Hari-hari ini, kita dikejutkan oleh begitu banyak berita miring tentang Indonesia. Mulai dari pajak, bahan bakar, korupsi, hingga masalah pendidikan. Saat ini, yang menjadi perhatian utama adalah dunia pendidikan. Semua bermula dari linimasa media sosial saya yang menampilkan berita mengenai korupsi dana Program Indonesia Pintar (PIP). Dana bantuan pemerintah yang seharusnya diberikan kepada siswa-siswi kurang mampu, ternyata tidak sepenuhnya sampai kepada mereka.
Akun @broron adalah salah satu aktivis yang gencar membahas penyimpangan ini. Banyak cerita yang menunjukkan bahwa sekolah-sekolah tidak amanah dalam menyalurkan dana PIP. Broron berhasil mengungkap beberapa praktik kecurangan tersebut. Namun, ironisnya, para pelaku korupsi justru melaporkan balik Broron dengan tuduhan pencemaran nama baik. Lalu, di mana letak keadilan ketika kebenaran diputarbalikkan dan mereka yang jujur justru menjadi pihak yang disalahkan?
Yang membuat saya semakin miris adalah kenyataan bahwa korupsi ini terjadi di lingkungan sekolah. Saya, dan mungkin banyak orang lain, selalu menganggap sekolah sebagai institusi yang mulia. Sekolah seharusnya menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar menjadi pribadi yang cerdas dan berkarakter. Namun, justru di lingkungan yang seharusnya mengajarkan etika dan integritas ini, kebobrokan semakin nyata. Lalu, dimanakah anak-anak mendapatkan contoh baik tentang etika?
Sebenarnya, sejak lama sistem pendidikan di Indonesia sudah bermasalah. Misalnya, kurikulum yang sering berganti, hingga muncul anekdot: “Ganti Menteri, ganti kurikulum.” Belum lagi soal sistem zonasi, korupsi, dan rendahnya kualitas pendidikan. Sistem pendidikan kita telah berjalan lebih dari 70 tahun, tetapi kualitasnya masih stagnan. Bukti lambatnya Pendidikan kita adalah pada indikator peringkat PISA (Programme for International Student Assessment, dimana Indonesia menempati posisi ke-66 dari 81 negara.
Reformasi pendidikan berjalan sangat lambat, bahkan seolah tidak ada perubahan sama sekali. Jangan-jangan, yang kita butuhkan bukan lagi reformasi, melainkan revolusi pendidikan agar perubahannya lebih drastis. Namun, revolusi pendidikan tampaknya masih menjadi hal yang sulit terwujud. Butuh jiwa besar para pemimpin untuk melihat dunia pendidikan dengan jernih, tanpa dikotori pikiran politik praktis.
Setiap kali berbicara tentang permasalahan pendidikan di Indonesia, saya teringat lagu “School Revolution” dari Voice of Baceprot (VoB). Lagu ini lahir dari kegelisahan para personil VoB terhadap sistem pendidikan yang mereka alami sendiri, yang menurut mereka terlalu membatasi ruang gerak dan kreativitas siswa.
Dalam liriknya, VoB menyuarakan kritik bahwa pendidikan seharusnya membebaskan, bukan malah mengekang, serta menyoroti bagaimana sekolah sering kali lebih sibuk mengatur ketertiban ketimbang mendorong eksplorasi dan ekspresi diri para murid. Keresahan tersebut terasa relevan hingga kini, saat isu-isu pendidikan di Indonesia masih dipenuhi problematika serupa.
VoB adalah band metal asal Singajaya, sebuah desa di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Band ini awalnya beranggotakan 15 siswi dari sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTs) di daerah tersebut. Seiring waktu, personelnya mengerucut menjadi tiga orang inti, yakni Marsya (vokal dan gitar), Siti (drum), dan Widi (bass). Meski berasal dari desa kecil, VoB berhasil menembus perhatian dunia, terutama setelah Flea, bassist Red Hot Chili Peppers, dan Tom Morello, gitaris Rage Against The Machine, memberikan pujian dan dukungan kepada mereka.
Mari kita bedah liriknya lebih lanjut:
Kritik terhadap sistem pendidikan yang hanya berfokus pada akademik
“Terlempar kepala dipaksa pintar / Terdampar moral digoda bingar”
Lirik ini menggambarkan tekanan akademis yang besar, sementara moralitas dan karakter siswa sering kali diabaikan. Sekolah diharapkan menjadi penjaga integritas dan moralitas calon pemimpin bangsa, tetapi justru banyak yang terlibat dalam praktik tidak etis.
Kasus PIP dan pelanggaran sistem zonasi adalah contoh nyata dari bobroknya dunia pendidikan kita. Bukannya mengajarkan moralitas, sekolah malah menjadi tempat yang kehilangan integritasnya sendiri.
Kebebasan berpikir yang terkekang
“Di balik tembok isi kepala seakan digembok / Selaksa dogma ditimpa hingga bongkok, Bila teriak merdeka bersiaplah ditabok atau dikatain”
Sekolah digambarkan sebagai tempat yang membatasi kebebasan berpikir. Para siswa tidak didorong untuk berpikir kritis, tetapi justru dijejali dogma dan aturan yang harus diterima tanpa pertanyaan. Vokalis VoB, Marsya, pernah mengkritik sekolah melalui majalah dinding, tetapi tulisannya disobek dan ia dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling (BK). Kasus serupa terjadi pada Alya Anggraini, ketua OSIS SMK Negeri 2 Palu, yang dinonaktifkan dari jabatannya selama 23 hari setelah mengkritik dugaan pungli dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Kekecewaan dan kehilangan jati diri
“And my soul is empty / And my dream was dying”
Masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Sekolah seharusnya membantu siswa menemukan dan mengembangkan potensi mereka. Namun, sistem pendidikan kita hanya peduli pada nilai akademik.
Bayangkan seorang anak yang berbakat di bidang seni tetapi kurang dalam mata pelajaran sains, tetap akan dicap sebagai anak yang tidak berprestasi. Lirik ini mencerminkan betapa sistem yang mengekang dapat membuat individu kehilangan semangat, tujuan, bahkan identitas diri mereka.
Ironi pendidikan sebagai “penjara paling indah”
“Di sana dijuluki penjara paling indah / Tapi tak pernah berikan bukti apa-apa”
Sekolah sering disebut sebagai tempat terbaik untuk menimba ilmu, tetapi kenyataannya, tidak semua siswa merasakan manfaatnya. Ada ketidaksesuaian antara idealisme pendidikan dan realitasnya. Banyak siswa merasa bosan dan terkekang di sekolah karena kurangnya kreativitas dalam metode pembelajaran.
“Hanya seabruk aturan yang tak pernah diterapkan / Menyisakan sejarah yang telah terlupakan”
Banyak aturan yang dibuat dengan tujuan menciptakan lingkungan belajar yang baik, tetapi dalam praktiknya sering kali diabaikan atau dijalankan secara tidak adil. Sekolah menuntut para siswa untuk menaati aturan, tetapi ironisnya, mereka sendiri yang sering melanggar aturan. Kasus PIP dan PPDB adalah contoh aturan yang seharusnya dibuat untuk kebaikan siswa, tetapi justru dilanggar oleh pihak sekolah.
Harapan untuk tetap bertahan dan sukses
“Hanya orang fokus yang dapat bertahan / Punya mimpi dan berani tuk mewujudkan / Bisa sukses tanpa harus korbankan prinsip / Punya semangat dan pikiran yang positif”
Di tengah semua tekanan dan keterbatasan, mereka yang tetap fokus, berpegang pada prinsip, dan berani mengejar mimpi akan mampu bertahan. Untuk mengejar mimpi di Indonesia, seseorang tidak bisa hanya mengandalkan pemahaman dari lingkungan sekitar.
Banyak anak berbakat yang harus mengubur impiannya karena sistem pendidikan yang tidak mendukung. Hanya kesungguhan hati dan integritas diri yang dapat membawa seseorang mencapai tujuan mereka.
Pesan dari Lagu
Sekolah, menurut VoB—dan juga saya—hanya terpaku pada nilai akademik. Kecerdasan dalam seni, moral, dan etika seolah tidak dianggap penting. Kegeraman mereka semakin menjadi ketika sekolah mengabaikan bakat seni mereka dan justru mencap mereka sebagai anak nakal hingga sering dipanggil ke ruang BK. Setiap kritik terhadap sekolah dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan tidak menghormati guru. Padahal, sekolah dan guru bukanlah entitas suci yang tidak pernah salah.
Lagu “School Revolution” adalah kritik terhadap sistem pendidikan yang lebih menekan daripada menginspirasi. Lagu ini menunjukkan bagaimana lingkungan sekolah sering kali tidak memberikan ruang bagi kebebasan berpikir dan perkembangan individu yang sehat.
Namun, di balik kritik tersebut, lagu ini juga menyampaikan pesan harapan—bahwa mereka yang tetap berpegang pada prinsip dan memiliki semangat juang akan mampu mencapai sukses tanpa harus tunduk pada tekanan sistem. Harapan yang sama kita sematkan pada perbaikan kualitas pendidikan dan integritas, agar kasus-kasus korupsi di sekolah bisa benar-benar hilang selamanya.