Tidak ada kebenaran yang mutlak, semua tergantung sudut pandang manusia itu sendiri. Kalimat yang sering di dengar mahasiswa ketika mempelajari mata kuliah filsafat. Lalu, bagaimana cara manusia memperbaiki kehidupan jika tidak ada kebenaran yang dapat diikuti secara pasti. Salah satu yang belum tentu kebenarannya juga terjadi pada sejarah Indonesia. Kurikulum silih berganti tapi materi sejarahnya masih sama. Padahal jika diculik kembali ada beberapa sejarawan yang berpendapat berbeda sekali dengan apa yang ditulis di buku sejarah yang kita baca dulu waktu masih dibangku sekolah. Sejarah ken Arok dan dedes. Dua tokoh sejarah tersebut jika disebut sebagian besar akan teringat kisah cinta mereka. Namun siapa sangka, cerita legenda itu awal mula kudeta kekuasaan yang licik dilakukan ken Arok demi merebut tahta.
Pramoedya ananta Toer adalah seorang penulis yang sempat di penjara karena pemikirannya yang dianggap sebagai pengganggu oleh pemerintah. Wartawan Tempo dalam bukunya mengkaji ulang karya beliau. Alasan menulis karya yang ‘berbahaya’ bagi penguasa adalah ingin irasionalitas bangsa di hilangkan. Beliau berharap bahwa anak-anak Indonesia punya kritis terhadap suatu permasalahan. Beberapa karyanya telah mendunia, ada, karyanya telah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa tapi “saya tidak pernah dihargai oleh bangsa sendiri”, ujarnya. Ada sekitar 200 buku beliau yang telah diterjemahkan di beberapa negara : Yunani, Belanda, Spanyol, Korea, Jepang, Turki sampai bahasa Malahan (salah satu bahasa etnis India). Banyak tampilan cover terjemahan ini memakai aksara non Latin seperti aksara Thailand, Turki, Jepang, Korea dan Rusia.
Siapa sangka bahwa manusia pemberani menulis sejarah Indonesia dengan sudut pandang yang berbeda itu adalah Pramoedya Ananta Toer. Dalam bukunya Ken Arok Dedes justru secara gamblang menjelaskan bahwa kelicikan ken Arok adalah cikal bakal ketidakjujuran dalam merebut kekuasaan. Buku-buku pramoedya selalu dianggap kiri oleh bangsa sendiri karena bertentangan oleh pemerintah. Tapi pada kenyataannya buku itu masih diingat, dibaca bahkan dibeli meski dengan harga mahal. Buku Pramoedya biasanya berbentuk novel tentang kisah tanah airnya sendiri. Cerita fiksi yang dibalut oleh kritik keras terhadap peristiwa nusantara.