Sedalam Hati

Kami sembunyikan segalanya di hati paling dalam.
Tanah gigil, udara tua, laut gusar, waktu rapuh.

Lebih dan lebih ke dalam lagi hingga kau tak dapat 
Menyusuri di mana letak hati dan dimana arus akan
Berujung.

Namun mata kami pantang berair. pantang jantung
Remuk. cukup senyum berpilin semerah daun gugur
Ketika tua. 

Cukuplah seperti siput melepaskan cangkang ketika 
Harap tak terbilas ungkap.

- Poster Iklan -

Kami sembunyikan gigil dalam hati terdalam. 
Kau tak kan pernah tahu sedalam apakah gigil 
Dan ngilunya.

 

Nafas Kampung, 1

Kampung kami bernafas, seperti juga tubuhmu.
Ia adalah tubuh yang lapang tempat berpijak:
Kita kadang tertawa, menggelitiknya atau 
Berbuat ceroboh dengan menyumpahnya.

Kau seharusnya paham, bahwa tubuhnya adalah
Nyawamu juga. dari dalamnya akan hadir
Mimpi-mimpi baru sebagai kelanjutan hidupmu.

Ketika ia bernafas, syukurlah dengan tadah tangan.
Doalah khusuk bahwa engkau, yakinlah, adalah
Orang-orang yang banyak bersalah.

 

Nafas Kampung, 2

Tiap helaan nafas kami adalah doa tertangkup
Di tubuhnya. kelak menjadi darah, daging,
Dan makna. lalu tumbuhlah kami beramai-ramai 
Bagai kecambah memutih pipih atau bunga-bunga
Bakung mekar tersambung.

Tiap helaan nafas kami adalah ucap. pada ucapan
Akhir yang diaminkan terkuak makna bahwa
Kau juga aku menyatu pada abadi dari kefanaan
Dan ilusi.

Maka menjaganya adalah mirip padamu yang
Wanti-wanti menakar makan dan minum, tidur 
Dan kerja atau bila waktu tak menentu. kau cemas
Melihat hidup harus berakhir di rumah putih itu
Yang selalu menjelma adalah jasad pada gemburnya.

 

Memandang Dari Jauh

Pertama kali kau datang, melemparkan kata “kaghang”
Pada keanehan sendiri di samping itu. dimana tanjungnya
Begitu panjang ke laut. angin membawa burung camar
Yang oleng kanan-kiri, yang sigap ingin mencari.

Pertama kali datang melemparkan senyum. pada degup
Para gadis berjilbab toska. simpul senyum yang jauh
Sampai ke mimpi dan kadang tak lekang hingga
Berbulan dilalui.

Pertama kali datang, kita melamun panjang; entah 
Kampung apa ini. atau kau salah bermimpi ketika 
Tak rela akan ditempatkan di sini.

 

Berpunca Gamang

Wajah itu cermin bagi hati bersih. tapi tidak 
Ketika ruang marwah telah noda oleh kata. 
Berpinak haruk oleh murka.

Kaki itu jalan bagi niat bersih. namun hengkang
Menuju hilir yang haruk oleh kuasa. ke depan
Bersanggah debar yang fana. ke belakang beban
Berat dosa.

Tangan itu kuasa bagi ungkapnya. melainkan tak
Ada cemas maka segala rupa dan nafsu akan 
Kemaruk lepas menunda kuat di keras dan kau 
Terlibas oleh tipu ruap ruas hatimu yang kekal
Abadi di sana.

Selatpanjang, 2025

- Cetak Buku dan PDF-
Previous articleTaman Tanpa Aturan
Riki Utomi
Riki Utomi lahir di Pekanbaru 19 Mei. Buku puisinya Amuk Selat (2020). Puisi-puisinya pernah tersiar di Kompas, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Suara Merdeka, Lampung Post, Banjarmasin Post, Inilah Koran, Riau Pos, Batam Pos, Bangka Pos, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Haluan Kepri, Haluan Riau, Koran Riau, Serambi Indonesia, Tanjungpinang Pos, Radar Banyuwangi, RuangLiteraSIP, Jernih.co, Magrib.id, Buletin Jejak, Apajake, Ngewiyak, Sastramedia.com, Nusantaranews.co, Riau Realita, Riau Sastra, TirasTimes, Harian Detil, Majalah Sabili, Majalah Sagang, Majalah Tanjak, Majalah Elipsis. Buku fiksinya antara lain Mata Empat (Cerpen, 2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (Cerpen, 2015), Mata Kaca (cerpen, 2017), Anak-Anak yang Berjalan Miring (cerpen, 2020), Jelatik (novel, 2021). Bermukim di Selatpanjang, Riau. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here