Kota Malang selama ini dikenal sebagai kota sejuk nan asri di Jawa Timur. Suhu dinginnya, kuliner enak, suasana pegunungan, dan statusnya sebagai kota pendidikan membuat Malang menjadi incaran wisatawan dan pendatang untuk tinggal. Namun, di balik julukan indahnya, ada sisi lain Kota Malang yang jarang diketahui banyak orang: kota ini sebenarnya tidak dirancang untuk menjadi kota padat penduduk.
Mulai dari tata kota yang buruk, jalanan sempit, transportasi umum yang minim, hingga banjir di dataran tinggi, masalah-masalah ini semakin terasa seiring pertumbuhan penduduk yang melonjak. Bagaimana wajah sebenarnya kota ini? Mari kita telusuri.
Tata Kota Buruk dan Jalanan yang Terlalu Kecil
Sejak zaman kolonial, Malang memang hanya dirancang sebagai kota peristirahatan bagi orang Belanda, dengan tata kota kecil dan kapasitas terbatas. Ketika jumlah penduduk meningkat pesat di era modern, desain kotanya tidak mampu mengikuti. Jalan-jalan utama tetap sempit, hanya muat untuk volume kendaraan zaman dulu.
Kini, kemacetan di Malang menjadi pemandangan harian, terutama di jam sibuk. Jalan-jalan kecil tidak sanggup menampung kendaraan bermotor, angkot, pejalan kaki, dan pesepeda sekaligus. Belum lagi banyak trotoar rusak, bahkan hilang karena bangunan-bangunan ruko yang berdempetan langsung dengan aspal, melanggar aturan minimal 3 meter dari badan jalan.
Transportasi Umum Minim dan Tidak Ramah Pejalan
Sebagai kota besar, Malang tertinggal jauh dalam penyediaan transportasi publik. Angkot yang sudah tua dan tidak nyaman masih menjadi andalan warga. Tidak ada sistem transportasi massal modern yang terintegrasi, membuat orang lebih memilih membawa motor atau mobil pribadi.
Kondisi ini diperparah dengan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda yang minim. Trotoar banyak yang menyempit atau digunakan untuk parkir liar. Jalur sepeda formal hanya ada di beberapa titik tanpa perawatan yang layak. Padahal, banyak mahasiswa dan pekerja di Malang sebenarnya ingin bersepeda atau berjalan kaki lebih aman.
Banjir di Kota Dataran Tinggi
Secara geografis, Malang berada di dataran tinggi yang seharusnya minim risiko banjir. Namun kenyataannya, banjir sering terjadi di beberapa titik kota ketika hujan deras turun. Penyebabnya adalah buruknya drainase, hilangnya daerah resapan akibat pembangunan liar, serta banyak rumah yang dibangun di pinggir sungai. Rumah-rumah yang berdiri di bantaran sungai tidak hanya melanggar aturan, tapi juga mempersempit aliran air dan meningkatkan risiko banjir.
Kampus dan Pusat Keramaian Berdempetan
Malang memang kota pelajar, tapi tata letak kampusnya kurang ideal. Contohnya, Universitas Islam Malang (Unisma) berdampingan dengan Mall Dinoyo, dan Universitas Brawijaya (UB) hanya sepelemparan batu dari Mall Malang Town Square (Matohs). Kawasan ini jadi pusat kemacetan karena mahasiswa, pengunjung mall, dan kendaraan umum bercampur dalam area padat.
Tukang Parkir Liar di Mana-mana
Fenomena tukang parkir liar juga menjadi masalah lain. Hampir setiap sudut kota ada tukang parkir yang memungut biaya tanpa jelas. Bahkan trotoar dan area publik yang seharusnya bebas parkir ikut disulap menjadi lahan pungutan liar. Ini membuat jalan semakin sempit dan tidak nyaman bagi pengguna jalan lain.
Waktunya Berbenah
Malang harus segera memperbaiki tata kotanya jika ingin tetap jadi kota nyaman. Pemerintah kota perlu menegakkan aturan pembangunan, memperbaiki drainase, menyediakan transportasi umum yang layak, memperluas trotoar, serta menindak pelanggaran bangunan di pinggir sungai dan parkir liar.
Jika tidak, Malang akan kehilangan pesonanya dan berubah menjadi kota padat yang sesak, macet, banjir, dan tidak nyaman.