Seorang Pria yang Menggauli Istrinya Sendiri
Seorang Pria yang Menggauli Istrinya Sendiri

Kabar itu menyebar dengan cepat di desa kecil kami. Imron, teman nongkrong sekaligus pemuda desa kami menggauli istrinya! Bahkan berkali-kali Imron menggaulinya tanpa mengenal apa itu berhenti. Kabar itu tentu saja mengundang tawa kami, para pemuda sekaligus sobat Imron, termasuk aku yang tengah berada di angkringan.

“Lucu! Bukankah mereka suami istri? Sudah seharusnya saling begituan, kan?’’ tawa Mamat yang bekerja menjadi mandor.

“Aneh sekali, kukira kabar apa. Ternyata kabar pengantin yang lagi enak-enaknya menjalankan sunnah Nabi,’’ ujar Dani, seorang guru agama di sekolah desa.

“Lain lagi kalau misalnya si Imron menggauli istri Pak Kades! Nah, baru bisa jadi berita hangat,’’ lanjut Eka yang sedang menunggu hari pernikahannya dengan pacarnya, Nana.

- Poster Iklan -

Aku manggut-manggut mendengar opini ketiga sobatku itu. Kami berlima, termasuk Imron selalu suka berkumpul di angkringan. Membicarakan banyak hal, termasuk berita hangat tersebut. Terhitung sudah dua bulan Imron menikah dan baru minggu-minggu ini berita yang cukup aneh itu dibahas oleh orang-orang desa.

Menggauli istri, bukankah itu hal wajar untuk sepasang suami istri yang sudah sah? Melakukan hubungan badan tentunya bukan hal aneh, mengingat di desa ini juga banyak pasutri dari muda sampai tua. Apa yang dikatakan Eka juga benar, kalau Imron melakukannya dengan istri Pak Kades, barulah itu biadab!

“Bagaimana dengan persiapan akadmu, Ka?’’ tanya Mamat sambil meneguk es tehnya.

“Lancar! Tidak ada hambatan! Eh, sebenarnya ada, tapi cuma masalah orang tua Nana yang ingin ikut dengan kami setelah menikah!’’ Eka menjawab dengan nada berat.

“Ah! Kau tolak sajalah, Ka! Kau itu laki-laki, calon suami, calon bapak, kepala keluarga pula. Hidup dengan orang tua di satu rumah itu, susahnya minta ampun!’’ Dani memberi saran.

Eka mendelik, “Maunya aku begitu, hanya saja Nana sepertinya masih menginginkan ada orang tua di rumah kami,’’

“Halah, kau ini bagaimana? Begitu akad selesai, Nana adalah milikmu! Imamnya kamu, yang menentukan keputusan juga kamu sebagai bapak rumah tangga. Lagipula kalau ada orang tua, kau tidak bisa selalu bermesraan, bukan?’’

Kami berempat kompak menggoda Eka yang sebentar lagi akan menjadi suami. Umur hampir seperempat abad ini memang pernikahan menjadi topik yang menyenangkan.

“Besok malam, kita ajaklah si Imron. Kayaknya seru kalau mentertawakan dia dan gosip hangatnya,’’ ujar Eka yang terlihat lelah digoda terus-terusan.

“Aha! Karena kau yang akan menikah, lekas kau minta tips malam pertama ke Imron!’’ ejek Dani yang diikuti amarah Eka.

Kami berempat pun bubar dengan senyum yang masih menertawakan Eka. Dalam perjalanan pulang, aku melihat rombongan ibu-ibu sedang berkumpul di tepi jalan. Pastilah bergosip ria, pikirku. Kulambatkan motorku dan berpura-pura berhenti juga untuk merokok. Sekilas aku mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Lehernya memerah?’’

“Aduh, lebih dari itu. Pergelangan tangan, kaki, sampai tengkuknya ada bekas lebam!’’

“Apa?! Si Imron benar-benar melakukan itu tiap hari?’’

“Dengar-dengar, anakku Midah sempat bantu Nana membersihkan bekasnya dan memandikan Nana. Katanya, di area dada Nana bekas seperti habis dicambuk…’’

“Astaga! Biadabnya!’’

Pikiran kotorku langsung bekerja. Bekas apa yang mereka maksud? Imron ‘kan hanya menggauli istrinya, apakah mereka berdua punya fantasi liar ketika berhubungan? Sampai ada bekas cambuk? Aih, memang kepalaku saja yang isinya kotor, pasti karena sudah tidak merasakan sentuhan wanita. Aku memilih untuk segera pulang dan segera tidur, berharap mimpi menikah dengan Dian Sastro.

Esok paginya, aku bangun terlambat untuk bekerja. Aku lekas bersiap dengan cepat dan menuju kantor. Di perjalanan menuju kantor, aku melihat Imron di jalan sedang membawa ember-ember cat. Kuhampiri Imron yang kelihatannya kesusahan membawa benda besar itu.

“Ron, hendak kemana? Marilah kuantarkan! Kelihatannya kau kesusahan!’’ tawarku.

Aneh, Imron tampak gugup dan kaget melihatku, “Terima kasih tawaranmu, An! Tapi bukankah kau harus kerja? Nanti telat, aku hanya membawa ini ke rumah, kok. Tidak jauh. Aman, aman!’’

25 tahun bersahabat dengan Imron, baru kali ini aku melihatnya tampak ketakutan setengah mati. Namun apa yang ia bilang benar, bisa-bisa aku semakin terlambat. Aku bergegas pergi sambil memperhatikan dari spion. Imron membawa dua ember cat berukuran besar.

Sampai kantor, aku menyelesaikan semua pekerjaan administrasi dengan lancar. Beberapa orang di kantor tampak melihat dan membicarakanku. Karena penasaran, kutarik rekan kerjaku, Yanto, ke luar kantor.

“Ada apa di kantor? Kok aku merasa dibicarakan?’’ tanyaku.

Yanto melihat sekelilingnya, seperti sedang memastikan sesuatu, “Kantor lagi heboh soalnya di desamu, ada kabar suami yang melakukan ‘itu’ ke istrinya?’’

“Maksudmu ‘itu’ apa? Hubungan badan? Bukannya normal suami melakukan hal demikian ke istrinya?’’ rasa penasaranku berubah menjadi heran. Ternyata kabar tentang Imron sudah sampai pula ke tempat kerjaku.

“Eh, jadi mereka hanya berhubungan badan?’’ Yanto malah bertanya balik.

“Loh, memang info yang kau dengar apa?’’ aku mendesak Yanto.

Yanto memberi kode untuk berbisik, “Info yang kudengar, mungkin yang tersebar di kantor ini, si suami itu tidak berhubungan badan dengan istrinya! Tapi menyiksa!’’

“Apa?!’’ pekikku.

“SSSSTTT! Kencang sekali teriakanmu.’’

Sungguh janggal. Ternyata info yang diketahui di kantorku adalah Imron yang menyiksa istrinya. Tapi di desa kami, yang tersebar adalah Imron menggauli istrinya. Kepalaku berdenyut, semua informasi yang masuk seolah menggerogoti kepalaku. Masa Imron melakukan penyiksaan kepada Nana?

Tunggu, apa ada kaitannya dengan pembicaraan ibu-ibu di malam ketika aku pulang? Bekas cambukan? Lebam? Jangan-jangan benar, Imron melakukan penyiksaan alias kekerasan kepada Nana. Jangan-jangan… berita yang tersebar di desa itu salah.

Begitu jam pulang berdering, aku bergegas membawa motor ke rumah Imron. Rumahnya berada di ujung desa dan untuk mencapainya aku harus melewati jalanan yang masih berbentuk tanah sehingga cukup menguras waktu di jalan. Saat melewati tanah itu, ban belakangku malah tenggelam di tanah yang lembek akibat hujan.

“Sialan!’’ aku memaki banku. Aku turun dan mencoba membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di ban motor.

Saat membersihkan itulah, aku melihat seorang wanita dengan daster yang sedikit lusuh. Wanita itu berteriak-teriak meminta tolong. Saat kuperhatikan lagi, ternyata itu adalah Nana! Istri Imron!

“Tolong! Tolong! Bang Aan! Tolong saya, Bang!’’ Nana melihatku dan bersembunyi di belakangku.

Pada saat bersamaan, kulihat Imron muncul dengan pisau dapur di tangannya. Sial! Ternyata Imron benar-benar melakukan penyiksaan ke Nana dan tampaknya ia berniat menghabisi istrinya. Lelaki sinting!

“Dik, lekas pergi! Ke rumah Pak Kades atau polisi, atau siapa pun! Carilah pertolongan, biar Imron kuhadapi dulu!’’ perintahku pada Nana.

Nana mengangguk dan berlari menjauhi Imron. Kini, aku dan sobat masa kecilku itu saling berhadapan. Aku melihat tatapan buas dari matanya dan ada sedikit bercak darah di tangan kirinya. Tanpa sepatah kata, Imron dan aku berhadapan, bertukar pukulan tangan.

Setelah beberapa pukulan, kujatuhkan Imron dengan bantingan sambil menahan tangannya yang memegang pisau. Kutatap ia dengan penuh kemarahan.

“Bangsat kau, Ron! Kukira kau benar-benar menggauli istrimu sesuai kabar yang beredar, ternyata kau mau membunuhnya, ya?!’’ pekikku.

Imron tertawa getir, “Tidak ada hak kau mencampuri urusan dapurku! Dan kau tidak salah, aku menggauli istriku! Hehehe, aku memang menggaulinya!’’

“Brengsek! Tidak ada suami di dunia ini menggauli istrinya sambil membawa pisau!’’

“Suami? Hahahahaha! Aku menggauli istriku sebagai manusia, bukan suami! Bukankah dalam pergaulan, kita bergaul dengan tangan dan darah?’’

Dasar lelaki patriarkis! Aku ingin sekali menghajarnya sampai mati. Tanpa kusadari, tangannya yang memegang pisau lepas dari cengkramanku dan Imron dengan cepat menancapkannya di bahuku. Darah segar mengalir dari sana. Lalu Imron mendorongku dan melayangkan pukulan bertubi-tubi.

Aku terjatuh, badanku sudah lemas karena darah dari bahu terus keluar. Imron segera meninggalkanku yang sekarat. Dicabutnya pisau dari bahuku. Mata kami berdua bertatapan. Mata Imron sudah berubah, bukan lagi mata yang kukenal sebagai temanku. Imron lalu mendekatiku dan berkata dengan pelan,

“Tugas suami adalah mendidik istrinya,’’ ucap Imron, ‘’dan aku sedang mendidik istriku!’’

Satu hari kemudian, masyarakat desa berhasil menemukan mayat yang tergeletak di jalan menuju ujung desa. Imron dan Nana sendiri menghilang bagaikan ditelan bumi.

Sedangkan aku?

Aku sedang memperhatikan mereka semua dari liang lahatku.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here