Apakah cerita anak harus selalu manis, rapi, dan penuh pesan moral? Esai ini mengajak pembaca menjelajah sisi “liar” dan satir dari sastra anak, melalui karya Noor H. Dee Taman Tanpa Aturan. Dengan membandingkan tokoh-tokoh nakal dan imajinatif seperti Coraline, Pippi Longstocking, hingga Matilda, kita akan membongkar ulang gagasan bahwa dunia anak adalah ruang steril. Esai ini merumuskan kembali makna cerita yang “ramah anak.”

Buku Taman Tanpa Aturan memuat 24 cerita mini. Beberapa hanya sepanjang dua halaman, Buku dicetak 62 halaman, dengan kertas ukuran 14X20,3 cm, tapi daya sentaknya terasa lebih lama dari jam pelajaran sekolah. Buku yang diterbitkan oleh Pustaka Mekar (Grup penerbit Marjin Kiri) ini memberikan perspektif agak lain untuk mengantarkan cerita anak.

Dalam cerita Di Kota Itu Tak Ada Lagi yang Gratis, dunia diatur oleh logika ekonomi ekstrem, menyapa tetangga, membalas senyuman, bahkan diam saja dikenai tarif. Ini bukan hanya berbicara tentang satir ekonomi kapitalistik, tetapi alarm serius bagaimana nilai-nilai kemanusiaan bisa dipereteli lewat sistem yang katanya efisien. Cerita lain, “Cendera Mata Air Mata”, menjual kesedihan sebagai komoditas. Sementara dalam Perang Hebat Dua Negara”, anak-anak yang dikirim berperang justru saling bermain, bukan bertempur. Di Sepasang Telinga yang Mencoba Kabur, pendengaran, simbol keterbukaan dan respek, justru dilarikan karena dunia terlalu bising oleh ego orang dewasa. Dan semua cerita itu disampaikan dengan bahasa yang ringan, lucu, dan nyaris seperti lelucon iseng, yang bahkan tak pernah kita pikirkan sebelumnya.

Tentu, Taman Tanpa Aturan tidak dimaksudkan sebagai kitab filsafat. Namun, cerita-cerita di dalamnya menyajikan gugatan halus terhadap kesombongan orang dewasa. Di “Kota yang Melarang Kata-Kata Kasar”, orang dewasa lebih disibukkan dengan urusan menyensor hingga lupa bahwa kemarahan anak bukan soal diksi, tetapi ekspresi dari frustrasi yang tidak didengar. Cerita “Cica yang Senang Menggambar di Dinding” mengungkap frustrasi seniman kecil yang dilabeli sebagai anak nakal, bukan dihargai karena imajinasinya. Apalagi ketika anak-anak dalam cerita justru mengatasi absurditas dunia dengan bermain, kita tahu bahwa ini bukan sekadar cerita anak. Ini adalah manifesto kecil tentang kebebasan berimajinasi.

- Poster Iklan -

Resonansi Pribadi: Menjadi Anak Lagi

Taman Tanpa Aturan, bebas berbuat semaunya. Orang tua dilarang masuk. Selamat bersenang-senang. Kalimat pembuka cerita di halaman 35, berjudul Taman Tanpa Aturan ini terdengar seperti undangan sekaligus provokasi. Di beberapa cerita, muncul sentilan yang mengena. Rasanya bukan sedang membaca cerita, tapi belajar dari ketidakteraturan. Mengapa begitu banyak larangan untuk anak-anak? Mengapa tidak membiarkan mereka bebas bermimpi? “Kota yang Melarang Kata-Kata Kasar” dan “Cica yang Senang Menggambar di Dinding” adalah dua cerita yang memperlihatkan betapa sempit pemikiran orang dewasa mengenai keinginan anak. Hanya melihatnya sebagai pilihan buruk atau baik, hitam atau putih, seolah tak ada opsi lain. Sedangkan “Perang Hebat Dua Negara” menyajikan kisah penuh harapan, bahwa anak-anak memilih damai, menolak konflik, sementara orang dewasa justru dikenalkan sebagai promotor perang. Orang dewasalah yang selalu suka menunjukkan otoritasnya melalui senjata yang mengarah pada sasaran, serta mitraliur yang siap ditembakkan kapan saja demi memberi makan ego mereka.

Narasi Kritik dan Protes dalam Cerita Anak

Cerita-cerita dari penulis terdahulu seperti Neil Gaiman, Roald Dahl, Gianni Rodari, Shaun Tan, dan Shel Silverstein menunjukkan bahwa dunia anak justru berkembang subur dalam ruang-ruang yang tak selalu nyaman, normatif, dan lurus. Neil Gaiman dalam The Graveyard Book dan Coraline menggambarkan dunia alternatif yang ganjil, gelap, dan kadang mengancam, tetapi justru mengundang keberanian. Gaiman paham bahwa ketakutan yang terkendali bisa menjadi cara anak belajar mengelola dunia nyata yang lebih punya persoalan-persoalan kompleks. Coraline berani memasuki dunia paralel yang menakutkan, tapi dari situlah ia tumbuh.

Bukankah manusia memerlukan rasa takut untuk berdaya menyintasi kehidupan? Beberapa ahli seperti Becker, B dan kawan-kawan menyatakan ketakutan adalah emosi mendasar yang telah berkembang sebagai mekanisme manusia untuk bertahan hidup, memungkinkan manusia dan hewan lain untuk merespons secara adaptif terhadap ancaman. Respons ini berakar kuat dalam sistem saraf dan fisiologis manusia, yang telah dilestarikan di seluruh spesies melalui evolusi. Ketakutan memicu berbagai perubahan fisiologis, termasuk peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan ketegangan otot, mempersiapkan tubuh untuk menghadapi atau melarikan diri dari ancaman. Respons ini adalah bagian dari aktivasi sistem saraf otonom, yang sangat penting untuk kelangsungan hidup segera.

Ketakutan adalah mekanisme multifaset yang telah berevolusi untuk melindungi manusia dari berbagai ancaman, memastikan kelangsungan hidup melalui respons cepat, pembelajaran, dan adaptasi perilaku. Memahami mekanisme ini memberikan wawasan tentang aspek adaptif dan maladaptif dari ketakutan dalam kehidupan manusia. Menghadapi rasa takut dan melampauinya, menjadi salah satu bubuk ramuan yang dituangkan penulis dalam buku Taman Tanpa Aturan.

Noor H. Dee tampaknya mengimani betul bagaimana cerita anak justru berpotensi menjadi medium untuk menumpahkan koreksi dan mempertanyakan kembali ruang-ruang rumpang yang sengaja diciptakan orang dewasa. Ruang-ruang yang sudah dianggap benar, bahkan dipeluk sebagai fakta yang tak boleh dibantah. Jejak anak-anak yang melawan kekuasaan dewasa dengan kecerdasan dan keusilan, muncul dalam Matilda, yang membaca buku filsafat untuk melawan kepala sekolah otoriter. Alih-alih menghibur dan menertibkan pembaca ciliknya, Dahl justru menyiapkan mereka menjadi pembaca kritis. Dalam Charlie and the Chocolate Factory, tokoh-tokoh anak yang egois dan manja justru menjadi karikatur lucu yang dikritik. Kita tak disuruh meniru mereka, tapi menertawakan absurditas mereka.

Gianni Rodari, dengan kepekaan linguistik dan sosialnya, menyarankan bahwa kesalahan logika, permainan kata, dan dunia terbalik justru bisa memperkaya pikiran anak. Bukunya Grammar of Fantasy menjadi panduan banyak pendidik di seluruh dunia untuk membuat cerita yang tidak ‘masuk akal’ tapi penuh makna. Dalam kisahnya, “Cerita tentang telepon” (Favole el Telefono) misalnya, seorang ayah menelepon anaknya setiap malam dari kota berbeda dengan dongeng-dongeng aneh. Dunia anak menjelman ruang telepon imajinasi, bukan kepatuhan.

Shaun Tan dalam The Lost Thing atau The Arrival menyuguhkan cerita visual tanpa kata, yang secara halus mengangkat tema keterasingan, eksklusi, dan keajaiban dalam ketidaktahuan. Ia tidak menyuapi anak-anak pembaca dengan penjelasan, tetapi mengundang mereka menafsir. Ini adalah bentuk sastra anak yang mengasah intuisi dan empati, bukan hanya kemampuan decoding. Shel Silverstein juga penting disebut dalam daftar ini. Puisinya dalam Where the Sidewalk Ends dan A Light in the Attic begitu liar, absurd, namun menggugah. Ia tahu bahwa anak-anak paham ironi, dan justru menikmatinya. Cerita-ceritanya tidak pernah menggurui, tapi mempermainkan logika dengan kejenakaan yang nyaris surealis. Maurice Sendak dalam Where the Wild Things Are bahkan mengajak Max dan kita pembaca menjelajahi dunia buas yang justru membantunya memahami rasa marah, kesepian, dan cinta. Kemahiran meregulasi emosi anak, rupanya menjadi hal yang kerap diabaikan orang dewasa di sekitar anak.

Dalam Taman Tanpa Aturan, pengarang mengajukan pertanyaan yang diam-diam sangat politis: kepada siapa cerita anak sesungguhnya ditujukan? Kepada anak, atau kepada kecemasan orang dewasa tentang anak? Saat cerita dibanjiri larangan, keharusan, dan petuah, maka cerita itu mungkin tidak lagi untuk anak, tapi untuk kenyamanan moral orang tua.

Kritik sosial dalam buku ini tak hanya sekadar satir. Ia menyelinap melalui absurditas. Penulis bukan sekadar menawarkan alternatif narasi. Apa yang ditulis Noor H Dee adalah deklarasi, bahwa anak-anak berhak memiliki dunia mereka sendiri. Dunia yang tidak selalu tunduk pada nalar orang dewasa, dunia yang mencintai pertanyaan, tawa, dan keganjilan. Bukankah mengelola keganjilan yang sekarang berpotensi muncul setiap saat, justru bekal yang kalah pentingnya seperti literasi digital bagi anak-anak?

Satu lagi, humor menjadi jalan masuk, dan lelucon jadi alat provokasi dalam buku Taman Tanpa Aturan.  Dalam cerita “Di Kota Itu Tidak Ada Lagi Yang Gratis”, tidak melakukan apa-apa diharuskan membayar 100 sen, kita menyaksikan dunia yang melupakan nilai diam, rehat, dan kontemplasi. Betapa sulitnya di dunia yang menyetarakan waktu adalah uang dan menjadikan anak-anak sebagai alat produktivitas.

Salah satu kekuatan Taman Tanpa Aturan adalah keberaniannya melawan formula klasik cerita anak yang dipenuhi moralitas tunggal dan kesopanan konvensional. Dalam hal ini, penulisnya bersekutu dengan warisan para penulis anak progresif dunia. Neil Gaiman, misalnya, melalui Coraline dan The Wolves in the Walls, memperkenalkan anak-anak pada horor domestik yang dibalut dengan keberanian. Anak-anak dalam karya Gaiman bukan hanya pengamat, mereka adalah pengambil keputusan dalam menghadapi dunia yang mengancam dari balik dinding rumah atau cermin kamar. Dunia anak adalah dunia logika alternatif yang tak bisa dipaksa tunduk pada sebab-akibat dewasa.

Astrid Lindgren dalam Pippi Longstocking, menciptakan tokoh ikonik yang tidak hanya liar dan mandiri, tetapi juga mempertanyakan norma keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pippi adalah pemberontak ceria, dan dalam semangat itu pula kita bisa memahami anak-anak dalam cerita Perang Hebat Dua Negara menolak perang, anak yang menggambar di dinding, serta anak yang menggratiskan elus pada kucing. Shel Silverstein, dengan puisi dan narasi ilustratif dalam Where the Sidewalk Ends atau The Giving Tree, menawarkan kesedihan dan humor dalam satu helaan nafas. Cerita dalam Taman Tanpa Aturan mengungkap kesedihan yang dijual sebagai cendera mata, juga berada dalam garis estetik serupa.

Mengapa Cerita Seperti Ini Penting? Karena dunia anak tak pernah steril. Anak-anak melihat kekerasan di rumah, komersialisasi dan eksploitasi anak-anak untuk meraup ketenaran dan kekayaan dari konten media sosial yang kian massif, kekerasan fisik dan seksual terhadap anak-anak yang menggaung tanpa henti, termasuk kekerasan auditif terkait surat edaran petinggi desa di sebuah Kabupaten yang meminta anak-anak (dan orang tua) mengungsi demi merayakan kebisingan yang dirayakan sebagai seni terkini. Anak-anak butuh cerita yang berbicara kepada dunia mereka dengan kejujuran dan keberanian. Bukan memindahkan masalah yang seharusnya dituntaskan orang dewasa, lalu mengusir mereka dari taman rumahnya sendiri sebagai “pengungsi musiman”.

Membaca Taman Tanpa Aturan mengingatkan kita bahwa imajinasi adalah bentuk tertinggi dari keberanian, dan mungkin, dalam dunia yang semakin dikendalikan angka, aturan, dan data pribadi yang diperjualbelikan secara bebas kita semua butuh Taman Tanpa Aturan?

 

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here