Makin ke sini, saya sering geleng-geleng kepala sendiri. Bukan karena sedang wiridan, tapi karena ngelu melihat tingkah pejabat di negeri yang, meski bagaimanapun juga, tetap harus kita cintai ini.
Kemarin, kasus korupsi pengadaan laptop chromebook dalam Program Digitalisasi Pendidikan Kemendikbudristek tahun 2019-2022, benar-benar membikin decak geram. Bagaimana tidak, pendidikan yang seharusnya jadi fondasi moral bangsa, malah dijadikan ladang basah untuk memperkaya diri.
Lebih edan lagi, taksiran kerugian negara akibat skandal ini menyentuh angka hampir Rp2 triliun. Ini jumlah yang jelas tidak sedikit. Lha wong digit nolnya saja kalau dihitung panjang banget—mirip antrean emak-emak di Indomaret pas ada promo minyak goreng.
Pemerintah memang tidak pernah gagal… membuat warganya belingsatan.
Kebelingsatan itu lantas membuat saya jadi bertanya-tanya: mungkinkah kita butuh sosok yang benar-benar idealis untuk membereskan persoalan pendidikan? Sosok yang tak tergoda kekuasaan, tak silau harta, serta berani melawan arus demi kepentingan rakyat.
Dan entah kenapa, dari sekian banyak tokoh yang bisa saya bayangkan, figur Tan Malaka justru yang pertama kali nongol di kepala saya. Mungkin karena sejak lama, namanya sudah santer sebagai sosok yang antikompromi, antikolonial, antiimperial, dan antikapital.
Lagipula, Tan bukan cuma aktivis politik. Ia pernah menjadi guru di sekolah Deli Maatschappij dan terlibat dalam pendirian sekolah Sarekat Islam (SI School) di Semarang. Pengalaman ini setidaknya bisa jadi modal bagi Tan untuk berkecimpung di dunia pendidikan. Apalagi, dengan karakternya yang cenderung tegas itu, rasanya kecil kemungkinan ia tergoda korupsi. Lha gimana mau korupsi, wong kompromi saja ogah.
Lantas, seperti apa gambaran kalau Tan Malaka jadi menteri pendidikan?
Untuk bisa menjawab pertanyaan itu, tentu kita butuh semacam kisi-kisi. Untungnya, Tan pernah menuliskan dalam karya pentingnya, Naar de Republiek Indonesia. Dalam buku yang terbit tahun 1925 itu, ia tidak hanya menguraikan visinya tentang bentuk negara ideal dan kondisi sosial-ekonomi saat itu, tapi juga merumuskan strategi-strategi yang mesti ditempuh untuk mewujudkan kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat.
Rangkaian strategi itu ia rangkum dalam sebuah program besar yang disebut “Program Nasional”. Isinya mencakup berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, sosial, militer, hingga pendidikan.
Nah, di bidang pendidikan sendiri, Tan menyodorkan empat gagasan utama: (1) Wajib belajar gratis selama 17 tahun; (2) Menjadikan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, (3) Menyusun sistem pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa; serta (4) Memperbanyak pendirian sekolah kejuruan, pertanian, perdagangan, teknik dan administrasi.
Mari kita rinci satu per satu.
#1 Wajib belajar sampai 17 tahun. Gratis!
Jauh sebelum pemerintah kita menggembor-gemborkan program “Wajib Belajar 12 Tahun”, Tan sudah lebih dulu melontarkan ide pendidikan gratis. Bedanya, Tan tidak hanya mewajibkan, tapi juga menggratiskan. Pula, tidak hanya sampai jenjang SMA, melainkan sampai perguruan tinggi (sarjana).
Bayangkan, biaya pendidikan rakyat, mulai dari SD sampai perguruan tinggi, semuanya ditanggung negara. Keren tho? Dengan begitu, akses terhadap pendidikan bisa semakin luas dan inklusif. Nggak ada lagi tuh cerita anak mandek sekolah karena terkendala biaya atau rebutan beasiswa.
Tapi tentu, program ini harus dibarengi juga dengan pemerataan sarana dan prasarana pendidikan, terutama di daerah 3T. Sehingga, akses pendidikan bakal lebih luas, inklusif, dan merata.
Kayaknya, kalau beneran pendidikan di Indonesia gratis sampai kuliah, mungkin visi Indonesia Emas bisa terwujud. Ya, meski mungkin nggak tercapai persis di 2045. Hehe.
#2 Bahasa Indonesia dan Inggris Jadi Bahasa Utama
Yang kedua ini tak kalah penting. Bagi Tan, bahasa itu fondasi pendidikan. Makanya, ia menekankan pentingnya menguasai dua bahasa utama: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Bahasa Indonesia penting supaya identitas kebangsaan tetap mengakar kuat, sementara bahasa Inggris diperlukan sebagai jembatan untuk membuka akses terhadap pengetahuan global.
Singkatnya, Tan ingin pelajar Indonesia berakar kuat, sekaligus juga bisa terbang jauh.
#3 Sistem Pembelajaran Disesuaikan dengan Kebutuhan Siswa
Ini bagian yang visioner. Tan menolak sistem belajar yang seragam dan mengekang, yang memaksa siswa belajar dengan pola kaku tanpa memerhatikan minat dan bakat mereka.
Menurutnya, pendidikan harus disesuaikan dengan minat, bakat, dan kebutuhan masing-masing individu. Artinya, kurikulum tidak boleh bersifat satu arah, melainkan memberi ruang bagi kreativitas dan perkembangan potensi unik tiap individu.
Jadi, sekolah bukan lagi pabrik pencetak manusia seragam, tapi taman untuk menumbuhkan manusia merdeka.
#4 Memperbanyak Sekolah Kejuruan, Pertanian, Perdagangan, Teknik, dan Administrasi
Terakhir, Tan juga menekankan pentingnya pendidikan yang praktis dan langsung bisa diterapkan di masyarakat. Ia mendorong pembangunan sekolah-sekolah kejuruan dalam berbagai bidang.
Tujuannya sederhana: agar lulusan sekolah tidak cuma pintar teori, tapi punya keterampilan praktis yang bisa berguna di masyarakat. Kalau ini dijalankan, pendidikan bisa jadi sarana untuk membangun kemandirian ekonomi rakyat sekaligus memperkuat fondasi bangsa.
Sebuah Refleksi
Nah, itulah beberapa kebijakan yang barangkali bakal diterapkan kalau Tan Malaka menjabat sebagai menteri pendidikan.
Memang, kalau dilihat sepintas, program pendidikan yang ia rancang tampak usang. Wajar, karena memang konteksnya era prakemerdekaan. Tapi setidaknya, di balik semua itu, ada hal pokok yang bisa dijadikan acuan: pendidikan harus merata, inklusif, dan memberdayakan.
Sayangnya, yang terjadi hari ini justru berbanding terbalik. Kurikulum gonta-ganti secara instan tanpa persiapan matang, siswa seringkali dijadikan objek eksperimen kebijakan, sementara guru dipaksa beradaptasi tanpa cukup pelatihan. Boro-boro mau ngajak siswa diskusi soal Madilog, ngurus laporan administrasi saja kadang keteteran.
Jadi, kalau menurutmu, gagasan-gagasan itu masih relevan untuk diterapkan di era kiwari nggak, sih?





















