Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Konstitusi kita bahkan dengan jelas menyebutkan bahwa negara wajib menyelenggarakan pendidikan yang layak dan terjangkau bagi seluruh rakyat. Namun sayangnya, janji tentang sekolah gratis untuk semua anak Indonesia tampaknya masih jauh dari kenyataan. Alih-alih menyelesaikan masalah, kegagalan negara menghadirkan sekolah gratis justru memunculkan masalah baru: kesenjangan yang semakin besar antara sekolah negeri dan apa yang sering disebut sebagai sekolah rakyat.

Lalu, apakah ini pertanda bahwa akses pendidikan berkualitas hanya akan menjadi milik segelintir orang yang mampu, sementara anak-anak dari keluarga kurang mampu harus puas dengan layanan seadanya? Mari kita telaah lebih dalam.

Sekolah Gratis: Janji yang Tak Tuntas

Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah menggulirkan berbagai program seperti BOS (Bantuan Operasional Sekolah) hingga KIP (Kartu Indonesia Pintar), dengan tujuan meringankan beban biaya sekolah masyarakat. Program ini sejatinya memberi harapan bahwa semua anak Indonesia bisa bersekolah tanpa memikirkan biaya.

Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Banyak sekolah negeri masih membebankan biaya tambahan dengan dalih sumbangan, uang bangunan, seragam, hingga iuran kegiatan yang kadang tidak sedikit. Akibatnya, sekolah negeri tak sepenuhnya gratis seperti yang digaungkan.

- Poster Iklan -

Sementara itu, bagi anak-anak yang sama sekali tidak sanggup membayar biaya di sekolah negeri pun, muncul sekolah-sekolah rakyat. Sekolah rakyat adalah inisiatif swadaya masyarakat untuk memberi pendidikan murah atau gratis bagi anak-anak marginal. Meski niatnya mulia, keterbatasan dana membuat kualitas pendidikan di sekolah rakyat sering kali jauh tertinggal dibanding sekolah negeri.

Kesenjangan Pendidikan: Ancaman Masa Depan

Kondisi ini menimbulkan jurang kesenjangan yang nyata. Sekolah negeri—yang idealnya menjadi penyeimbang akses pendidikan bagi semua kalangan—nyatanya masih lebih banyak diisi oleh anak-anak dari keluarga menengah ke atas. Sementara itu, anak-anak dari keluarga miskin banyak yang terpaksa belajar di sekolah rakyat dengan fasilitas seadanya dan tenaga pengajar sukarela.

Jika dibiarkan, situasi ini hanya akan memperkuat siklus kemiskinan. Anak dari keluarga miskin yang hanya bisa belajar di sekolah rakyat akan sulit bersaing dengan anak-anak yang mendapat pendidikan lebih baik di sekolah negeri atau swasta. Pada akhirnya, mereka akan kalah dalam pasar kerja, dan tidak mampu memperbaiki kondisi ekonominya.

Peran Negara: Seharusnya Bagaimana?

Kegagalan negara menghadirkan sekolah gratis yang benar-benar gratis dan berkualitas menunjukkan perlunya perbaikan sistemik. Negara harus memastikan sekolah negeri tidak membebankan biaya-biaya tambahan yang memberatkan keluarga miskin. Alokasi anggaran pendidikan juga perlu ditingkatkan agar sekolah-sekolah rakyat bisa mendapatkan bantuan nyata, bukan sekadar retorika.

Pemerintah bisa mengintegrasikan sekolah rakyat ke dalam sistem pendidikan formal dengan memberi dukungan dana, pelatihan guru, serta kurikulum yang setara. Dengan demikian, sekolah rakyat tidak lagi menjadi pilihan “terpaksa”, melainkan benar-benar menjadi alternatif yang layak bagi mereka yang membutuhkan.

Pendidikan Bukan untuk Segelintir Orang

Sekolah gratis yang dijanjikan pemerintah seharusnya bukan hanya slogan kampanye atau formalitas di atas kertas. Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa. Jika kesenjangan antara sekolah negeri dan sekolah rakyat terus dibiarkan, maka kita sedang mencetak generasi dengan peluang yang timpang sejak awal.

Sudah saatnya negara benar-benar hadir dalam mewujudkan pendidikan gratis yang berkualitas bagi semua anak Indonesia. Karena mimpi untuk pendidikan yang adil bukan hanya untuk anak-anak kota besar, tapi juga untuk mereka yang hari ini hanya bisa berharap pada sekolah rakyat di ujung kampung.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here