Di perbukitan Seulawah, Kota Sigli, Aceh, mereka yang dituduh komunis disembelih. Meski telah mati, mereka yang kepalanya belum benar-benar tanggal tetap digorok sampai lepas. Di bawah langit Sigli, mereka seolah-olah mati dua kali. Pembantaian bengis yang dilakukan oleh para jagal itu terjadi tak lama setelah meletusnya peristiwa G30S. Pada tahun 1965-1966 yang penuh teror, benar-benar tak ada iblis di neraka, iblis-iblis itu melakukan eksodus besar-besaran ke Indonesia: 500.000 hingga 3 juta manusia tewas baik ditembak selongsong revolver atau digorok dengan golok (Melvin, 2022).
Sejak pembantaian itu, generasi selanjutnya mempunyai tanggung jawab mahapenting: Menguak rasa sakit, trauma, dan kebenaran sejarah. Di sini, sastra juga harus ambil bagian; sejarah—juga politik—tak bisa dibaikan dalam kesusastraan. Kita harus mengutip perkataan Stendhal (1952:575-576) di Le Rouge et le Noir, “Politik dalam karya sastra adalah sebuah pistol yang ditembakkan di tengah-tengah konser, sebuah tindakan kejam yang mustahil diabaikan. Kita hendak membicarakan sebuah urusan gelap.”
Dalam melihat jagat kesusasteraan, kritik sastra kontemporer mempunyai kecenderungan “palingan etis” (ethical turn) yang berdasar pada konsep trauma—terutama kalangan Mazhab Yale yang sangat dipengaruhi oleh dekonstruksi Derrida (Mazhab Yale juga sering disebut sebagai kalangan posdekonstruksi). Posdekonstruksi hadir, pada tahun 1990an, untuk menjawab satu pertanyaan tentang penderitaan dan rasa sakit.
Pertanyaan etika-dekonstruksi membuat teori tentang trauma berusaha untuk menyatukan antara teks serta problem interpretasi (Paul de Man menyebutnya sebagai “hukum internal” karya sastra) dengan sejarah (“relasi eksternal” karya sastra). Dengan kata lain, teori trauma menyatukan dua hal: Teks dan problem interpretasi dengan sejarah; menyatukan antara “hukum internal” dan “relasi eksternal” dalam karya sastra. Namun, teori trauma tidak hanya menjadi tren di kalangan mazhab posdekonstruksi, melainkan juga telah menjadi tren dalam diskursus kesusasteraan mutakhir.
Kalangan posdekonstruksi—yang berusaha menjawab pertanyaan tentang bagaimana respon etis terhadap trauma—tak hanya berkutat dengan rasa sakit, melainkan juga berkutat pada pemahaman, juga batas pemahaman, kita tentang rasa sakit. Oleh karena itu, dekonstruksi berusaha untuk menguak rasa sakit dengan mendekonstruksi masa lalu. Seperti yang dikatakan Cathy Caruth, alasan posdekonstruksi sangat berharga adalah karena trauma bukanlah peristiwa sejarah itu sendiri, juga bukan ingatan yang bias tentang suatu peristiwa tertentu, melainkan “…hanya sekadar strukur pengalaman atau resepsi…” (Caruth, 1995:04). Dua hal penting yang kita dapatkan di sini: Pertama, konsep trauma sangat memengaruhi struktur pengalaman individu; dan kedua, dengan mendekonstruksi sejarah, kita juga berarti menguak data-data dan keterangan tentang peristiwa rasa sakit.
Kritik sastra kontemporer membawa tanggung jawab setelah era Holocaust (atau juga dikenal sebagai era Solusi Terakhir), yakni mengungkap penderitaan dan rasa sakit orang lain. Namun, Holocaust—Judith Butler (2007) menyebutnya sebagai era “kehidupan berbahaya” (precarious life)—telah mengubah bagaimana cara kerja bahasa; pasca Holocaust, bahasa syarat dengan pertanyaan-pertanyaan etis. Dengan demikian, pada tahun 1900 awal sampai tahun 2000 awal, di mana genosida dan pembantaian terjadi di pelbagai belahan dunia, semesta kesusasteraan—yang dari sisi hukum internalnya adalah jagat linguistik—memikul beban etis; sastra juga punya tanggung jawab untuk mengungkap rasa sakit yang dipikul oleh korban yang mati dibakar di krematoriom atau ditebas sebilah parang.
Berakhirnya perang Dunia Kedua dan dimulainya Perang Dingin, Indonesia—sama seperti negara pascakolonial lain—tak bisa mengelak dari kekerasan di bawah rezim politik. Tak heran, seberapa pun ironisnya masa-masa horor itu, sastra Indonesia mempunyai pekerjaan rumah yang cukup berat untuk, sekali lagi, mengungkap peristiwa sejarah, ingatan dan trauma para korban.
Namun, terdapat beberapa pertanyaan penting: Apakah memang benar, seperti yang dikatakan Adorno (2003), “Setelah peristiwa Auschwitz-Birkenau, menulis puisi adalah tindakan barbar”? Bagaimana seharusnya menulis karya sastra setelah era Solusi Terakhir? Bagaimana menulis karya sastra di hadapan kekerasan tanpa ujung? Di era awal sampai akhir abad 20, sastrawan di berbagai belahan dunia berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan otak yang tercengang dan hati yang cemas.
Di Libanon misalnya, perang sipil selama 15 tahun pada tahun 1975-1990—yang akrab disebut Minggu Hitam di Beirut Timur—telah memengaruhi sastra posmodern Libanon. Elias Khoury, seorang sastrawan Libanon kontemporer, menulis satu buku di tengah-tengah perang sipil 15 tahun itu dengan sangat indah, City Gates (Abwab al-madina)—salah satu novel paling eksperimental dan asbtrak dalam sastra Arab postmodern yang terbit pertama kali pada tahun 1981. Seperti yang dikatakan Khoury dalam salah satu esainya, The Memory of The City, “Kota ini (yakni Beirut) secara brutal dirusak oleh perang sipil, hal tersebut hanya meninggalkan ruang ingatan traumatik bagi sastra” (Khoury, 1995:139).
Tak heran jika di dalam City Gates (2007), narasi dominan adalah ruang yang begitu besar bagi rasa sakit; kita diajak jauh lebih dekat, secara emosional, pada duka dan ketidakberdayaan. Novel ini eksperimental dan abstrak karena teknik yang digunakan Khoury: Teknik naratif yang eksperimental, yakni gabungan dari teknik stilistik tanpa bentuk yang jelas, teknik fragmentaris, hingga teknik polifoni, dan—di atas semua itu—buku ini penuh repetisi dan tanpa alur yang jelas.
City Gates, seperti yang dikatakan oleh Nouri Gana, “…harus dilihat, pertama-tama, sebagai usaha untuk menempa bahasa baru, gaya baru dalam menulis dan mode baru kritik yang tak hanya menerangkan sejarah tentang kekerasan yang telah menjadi kekerasan struktural, melainkan juga mengekspos akibat—baik material dan imaterial—setelah terjadinya perang, khususnya post-traumatic stress diorder” (Gana, 2014: 79). Oleh karena itu, untuk mengungkap trauma, rasa sakit dan usaha bertahan hidup pasca perang sipil itu, Khoury di dalam City Gates menggunakan teknik eksperimental yang memadukan unsur-unsur polifoni, fragmentaris, dan tanpa bentuk di satu sisi; juga metonimi dan repetisi di sisi lain.
Secara stilistik, novel City Gates menggambarkan trauma dengan bahasa liris, tapi pada saat yang sama, juga penuh bahasa dan alur cerita yang abu-abu. Singkatnya, ketika membaca novel ini, kata-katanya indah, tapi tak ada kesempatan bagi kita untuk membangun sebuah koherensi alur. Dan, satu hal penting di novel ini, peristiwa traumatik yang diulang-ulang secara intens (repetitif), bertujuan agar kita bisa mengingat dengan jelas peristiwa traumatik.
City Gates menggambarkan rasa sakit dengan cara yang alegoris; walhasil, novel ini tampak seperti sebuah tamsil panjang yang berkarakter sureal, bahkan di beberapa tempat juga terdapat cerita fantastik. Namun yang pasti, novel Khoury ini telah berhasil dalam dua hal: Pertama, berhasil memikul tanggung jawab rasa sakit peristiwa Minggu Hitam di Beirut Timur; kedua, City Gates berhasil menjadi tempat para korban bersuara kepada mereka yang tak merasakan peristiwa horor perang sipil yang menewaskan 120.000 – 150.000 korban jiwa itu.
Sama seperti Libanon, peristiwa G30S pada tahun 1965, juga kebrutalan rezim Orde Baru, membuat Indonesia juga memiliki beban sejarah hitam. Peristiwa penting pembantaian itu menjadi noktah yang berpengaruh langsung pada jagat kesusasteraan Indonesia—atau meminjam perkataan Faruk, “Sastra Indonesia lahir dari dan dalam ledakan besar bom kimiawi politik pascakolonial…” (Faruk, 2021: 17).
Tak heran jika beberapa karya sastra Indonesia abad 21 menjadikan peristiwa G30S, dan beberapa peristiwa pilu pasca 65 di bawah rezim Orde Baru, sebagai latar waktu kejadian dalam alur cerita. Misalnya, kita bisa menyebut beberapa contoh, Kubah (salah satu karya sastra pertama yang menceritakan peristiwa G30S) dan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jentera Bianglala) karya Ahmad Tohari; Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan; Amba karya Laksmi Pamuntjak; atau yang lebih mutakhir, Pulang karya Leila S. Chudori; Gadis Kretek karya Ratih Kumala; dan Orang-Orang Oetimu karya Felix Nesi (meski berlatar peristiwa dimulainya perpecahan Timor Timur di bawah rezim Orde Baru).
Karya sastra Indonesia, setidaknya karya yang dikutip di atas, menggambarkan teror kelam tahun 65 dan sesudahnya dengan teknik dan gaya khas masing-masing. Namun, hal yang perlu disoroti adalah, di karya sastra Indonesia, suara korban terpinggirkan, jadi bisu, dan peristiwa sejarah sekadar ditempatkan sebagai latar—memakai perkataan yang agak lebih pedas, sekadar dekorasi dan bayang-bayang di belakang pentas. Singkatnya, peristiwa kelam dan bersejarah sekadar tempat untuk menyatakan sesuatu yang lain (entah kisah cinta, entah kekeluargaan, entah rokok dan kretek…).
Ketegangan suasana dan konflik dalam cerita memang hadir, namun yang luput, tak seperti City Gates—juga Murambi: Buku tentang Tulang Belulang karya Boris Diop misalnya—adalah mendetailkan sisi bengis para jagal dan trauma para korban yang menyaksikan peristiwa berdarah. Jika pun ada suara korban, rasa sakit mereka tertutup oleh kisah lain yang menindihnya—misalnya, rasa sakit, penderitaan dan peristiwa mencekam yang dialami Kamerad Kliwon, sebagai pemuda komunis, di Cantik itu Luka, termarjinalkan oleh kisah cintanya pada Alamanda. Di jagat kesusteraan Indonesia, seperti ada yang direpresi, tak lain dan tak bukan: intensitas trauma dan rasa sakit korban.
Selain itu, ada satu tawaran lain yang harus ada dalam sastra Indonesia, meminjam perkataan Boubacar Boris Diop dalam Murambi, “…memanggil monster dengan nama aslinya” (Diop, 2023:261). Sudah saatnya sastra memanggil dewi Themis dan menguji demokrasi. Sastrawan harus meluangkan waktu untuk turun menjemput ingatan-ingatan traumatik subjek yang menyaksikan leher digorok di tanah pembantaian. Barangkali, inilah tugas etis sastra, tugas agar trauma punya masa depan dan rasa sakit bisa ditestimoni.
Daftar Pustaka
Adorno, Theodor W. 2003. “34 ‘Cultural Criticism and Society’”. The Holocaust: Theoretical Readings, Edinburgh: Edinburgh University Press. hlm. 280-281. https://doi.org/10.1515/9781474470230-045
Butler, Judith. 2006. Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence. London: Verso Books.
Caruth, Cathy. 1995. ed. Trauma: Explorations in Memory. London: Johns Hopkins University Press.
Diop, Boris. 2023. Murambi: Buku tentang Tulang Belulang. terj. Ari Bagus Panuntun. Yogyakarta: Shira Media.
Faruk. 2021. Politik dan Poetik. Yogyakarta: JBS.
Gana, Nouri. 2014. Trauma ties: chiasmus and community in Lebanese civil war literature dalam Durrant Sam & Eaglestone. The Future of Trauma Theory. USA: Routledge.
Khoury, Elias. 1995. The Memory of the City. Grand Street 54 (Autumn 1995). https://www.jstor.org/stable/25007930.
Khoury, Elias. 2007. City Gates. New York: Picador.
Melvin, Jess. 2022. Berkas Genosida Indonesia-Mekanisme Pembunuhan Massal 1965-1966. Depok: Komunitas Bambu.
Stendhal. 1952. Le Rouge et le Noir, Romans, dalam Dannies Connil. 2020. “Considerant Reveu du droit imagine.” Journal of Imagined Law, n.2, hlm. 79-86.