Tangis Gadis Kecil
Tangis Gadis Kecil

“Bawalah aku. Ayolah!” Suara parau seorang gadis kecil terdengar memelas melalui ponsel yang digenggamnya.

Ia menemukan ponsel itu di bawah kursi mobil yang saat ini menjelma penjara. Rasa cemas telah berhasil mencekam dadanya. Tubuhnya menggigil, bukan karena hawa dingin, tetapi karena rasa takut yang tak henti-henti menggerogoti jiwanya. Tangan kecilnya gemetar hebat saat ia mencoba menekan tombol-tombol ponsel dengan jari yang berlumur debu dan darah dari luka-luka kecil di telapak tangannya. Nafasnya tersengal akibat isak tangis yang terus tertahan. 

“Kami akan datang dan membawamu pergi!” Suara itu memberi harapan pada sang gadis kecil.

“Aku sangat takut, ayolah!” Isak tangis gadis kecil itu semakin menusuk-nusuk.

- Poster Iklan -

“Baik, Sayang. Kami akan datang dan membawamu pergi!” Sekali lagi suara itu membumbung harapan dalam hati sang gadis kecil.

“Panggilah seseorang untuk menjemputku, berjanjilah!” Suaranya makin bergetar.

“Tentu saja, sayang, kami akan datang menjemputmu. Nanti akan ada rombongan dari Bulan Sabit Merah. Mereka masih saling berkoordinasi agar kami bisa datang menjemputmu.”

Rasa takut yang menyelimuti hati sang gadis itu enggan lenyap. Badannya tetap tak mau berhenti gemetaran dengan isak tangis yang terus menguras tenaganya.

***

Sementara itu, ribuan mil jauhnya, di ruang konferensi megah yang dilengkapi layar-layar digital dan meja-meja mengkilap, para diplomat berdiskusi. Terdapat sebuah layar lebar di ruang konferensi PBB menampilkan peta Gaza yang terbakar. Di bawahnya, angka korban tewas terus bertambah seperti kalkulator yang berjalan tanpa henti. Statistik korban tewas diproyeksikan di layar lebar, tetapi di mata mereka itu sekadar angka-angka, bukan nyawa manusia. 

Di dalam ruang konferensi PBB yang dingin, logo biru besar terpampang di dinding belakang. Para pemimpin dunia dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina duduk di kursi empuk, memandang layar-layar besar yang menampilkan statistik korban tewas. Para delegasi dari berbagai negara-negara lain duduk melingkar. Beberapa mata terlihat serius mengikuti arah pembicaraan, sementara yang lain sibuk dengan gawai.

“Kita harus mengecam keras tindakan ini, namun kita juga harus memahami konteks keamanan di kawasan tersebut. Atas nama kemanusiaan kita mesti bertindak,” suara perwakilan dari negara adidaya terdengar lantang. 

Suara lantang itu memukul-mukul udara dingin di dalam ruangan. Beberapa delegasi saling memandang, lainnya tetap bergeming. Adapun yang lain sibuk dengan lelapnya. Delegasi negara lain lalu ikut bersuara, menanggapi dengan satu anggukan sopan, tetapi nadanya terdengar hampa. “Kami mendukung pernyataan tersebut, namun mari kita pastikan bahwa tindakan yang akan kita ambil tidak melibatkan langkah yang dapat merusak hubungan-hubungan diplomatik.”

Hadirin riuh. Sebagian mereka menyetujui pernyataan tersebut dengan berisik. Diskusi berlanjut. Tapi terus berputar-putar pada masalah prosedur, teknis, dan bahasa-bahasa dokumen. Tidak ada pembahasan perihal bagaimana cara menghentikan serangan atau mengirim bantuan segera. Tampak seorang delegasi berkumis tipis dan berkacamata memberanikan diri dengan suara gemetar memohon agar tindakan segera diambil. Tapi sia-sia. Tak ada yang menggubris. Kursi-kursi di ruangan itu menjadi saksi bisu, menyerap keheningan dengan lebih baik daripada manusia-manusia yang mendiamkan penderitaan. 

Beberapa anggota rapat masih terlihat sibuk memeriksa ponsel mereka. Beberapa delegasi lain bahkan tampak saling berbisik, berbicara tentang rencana makan malam mereka, juga jadwal penerbangan pulang. Dan di sudut lain, seorang pemimpin besar terlihat terus-menerus memeriksa jam tangannya, ekspresinya tak dapat menutupi kebosanan yang menjalari mukanya.

Setelah berjam-jam rapat, moderator akhirnya memungkasi pertemuan yang cukup melelahkan itu. “Kami telah mencapai konsensus untuk menunda pengambilan keputusan hingga pertemuan berikutnya. Kami memahami urgensi masalah ini dan akan terus membahasnya dengan seksama.” Moderator memberi hormat dan mengular senyumnya pada pemimpin-pemimpin yang telah hadir dalam acara mulia itu.

Riuh tepuk tangan ringan dari para delegasi memenuhi ruangan, yang justru menandakan kesepakatan sudah sampai pada kesimpulan kosong, tidak berarti—dan mereka merayakan itu. Lalu mereka bangkit, meninggalkan ruangan rapat dengan derap sepatu yang mengirim rasa sakit ke telinga media-media yang juga hadir menanti harapan baik dari para wakil-wakil besar di forum tersebut.

Di luar ruangan rapat, tampak seorang reporter berlari-lari mengejar seorang pimpinan besar yang sudah hendak masuk ke dalam mobil jemputan, mendesakkan pertanyaan tentang langkah konkret yang akan diambil dalam waktu dekat. Dan jawabannya: klise. “Kami akan bekerja keras untuk mencapai solusi yang adil dan damai.”

***

Sementara itu. Bom tetap terus meledak di bumi Gaza. Bangunan-bangunan luluh lantak. Hujan air mata meski berjuta-juta kali turun, tetap tak mampu memadamkan api yang terus berkobar-kobar menyiksa kemanusiaan. 

Matahari pagi yang berusaha menemani keluarga-keluarga kecil yang tengah menikmati sarapan sederhana di dapur-dapur rumah, seperti tak berhasil memberi kehangatan hidup. Sinarnya juga tak cukup mampu melindungi kegembiraan pada anak-anak yang bersiap-siap dan menghambur pergi ke sekolah.

Kegelapan justru menelan buminya, menyirnakan cahaya matahari sesaat setelah tiba-tiba suara pesawat tanpa awak mengaum di atas langit, diikuti oleh ledakan yang mengguncang seluruh harapan hidup masyarakat di wilayah itu. Rumah-rumah runtuh. Debu dan asap hitam menggambar diri di udara. Sementara suara tangis dan jeritan, melolong di berbagai sudut dan sisi. Anak-anak kehilangan ibu dan bapaknya. Bapak dan ibu kehilangan anaknya. Berhambur-hambur lenyap dari pandangan, terkubur di bawah reruntuhan.

Saat ledakan mereda, tampak seorang ibu berteriak-teriak, tergopoh-gopoh mencari anak-anaknya sambil tak berhenti menangis. Tetapi, ia hanya menemukan mainan boneka dengan keadaan gosong milik anaknya yang tergeletak di jalan. Ibu itu menjerit panjang, mengadukan rasa sakit yang menderu di dalam jiwanya. Tak ada yang menolongnya. Tak ada tangan yang berusaha memeluk rasa sakit ibu itu. Semua sibuk menolong dirinya sendiri, dengan payah mencoba terus mengais-ngais harapan. Di tengah kehancuran tersebut, seolah hanya surga yang sudi membuka pintunya bagi mereka-mereka yang kehilangan harapan.

***

Sang gadis kecil berteriak ketakutan ketika sebuah ledakan mengguncang jalanan, menggoyangkan mobil tua milik keluarganya itu. Tempat ia bersembunyi sendirian. Asap kian mengepul dan memenuhi udara, membawa aroma hangus sekaligus kehancuran. Dunia mereka yang rapuh semakin runtuh. Dan gadis kecil itu masih menangis. Isak tangisnya semakin menunjukkan himpitan ketakutan yang memekak di dalam hatinya.

“Apakah ada aktivitas artileri di sekitarmu?” Suara perempuan di balik telepon itu masih hidup. 

“Iya, bawalah aku.” Suara gadis kecil itu mulai melemah.

“Sayang, demi Tuhan, aku ingin membawamu. Tapi aku tak bisa melakukannya dengan tanganku sekarang,” jawaban itu terdengar menahan sedih. “Mari ikuti aku agar sementara waktu hatimu sedikit tenang,” suara itu berusaha menuntun sang gadis kecil. “Bismillahirahmanirahim...” 

Bismillahirahmanirahim…” Ia mengikuti dengan suara semakin parau.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin…” Suara itu kembali menuntunnya.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin…” Sekali lagi, dengan memaksa diri, ia mengikutinya. Tapi suaranya bergetar, hampir pecah.

“Bagus sekali! Lihatlah dirimu, kau telah menghafal dengan baik.” Suara itu mencoba menghibur hati sang gadis kecil. Tapi, isak tangisnya tetap menyakiti dadanya. 

“Apakah mereka semua di sana?” Suara itu bertanya.

“Iya…”

“Mereka semua ada di dalam mobil?”

“Iya…”

“Oke, sekarang kamu bersembunyi di mana?”

“Di dalam mobil,” gadis kecil itu hampir kehilangan suaranya, “Tank ada di sebelahku,” tubuhnya menggigil hebat, ia menyurutkan kepala sedikit agar tak terlihat oleh tank yang sudah sejarak 5 meter dari mobilnya. “Berjanjilah datang dan jemput aku. Berjanjilah!” Suaranya semakin tenggelam.

“Jangan takut, kami akan segera datang,” kata suara itu, meskipun nada gemetarnya sulit disembunyikan. Ia menelan ludah, mencoba meredam rasa frustasi yang membakar di dadanya.

“Tapi… mereka sudah dekat…” sang gadis kecil mulai menangis, suaranya pecah.

“Ya Tuhan…” gumam suara itu tanpa sadar, sebelum buru-buru melanjutkan, “Aku janji, bertahanlah. Tolong bertahan.” Ada jeda panjang di antara kata-katanya, seolah ia sedang melawan desakan tangisnya sendiri. Di ujung telepon, ia bisa mendengar jeritan lain, suara kekacauan yang tidak mungkin ia hentikan. “Tetaplah di dalam mobil sayang. Aku akan tetap berbicara denganmu. Aku akan tetap membiarkan telepon ini tersambung. Aku tak akan tutup telponnya, oke?”

Gadis kecil itu hanya bisa mengangguk lemah, meski tahu suara di ujung telepon tak bisa melihatnya. Matanya sembab dan bengkak, karena terlalu banyak menangis. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menindih. Tangisnya masih tertahan, dengan tubuh kecilnya yang terus bergetar hebat, seolah menggambarkan ketakutan yang tak bisa lagi diucapkan dengan kata-kata.

Tangisannya semakin jadi, tapi dengan kuat ia tetap berusaha menahannya.  “Tolong datang dan jemput aku.” Suaranya melemah, hanya dirinya sendiri yang mampu mendengarnya.

Darr… Darr… Darr… Darr… Darr… Darr…

Suara tembakan memberondong mobil, tempat gadis kecil itu bersembunyi. Hind Rajab, gadis 6 tahun tewas dihujani 335 peluru Israel di dalam mobil keluarganya, tempat ia menyembunyikan diri. Jiwanya terbang diiringi segerombolan bidadari menuju surga.

***

Di sebuah rumah sederhana, jauh dari Gaza dan ruang konferensi itu, seorang ayah duduk di samping anaknya. “Ayah, kenapa mereka memberi harapan palsu?” Sifa tiba-tiba bertanya kepada ayahnya yang sibuk membolak-balik lembar koran.

Ayahnya terkejut, Sifa tiba-tiba menangis. Ia lalu menutup korannya, meletakkannya di atas meja. “Ada apa denganmu, Sif? Kamu habis menonton apa?” Ia mengambil ponselnya dari genggaman Sifa. Dilihatnya ponsel itu, menghela nafas, lalu memandangi wajah Sifa yang sudah basah oleh air mata. 

“Kenapa mereka tak segera menolong kakak itu, Yah?” Suaranya menunjukkan kepolosan hatinya yang tulus. Sifa tampak sangat sedih. Sang ayah lalu mendekap tubuhnya, membiarkannya menangis dalam pelukannya. Sembari berusaha memberi penjelasan kepada putri kecilnya itu.

“Kakak itu sudah ditolong, Nak. Segerombolan bidadari sudah menjemputnya. Suara perempuan yang berbincang dengan kakak melalui telepon di video yang kamu tonton tadi adalah ketuanya. Dia pemimpinnya. Seperti ibu…”

“Ayah berbohong…” Gadis yang masih berusia 3 tahun itu memotong. “Kakak itu tadi ditembaki oleh mobil besar, Yah. Kakak itu tadi berteriak kesakitan. Dia kesakitan, Ayah. Tidak ada yang menolongnya. Mereka tidak datang. Mereka berjanji akan datang, tapi mereka tidak datang, Ayah. Kakak itu tidak ada yang menolong.” Air mata Sifa semakin tumpah-ruah bersamaan dengan isak tangisnya yang tersedu-sedu. 

Ayahnya terdiam. Wajahnya terlihat pucat. Ia kesulitan memberikan penjelasan kepada putri kecilnya. Didekapnya tubuh kecil Sifa semakin erat sambil diciuminya rambut putrinya yang lembut itu. Sifa memeluk ayahnya semakin erat, matanya yang polos menatap ayahnya penuh harap. “Ayah, kenapa mereka tidak membantu kakak itu?” Sifa masih mengejar.

Sang ayah terdiam, merasakan tenggorokannya tercekat. Ia ingin mengatakan sesuatu, apa saja, untuk menghibur Sifa. Tapi apa yang bisa ia katakan? Bahwa dunia telah lama tuli terhadap tangis anak-anak yang terus menjerit.  Bahwa anak-anak, seperti Sifa, tak akan dibiarkan mengetahui apapun tentang kejahatan dan terus dijejali dentuman-dentuman ketidakadilan.

Dengan tangannya yang bergetar saat ia membelai kepala putrinya, sang ayah mencoba menenangkan hati kecil putrinya. “Karena mereka tidak tahu, Sifa,” ia akhirnya berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Tapi ia tahu itu bohong. Mereka tahu. Semua tahu. Namun kebisuan dunia lebih nyaring daripada ledakan apa pun. 

- Cetak Buku dan PDF-

2 COMMENTS

  1. Saya sangat suka pada penulisan penceritaan yang dari beberapa sudut pandang, memberi gambaran yang detail dan rinci tentang suasana tersebut.
    Kata-kata yang paling membekas, dan memang sangat nyata di dunia ini, “Bahwa dunia telah lama tuli terhadap tangis anak-anak yang terus menjerit”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here