Marinka Ashy yang malang. 

Tahun-tahun berlalu, dan dunia seakan semakin menjauhinya. Dulu ia bisa tetap berjalan tenang di sudut-sudut kota tanpa seorang pun memperhatikannya. Tapi tidak sekarang. Entahlah, apa yang terjadi. Semua nampak sama bagi Marinka Ashy, ia bahkan tak melihat satu hal pun yang bisa membuat orang-orang memperhatikannya. Apakah langkah-langkahnya aneh? Atau ada sesuatu di wajahnya? Ia tak yakin.

Tapi Marinka Ashy kemudian sadar. Saat ia lelah –sangat lelah– ia mulai melihat segumpal awan hitam di atas kepalanya. Semula awan hitam itu terlihat bagai bayang-bayang samar saja baginya. Sampai beberapa bulan, ia tak pernah menganggapnya terlalu serius. Sampai satu kali, saat ia begitu lelah, ia terpuruk di salah satu sudut kota dan menangis begitu saja, tiba-tiba awan hitam itu berubah menjadi hujan yang membasahi tubuhnya.

Tentu awalnya Marinka Ashy merasa tak percaya. Namun detik berikutnya ia merasa gembira, karena masih menganggap kalau hujanlah yang mampu  menyamarkan air mata paling sempurna. Tapi ternyata, air hujan yang membasahi tubuhnya berwarna hitam. Ini malah menampakkan air matanya menjadi lebih jelas. Orang-orang yang semula hanya bertanya-tanya apa yang terjadi padanya, akan segera melangkah mundur dengan –mungkin– ketakutan.

- Poster Iklan -

Untunglah selalu ada sepasang tangan yang kemudian datang dan mendekapnya. Dan keajaiban seperti selalu terjadi setelahnya. Hujan, air mata dan orang-orang di sekitarnya seperti kemudian lenyap begitu saja, seiring bisikan lembut laki-laki itu, “Sudahlah… sudahlah…”

***

Ada satu ruang di ingatan Marinka Ashy yang menjadi tempat bagi seraut wajah. Wajah milik laki-laki muda –yang mungkin usianya baru 19 atau 20 tahun– yang sebenarnya selalu terlihat tak berdosa. Wajah yang beberapa tahun ini diam-diam selalu ia amati dari jauh.

Marinka Ashy tak terlalu ingat pastinya, sejak kapan ia memulai kebiasaan itu. Mungkin sejak liburan 10 tahun lalu, atau bisa jadi sejak ia pindah ke rumah baru, atau –ini yang paling mungkin– sejak semua orang berpikir semua telah baik-baik saja. 

Tak heran bila Marinka Ashy bisa mengingat perubahan laki-laki muda itu. Sepuluh tahun lalu, ia masih menjadi anak yang gembira. Ia selalu berlari kencang ke sana kemari, diiringi tawanya yang keras. Kini, semua itu seperti tak berubah. Ia juga masih berlari dengan kencang. Beberapa kali Marinka Ashy melihatnya saat laki-laki muda itu bermain bola di stadion. Ia juga masih tertawa dengan keras, terutama saat bertemu dengan kawan-kawannya di sebuah cafe.

Marinka Ashy bahkan mengenali baju-baju yang sering dipakai laki-laki muda itu. Papan skateboard-nya yang rusak, dan tempat-tempat yang sering dikunjunginya. Sering Marinka Ashy berharap bila laki-laki muda itu pergi ke tepi sungai. Di kota mereka, ada sebuah sungai yang jernih dan berarus kuat, yang kerap dijadikan tempat orang-orang melepas penat. 

Marinka Ashy ingin sekali laki-laki muda itu ke situ.

Di situ, ia merasa bisa mendorongnya, walau dengan tangannya yang kerap gemetar.

***

Marinka Ashy seharusnya bahagia. Setidaknya sampai hari ini, ia banyak melewati masa-masa bahagia. Ia dilahirkan dari keluarga harmonis dan cukup berada, sehingga ia bisa bersekolah di sekolah terbaik dan mendapatkan kawan-kawan yang tak bermasalah. Ia kemudian menikah saat kehidupannya sudah nyaris sempurna. Karirnya bagus, dan karir suaminya pun begitu. Semua keluarga mendukung penuh dan kawan-kawan tak henti berkata kalau ia dan suaminya adalah pasangan yang serasi. Lalu, tanpa menunggu lama ia melahirkan anak pertamanya yang cantik.

Anak perempuan itu bagai malaikat kecil bagi Marinka Ashy. Tak seperti anak-anak lainnya yang kadang berbuat nakal dan membangkang orang tua. Anak itu sama sekali tak pernah melakukan hal-hal seperti itu. Ia tak henti menjadi contoh para orang tua lain.

Jadi, sampai titik ini, tak ada yang lebih sempurna dari kehidupan Marinka Ashy. Tapi ia sepertinya lupa, kalau dalam kehidupan, kesempurnaan hanyalah kesemuan. Di hari seharusnya ia merasa bahagia seperti di hari-hari lainnya, seorang anak mendorong malaikat kecilnya itu ke sungai. Lalu, hanya beberapa detik kemudian, malaikat kecilnya seperti hilang begitu saja di derasnya arus sungai itu…

***

Sejak kejadian itu, pendar cahaya dalam kehidupan Marinka Ashy, seperti redup satu demi satu. 

Marinka Ashy tak pernah sehancur itu sebelumnya. Untuk meredam sakit hatinya, ia membawa masalah ini ke pengadilan. Tapi tentu anak itu tak bisa dihukum, bukan hanya karena ia masih berusia 9 tahun, tapi karena perbuatannya adalah ketidaksengajaannya. Yang harus dilakukannya kemudian hanyalah mendatanginya bersama kedua orang tuanya, untuk meminta maaf. Hanya itu.

Semua orang kemudian bilang, kalau itu semua adalah garisan takdir.

Marinka Ashy tentu tahu tentang itu. Ia bukannya tak berusaha untuk menerima semua itu dan kembali bangkit menata hidupnya. Ia sudah mencoba berkali-kali. Tapi setiap kali mencoba, ia selalu terpuruk.

Setidaknya waktulah yang kemudian seperti mampu mengikis luka itu pelan-pelan. Di tahun pertama setelah kejadian menyakitkan itu, Marinka Ashy mulai memiliki keberanian untuk mendekati anak yang telah mendorong malaikat kecilnya itu. Awalnya ia hanya berada di dalam mobil di seberang gerbang sekolah, atau berdiri di taman yang ada di depan pagar rumah anak itu, atau mengikuti langkah-langkahnya saat ia berjalan di pusat keramaian. 

Tak bisa ditutupinya, Marinka Ashy benci sekali melihat anak itu. Hanya setahun berselang, ia seperti bisa menjalani hidup dengan normal seperti sedia kala. Ia bisa tertawa bersama kawan-kawannya, merayakan ulang tahun bersama keluarganya, bahkan beberapa tahun berselang mulai jatuh cinta dengan teman sekelasnya

Marinka Ashy benar-benar merasa marah. Seharusnya malaikat kecilnya juga mengalami semua itu. Ia akan selalu mengisi hari-harinya dengan bermain bersama kawan-kawannya dalam keriangan, merayakan ulang tahunnya dengan cara terbaik, dan tentu akan banyak didekati kawan-kawan laki-lakinya.

Tapi itu semua ternyata hanya bayangan semunya, seakan ia tak patut memiliki semua itu hanya karena anak itu dulu pernah menangis di depannya dan berkata, “Maafkan aku, Tante, aku hanya ingin bercanda, dan tak sengaja mendorongnya…”

Marinka Ashy hanya bisa terdiam dengan seluruh tubuh gemetar. Ia ingin sekali melayangkan tangannya menampar mulut itu. Tidak, tidak, ia tak hanya ingin melakukan itu. Ia bahkan ingin sekali mendorong anak itu ke sungai itu juga. Tapi di bawah tatapan belasan orang di sekelilingnya, tangannya tak bisa bergerak. Bahkan napasnya pun tiba-tiba terasa sesak. 

Marinka Ashy tak pernah membayangkan kata-kata itu—dengan seluruh nada, jeda dan intonasinya—tak pernah lenyap dari telinganya.

Hingga beberapa tahun berselang, anak  yang mulai menjadi laki-laki muda itu  mulai menyadari kehadirannya. Ia jelas masih mengingat wajahnya, karena sejak itu ia mulai nampak begitu ketakutan.

Marinka Ashy hanya terus berdiri di depannya.

***

Di dalam tidurnya, Marinka Ashy sering bermimpi tentang sebuah arus sungai. Dalam pandangannya, arus itu bergerak begitu mengerikan. Menenggelamkan apa saja yang dilaluinya, termasuk dirinya. 

Marinka Ashy akan terbangun di puncak ketakutan seperti itu, tubuhnya yang basah karena keringat, bagai terlihat kalau ia benar-benar tenggelam tadi. 

Di hari-hari lalu, sepasang tangan itu akan buru-buru memeluknya, dan berbisik pelan di telingannya, “Sudah… Semua baik-baik saja…”

Tapi di satu hari, sepasang tangan itu tak lagi memeluknya. Ini membuat Marinka Ashy seperti kembali tenggelam dalam kengeriannya.

Lampu kemudian menyala. Ia melihat pemilik sepasang tangan itu duduk di tepi pembaringan, dan menangis dalam diam. “Tak bisa seperti ini terus, Sayang,” bisiknya tanpa menoleh. “Sudah sepuluh tahun berlalu. Kita tak bisa terus seperti ini…”

Marinka Ashy hanya bisa terdiam. Ia ingin sekali segumpal awan hitam yang kerap muncul selama ini, muncul kembali saat ini dan menguyur kembali tubuhnya. 

Tapi tentu itu harapan yang percuma. Yang terjadi, pemilik sepasang tangan itu menoleh padanya dan berkata, “Maafkan aku… aku tak bisa lagi terus seperti ini…” 

***

Semua terasa semakin menjauh dari diri Marinka Ashy.

Kini setiap ia menengadahkan kepalanya, segumpal awan hitam itu semakin jelas terlihat olehnya, mengikuti ke mana pun ia melangkah. Diam-diam Marinka Ashy mulai bertanya-tanya, siapa nanti yang akan menyingkirkannya bila pemilik sepasang tangan itu tak lagi ada untuknya?

Marinka Ashy menyadari kalau ia terlalu lama jatih dalam kesedihannya. Seharusnya ia menyelesaikan semuanya sejak dulu. Mungkin sejak laki-laki muda itu masih menjadi anak kecil yang menangis di depannya? Atau sejak ia menyadari kalau ia mengikutinya selama ini?

Ya, ia seharusnya berani melakukannya. Setidaknya bila ia berani mengambil langkah itu, mungkin kehidupannya tak akan sehancur sekarang. Ia tak harus menunggu laki-laki muda itu berdiri di tepi sungai. Itu jelas seperti suatu penantian yang tak jelas. Ia toh, bisa mendekatinya di mana pun juga?

Jadi kini Marinka Ashy mulai menyelipkan belati kecil di balik bajunya. Ia tahu apa yang akan dilakukannya nanti, ia sudah membayangkannya berkali-kali. 

Marinka Ashy kemudian menunggu laki-laki muda itu. Ia tahu, menuju sore ini, ia akan menuju lapangan basket di stadion.

Sejenak Marinka Ashy membiarkan laki-laki muda itu bermain basket dengan gembira. Lalu di saat jeda istirahat, ia mulai mendekat. Dikeluarkannya belati di tangannya. 

Namun sebelum ia cukup dekat, laki-laki muda itu menyadarinya.  Wajahnya seketika pucat dan nampak ketakutan. “Tolong! Tolong! Dia… dia mau membunuhku! Toloooong!”

Laki-laki muda itu hendak berlari, tapi ketakutan membuat kakinya gemetar dan menyebabkan dirinya terjerembah dengan mudah. Marinka Ashy segera saja melompat ke atas tubuhnya. Ia langsung mengangkat belatinya.

Laki-laki muda itu sudah menangis.

Sedetik Marinka Ashy seperti terpaku. Seiring terdengar bisikan samar di telingannya: Walau dulu ia masih begitu muda, namun yang dilakukannya tetaplah membunuh…

Marinka Ashy tahu sekali ia cukup menggerakan tangannya sekali saja ke leher laki-laki muda itu. Dan semuanya akan selesai. Ia bisa kembali hidup seperti sebelumnya, mendatangi pemilik sepasang tangan yang selama ini melindunginya, dan memintanya untuk memulai semuanya kembali. Namun hujan tiba-tiba mengguyur dirinya. Hujan berair hitam itu… 

Kali ini terasa berbeda, begitu deras menerpa tubuhnya. Sampai ia tak menyadari sebuah pukulan di belakang kepalanya.

***

Marinka Ashy merasa kehidupannya sudah selesai. Sudah beberapa hari ia tinggal di ruang sempit yang berbau bacin ini, tapi tak ada seorang pun yang menjenguknya. Semua seakan telah pergi darinya. Hanya segumpal awan hitam itu masih ada di atas kepalanya, diam di atas langit-langit ruangan…

***

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here