Mengubah Sejarah
Perang Bani Quraizhah bukan sekadar episode perang biasa. Ia adalah kisah tentang perjanjian yang dibakar, janji yang dikhianati, dan dampak besar yang melampaui generasi. Dengan memahami simbolisme pembakaran perjanjian, kita tak hanya belajar sejarah, tetapi juga tentang pentingnya menjaga integritas, komitmen, dan keadilan dalam membangun masyarakat majemuk.
Dalam dunia yang semakin pluralistik saat ini, kisah ini menjadi pelajaran bahwa kesetiaan terhadap perjanjian dan keadilan adalah fondasi perdamaian yang tak boleh diabaikan. Kisah Bani Quraizhah adalah cermin dari apa yang terjadi ketika simbol kehormatan dikorbankan atas nama ambisi politik.