Di ujung timur negeri ini, ada sesuatu yang ganjil ketika kita bicara tentang Papua. Pulau yang katanya kaya—jelas sangat kaya, tapi wajah orang-orangnya jarang terlihat bahagia di berita. Jika pun tersenyum, kita bisa menilai sendiri, senyumnya pandai sekali mengambil alih raut duka dan mungkin amarah.

Tanah Papua disebut melimpah, tapi yang menikmati justru orang-orang yang datang dari antah. Di antara cerita tambang, hutan, konflik, dan pembangunan yang sering kita jumpai, ada banyak pula suara-suara kecil yang seringnya tenggelam: suara kehilangan, ketabahan, atau sekadar keterdiaman. 

Lapisan suara yang lebih manusiawi itu tentu jarang kita temui di balik headline dalam berita di layar televisi. Maka dari Tanah Tabu, setidaknya kita bisa berkenalan dengan kisah sebenarnya tanah Papua, dan merasakan lebih dalam lukanya.

Anindita S. Thayf menuliskan Papua dalam lanskap keluarga yang hanya beranggotakan perempuan–Mabel, Mace, dan Leksi–saya pun semula mengira sedang membaca kisah satu keluarga di kampung kecil. Tapi rasanya seperti menjejak lumpur, awalnya lembut, bahkan tenang, tapi makin lama ada sesuatu di bawah permukaan yang mulai menarik kaki. Kisah itu akhirnya menelanjangi saya juga, memaksa untuk menatap sesuatu yang sering dihindari: luka yang diwariskan, oleh tanah maupun manusia itu sendiri.

- Poster Iklan -

 

Tanah, Juga Tubuh Perempuan

Di Tanah Tabu, alam tidak hanya hadir sebagai latar, tapi sebagai tubuh yang bisa merasakan. Ia punya luka, punya ingatan. Ia tak hanya menyimpan mata air, tapi juga air mata, pun bersama darah-darah yang bertumpah. Dalam cara Anindita menulis tanah Papua, ia mengemas tanah bukan sekadar yang bisa ditanami dan diambil hasilnya, tapi juga tubuh yang terus dijamah tanpa izin.

Alangkah lebih baik kita tak berhenti di lapisan ekologis: tentang perampasan sumber daya, tambang, atau hutan yang habis digunduli. Sebab Anindita membuat batas antara tubuh manusia dan tanah jadi kabur. Saat tanah digali, dikeruk, atau dijual, bayangan yang muncul bukan cuma ekskavator dan alat berat, tapi juga tubuh perempuan yang tak lagi punya kendali atas dirinya. Sebagaimana tubuh Mabel memanggul ingatan paling tua dan luka masa lalu, tubuh Mace yang lelah dan dibungkam, tubuh Leksi yang dibatasi oleh adat dan ketakutan–tiga tubuh perempuan dalam tiga generasi–ketiganya seperti bayangan tanah itu sendiri yang sama-sama kehilangan daulatnya.

 

Pandangan Dunia Anak Sebagai Pusat Narasi

Tanah Tabu menarik sebab keberanian Anindita yang menempatkan seorang anak sebagai pusat cerita. Adalah Leksi, tokoh perempuan kecil itu, bukan sekadar penutur polos yang mengamati dunia orang dewasa. Ia justru menjadi cermin yang memantulkan betapa absurdnya dunia yang diatur oleh orang-orang ‘dewasa’ itu sendiri. 

Leksi sering bertanya hal-hal yang bagi orang dewasa mungkin tampak sepele. Kenapa orang miskin harus tunduk? Di dunia Leksi, kemiskinan adalah sesuatu yang ia lihat setiap hari, tapi tidak benar-benar ia pahami. Ia belum belajar tentang yang namanya hierarki, belum mengenal apa itu kuasa. Menjadi sangat wajar ketika anak itu bingung melihat orang-orang menunduk pada mereka yang punya uang atau lebih tinggi kedudukannya. Maka melalui Leksi, kita bahkan kembali mempertanyakan kenyataan yang sudah lama dianggap biasa: bahwa ketidakadilan sering di samarkan lewat sopan santun, adat, dan kuasa.  

Begitu juga ketika ia mempertanyakan kenapa perempuan tidak boleh sekolah? atau kenapa sesuatu bisa disebut ‘tabu’? hanya karena orang dewasa bilang begitu. Lewat pertanyaannya, ia tidak sedang melawan, hanya mencoba mengerti dunia sekelilingnya. Dan lagi-lagi, karena pertanyaan polos itu, kita merenungkan kembali, bahwa kita orang dewasa terbiasa menerima aturan tanpa bertanya. 

Begitulah Anindita menggunakan suara anak yang tak hanya memberi warna pada cerita, tapi untuk menguliti struktur berpikir masyarakat yang sudah kaku. Melalui kepolosan Leksi, membuat absurditas sistem itu terlihat jelas. Dan, mungkin itu yang membuat Tanah Tabu menampar kita tanpa meneriaki, sebab yang berbicara adalah seorang anak, yang bahkan sering tak diizinkan untuk bicara.

 

Tabu

Kembali pada kata ‘tabu’. Mari menelisik lebih dalam lagi kata yang di pertanyakan oleh kepolosan seorang anak.

‘Tabu’ sering dianggap sebagai bagian dari tradisi atau pantangan adat semata. Namun melalui Tanah Tabu, Anindita menunjukkan bahwa ia bisa menjadi alat politik, dan lebih mirip pagar tak kasat mata yang dibuat untuk mengatur siapa yang boleh bicara. 

Di lingkungan Leksi, segala hal bisa menjadi tabu. Bertanya soal ayahnya, menyinggung tanah, bahkan sekadar mengungkap rasa ingin tahu. Maka bisa dibilang: “semua yang dianggap mengusik ketenangan” langsung disegel dengan kata tabu.

Menariknya–tidak sesuai dugaan–tabu  yang ditulis oleh Anindita, bukan soal hal mistis atau magis. Ia menyingkap bagaimana tabu bisa lahir dari tangan kekuasaan: dari suara laki-laki, tetua, atau aparat yang menentukan batasan atas nama ‘aturan’. Dengan begitu, jelas tabu menjadi alat efektif untuk menjaga tatanan: agar struktur tetap utuh, agar orang-orang kecil tidak banyak bertanya.

Tabu menjadi senjata yang bekerja dengan halus, bukan lewat ancaman, tapi lewat kebiasaan. Orang tidak lagi tahu kenapa sesuatu dilarang, mereka hanya tahu: “memang seharusnya begitu.” Maka ketika Leksi menolak untuk berhenti bertanya, ia bukan hanya melanggar tabu, tapi juga menentang seluruh logika kekuasaan yang berdiri di atasnya.

Begitulah Tanah Tabu, tampak sebagai kisah keluarga Mabel, namun juga cerminan trauma kolektif masyarakat Papua selama berpuluh tahun, bahkan hingga kini. Tanah Tabu barangkali adalah jeritan yang terpendam, barangkali juga doa dari Timur sana–tanah yang katanya tabu tapi justru paling jujur dalam mengingat luka.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here