Sarinah: Warisan Sukarno untuk Emansipasi Perempuan (sumber foto: Kalamkopi)
Sarinah: Warisan Sukarno untuk Emansipasi Perempuan (sumber foto: Kalamkopi)

Setiap tanggal 8 Maret, dunia memperingati International Women’s Day, momen untuk  merefleksikan perjuangan kesetaraan gender. Hari Perempuan Internasional diawali pada tahun  1908, di tengah kondisi kerja yang memprihatinkan dan eksploitasi yang merugikan, sekitar  15.000 perempuan di New York turun ke jalan. Mereka memperjuangkan pengurangan jam  kerja, gaji yang lebih baik, dan hak suara.

Setahun setelahnya, Partai Sosialis Amerika  mengumumkan peringatan Hari Perempuan Nasional sebagai bentuk penghormatan kepada  para demonstran yang berjuang untuk hak-hak perempuan. Peringatan ini kemudian  berkembang menjadi acara global pada tahun 1910, didukung oleh para sosialis internasional  yang menyerukan pentingnya hari peringatan bagi perempuan. Hari Perempuan Internasional  pertama kali diperingati pada tahun 1911, dengan lebih dari satu juta orang turun ke jalan untuk  menyuarakan hak-hak perempuan. 

Dalam konteks Indonesia, salah satu pemikiran yang berpengaruh dalam wacana emansipasi  perempuan adalah buku Sarinah, karya Sukarno. Buku ini bukan sekadar refleksi pemikiran  seorang proklamator, tetapi juga manifesto politik yang menegaskan peran perempuan dalam  revolusi nasional dan sosialisme Indonesia.

Diterbitkan pada 1947, Sarinah lahir dari gagasan  Sukarno yang menempatkan perempuan sebagai elemen kunci dalam perjuangan bangsa.  Judulnya sendiri diambil dari nama pengasuh Sukarno saat kecil, yang memberikan kesan  mendalam bagi pandangannya tentang perempuan. Dalam buku ini, Sukarno menekankan  bahwa perempuan bukan hanya objek pelengkap dalam masyarakat, tetapi juga subjek aktif  dalam perubahan sosial. 

- Poster Iklan -

Dalam Sarinah, Sukarno mengkritik sistem patriarki yang membelenggu perempuan dan  menghambat peran mereka dalam pembangunan. Selain mengkritik, Sukarno juga menyoroti  arogansi sistem patriarki dengan menunjukkan betapa besar peran perempuan dalam kemajuan  peradaban manusia. 

Pada awalnya, manusia harus berburu untuk memenuhi kebutuhan makanannya, sehingga  mereka berpindah-pindah mengikuti ketersediaan sumber pangan. Dalam tatanan sosial seperti  itu, laki-laki bertugas berburu, sementara perempuan dan anak-anak menunggu hasil buruan.  Proses berburu ini membutuhkan waktu lama, sehingga perempuan harus berpikir keras agar  mereka dan anak-anak tetap bisa makan serta terlindung dari cuaca dan ancaman hewan buas.  Dari proses berpikir ini, perempuan mulai menemukan sistem pertanian dan perkebunan 

sederhana, yang menjadi fondasi sistem pertanian modern. Selain itu, perempuan juga  membangun gubuk sebagai tempat berlindung, yang menjadi awal mula perkembangan  arsitektur permukiman manusia. Seiring berjalannya waktu, perempuan pun mengembangkan  domestifikasi hewan, yang kemudian menjadi dasar dari sistem peternakan. 

Perubahan ini membawa loncatan besar dalam peradaban manusia, dari kehidupan berburu  menjadi bercocok tanam dan beternak, serta dari pola hidup nomaden menjadi menetap.  Namun, seiring berkembangnya peradaban, laki-laki mengambil alih sistem pertanian,  perkebunan, dan pembangunan rumah. Dengan hilangnya kepemilikan perempuan atas alat  produksi, sistem patriarki dan kapitalisme mulai menempatkan perempuan dalam posisi yang  tertindas.

Mereka akhirnya didomestifikasi oleh sistem yang menyingkirkan mereka dari sektor  produksi. Sukarno menegaskan bahwa eksploitasi perempuan bukan hanya terjadi dalam ranah  domestik, tetapi juga dalam sistem kapitalisme yang menindas. Oleh karena itu, menurutnya,  perjuangan perempuan harus sejalan dengan perjuangan sosialisme dan anti-kolonialisme.  Menurut Sukarno, hanya dalam sistem sosialisme perempuan dapat terbebas dari penindasan. 

Lebih dari 75 tahun sejak diterbitkan, pemikiran dalam Sarinah masih relevan. Perjuangan  kesetaraan gender di Indonesia terus berlanjut dalam aspek politik, ekonomi, dan sosial.  Meskipun perempuan kini memiliki lebih banyak ruang dalam berbagai sektor, hambatan  struktural masih ada. Sistem sosial masih membentuk persepsi bahwa perempuan hanya  memiliki peran domestik, sehingga banyak perempuan yang tidak menyadari betapa besar  kontribusi mereka terhadap peradaban manusia. Membaca Sarinah hari ini bukan sekadar  mengenang pemikiran Sukarno, tetapi juga sebagai refleksi atas tantangan yang masih harus  dihadapi. 

Sarinah bukan hanya buku sejarah, tetapi juga panduan untuk memahami akar persoalan  ketidakadilan gender di Indonesia. Pemikiran Sukarno tentang perempuan masih bisa menjadi  inspirasi bagi gerakan feminisme dan aktivisme sosial saat ini. Dalam peringatan International Women’s Day, membaca dan mendiskusikan Sarinah adalah langkah untuk terus  menghidupkan semangat perjuangan perempuan demi masyarakat yang lebih adil dan setara.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here