Aku mengalami mimpi buruk hari ini. Saat badai berkecamuk di ladang tomat, aku terpaksa merelakan setengah juta hektar lahan yang rusak. Belum sempat ku tangisi, iring-iringan eskavator raksasa masuk kebunku. Angin menampar wajahku dengan debu-debu ketika melihatnya.

“Pak Anto sudah sadar?”

Sungguh lebih baik ku mati saja daripada mengingat fakta. Aku tidak pernah membayangkan bila alat-alat berat itu tengah menyiapkan ladang yang esok hari memeras ribuan liter darah dan keringat anak-anakku. Cucu-cucuku akan tinggal dalam bilik-bilik sempit, dikelilingi pepohonan sawit. Beranak pinak. Yang keluar dari ladang akan disembelih namanya. Itu berlangsung selamanya dan tersistematis.

“Ambilkan aku minuman..”

- Poster Iklan -

Tanpa protes kenapa aku tidak mengatakan ‘minta tolong’, perawat itu meminumkan seteguk air. Tatapanya kosong, mungkin lelah merawat ratusan pasien lain yang juga babak belur hidung dan bibir. Sungguh mimpi buruk itu terasa nyata, lantaran sumpah serapah orang-orang kalah menggema di langit-langit ruangan. Tentang betapa mereka tidak bisa pulang hari ini, atau besok. Atau sebulan, atau tahun depan. Karena rumah tanah mereka di jual murah. Mereka harus menyingkir ratusan kilometer ke selatan hutan. Kampung baru. Tanpa air dan listrik.

“Bapak, adakah kemungkinan kita bisa pulang hari ini?”

Aku dan orang-orang kalah itu tentu berbeda. Mereka tidak seberuntung diriku yang masih memiliki rumah dan memberiku pulang. Karena badai itu menelan kebun tomatku, bukan rumahku.

“Tapi bapak, kita nanti hanya menempati petak kecil..”

Anakku menjadi keras kepala setelah tahu bapaknya babak belur begini. Sepanjang terpejam, aku merekam tiap kalimat percakapan dengan perawat. Anakku meminta agar aku segera menempati kamar VIP, jauh dari pekik suram para korban bentrok demonstrasi tadi siang di ruangan kelas tiga ini. Bukannya sebab pekak mendengar keriuhan, aku tahu anakku berusaha menyelamatkan diriku. Karena jika mereka tahu diriku tidak berdaya ditengah mereka, mereka akan segera lompat dari kasur dan susah payah merangkak untuk membunuhku.

Tapi bagaimana mereka coba menggenggam pisau? Jika selang infus melilit lengan mereka. Jika dileher mereka juga terpasang penyangga yang membuat wajah selalu mendongak ke atas sepertiku. Cembung sayu mereka yang putus asa, kontras dengan ekspresi keras mereka yang melotot merah siang tadi. Kala mobil avanza elit perusahaan dibakar sembari meneriakan yel-yel, “Usir! Usir! Antek aseng! Bunuh! bakar semuanya!”, di depan barisan aparat berseragam taktis. Aku siaga berada di garda terdepan, merangsek sembari dihujani tongkat kayu dan batu. Aku tak tahu berapa kepala yang bocor akibat pukulan kayuku, tiba-tiba seseorang membakar punggungku.

‘Bwussh!’

Entah parang berkarat dari mana, benda itu melayang menembus betisku kala terbirit-birit panik di tengah kobaran api. Aku tersungkur. Ramai-ramai dihajar habis. Lalu tubuhku diseret oleh seseorang di antara pepohonan dan semak belukar.

“Siapa kau?!” 

Dia menelungkupkan wajahku ke tanah. “Ssst.. diamlah!”

Aku tidak bisa menerka, wajahnya tertutup topeng harimau bertaring. “Kau salah satu pendemo itu? Bunuh saja aku!”

Keriuhan mereda setelah kendaraan lapis baja memuntahkan gas air mata ke tengah para demonstran. Manusia bertopeng harimau itu segera menyeretku lari ke tengah hutan, lalu lompat menuruni jurang yang habis dikeruk. Jurang itu bagian proyek pembangunan waduk buatan untuk mengairi kebun kelapa sawit. Dia menyeretku ke dalam gorong-gorong setinggi pria dewasa.

Topeng harimaunya terbuka, ternyata itu anakku sendiri.

“Zul?!”

“Bapak, kau tidak akan selamat dari semua konflik ini. Tidak pula teman-teman aparat akan menyelamatkan dirimu!”

Dia memintaku menjelaskan semuanya. Tentang mengapa shubuh tadi alat-alat berat masuk ke kebunku. Mengapa ketika orang-orang berseragam menghancurkan ladang dan tiga rumahku, mengapa aku yang mengawal mereka. Dan mengapa aku tetap kukuh menjadi aparat dengan menumbalkan semuanya, sementara anakku lah yang menggerakkan para demonstran untuk menentang alat-alat itu masuk ke ladang. 

Aku menggeleng kelu. Tampak pemandangan diluar, dua orang berlari melintasi mulut gorong-gorong lalu DOR! ditembak oleh aparat yang mengejarnya. Dua jasad bersimbah darah itu diseret aparat ke dalam hutan. 

Dengan amarah yang meluap, anakku memukul wajahku ‘bugh!’ dan ketika sadar, tiba-tiba aku sudah berada di rumah sakit ini.

***

Tadi malam sebelum badai, anakku meminta bicara empat mata diruang tamu.

“Tidakkah bapak ingin membela tanah air kita dengan menjadi aparat?”

Aku terdiam melihat anakku kembali menunjukkan bukti-bukti kerusakan hutan. Gambar peta menunjukkan 6.000 hektar hutan beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Dan perluasan kebun itu merambah rumah-rumah penduduk asli yang dilewati mata air dan anak sungai mahakam.

“Perusahaan multinasional itu tidak mungkin memikirkan bagaimana nasib kita nanti setelah pindah dari sini. Bapak harus menolak konsensus itu, yang akan membuat ratusan keluarga terusir dari tanahnya sendiri. Pikirkan kembali! Seharusnya bapak bergabung dan mengelukan para penegak hukum untuk melindungi penduduk asli dari arogansi negaranya sendiri!”

Matanya mengkilat khas mahasiswa. Tapi sayang, dia memahami reaita secara sepotong.

“Kau juga harus memikirkan, demonstrasi esok hari hanya akan memicu kericuhan dan konflik. Mereka akan menimpakan semua kesalahan pada warga sipil, jika kau tidak mengentikan rencanamu sekarang. Apa kau pikir akan semudah itu melawan kekuatan besar yang terorganisir? Mereka bisa menuntutmu ke pengadilan dengan tuduhan provokasi tidak berdasar. Mereka punya surat izin, legalitas usaha, dan negara punya klaim untuk membuka lapangan kerja baru. Sedang kau? Apa yang kau miliki? Bagaimana kau akan bertanggung jawab?”

“Apa bapak pikir kami takut menghadapi semua itu? Kami tidak bisa menerima, mengapa hanya sebab perluasan lahan kami harus terusir dari tanah sendiri? Apa bayaran yang kami dapatkan dari proyek itu? Jika mereka benar-benar menurunkan alat-alat berat esok hari dan menolak semua tuntutan kami, yang akan terjadi di masa depan lebih buruk dari sekedar kematian. Dan aku telah menjelaskannya bapak”

Aku tidak kuasa menatap Zul, teringat almarhumah istriku yang matanya mengkilat menuntut keadilan. Dulu rumah istriku di Kalimantan Barat tergusur akibat proyek penambangan, dan rasa sakit hati itu tetap terbawa ke Penajam hingga dia meninggal akibat sakit liver. Zul ingin mengulangi masa lalu ketika istriku ikut mendemo perusahaan penambang, walau aku bertekad untuk selalu berada di titik aman.

“Bisakah bapak mendukungku? Kumohon..”

Aku menggeleng, sembari melingkarkan tas ke punggung. 

“Zul, sebenarnya bapak berusaha menyelamatkanmu dan memberikanmu pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tapi sayang sekali kau memilih jalan lain..”

“Ini hal yang harus kulakukan bapak, tetapi mengapa… mengapa bapak memihak mereka yang merampas tanah kita? Mengapa bapak mau menjual tanah kita sendiri? Untuk apa bapak mengawal aksi para perampas itu esok hari?”

‘Untuk apa’, kuyakin Zul tahu jawabannya. Tapi aku tidak akan menjawabnya sekarang.

Kurasakan tatapannya nanar waktu aku keluar rumah, menuju kantor tempat para aparat berkumpul malam itu.

***

Dan setelah aku keluar dari ruang operasi dalam kondisi babak belur, Zul mengulangi pertanyaan itu dengan kalimat yang lain.

“Inikah yang bapak inginkan?”

Akan kujelaskan mengapa. Aku selalu ingin mengatakan alasannya.

Itu karena aku takut nak. Aku takut, selama ini aku selalu berada dalam jurang kemiskinan lantaran tak punya harta atau relasi untuk bangkit berdaya. Orang tuaku petani, mereka menjual ladang untuk sekolahku. Aku bisa lulus. Aku takut tidak berguna. Maka untuk memasuki dunia kerja formal, kusuap dengan menumbalkan ladang selama jangka waktu sepuluh tahun di pegadaian. Aku lulus berkat seorang tokoh. Aku takut hutangku tak kunjung terbayar, maka aku catutkan namaku di proyek nasional pembukaan lahan baru di tengah hutan. Yang jauh dari pemukiman.

Aku mengawal mereka yang membakarnya. Kulihat para kera berlarian panik. Asap terus awet selama sepekan. Tokoh yang berjasa padaku meminta imbalan. Aku takut terjadi apa-apa pada keluargaku, sehinga aku berjanji untuk menuntaskan pembebasan lahan warga untuk perluasan kebun kelapa sawit. Rasa ketakutanku kugunakan untuk menakut-nakuti warga, bahwa mereka selama puluhan tahun menempati lahan ilegal milik negara. Kutawarkan secercah harapan agar mereka pindah ke pesisir yang masih dalam tahap pembangunan rumah susun sempit. 

Tapi aku tidak menyadari jika anakku bertambah dewasa. Dia malah menjadi corong untuk menentang perluasan kebun kelapa sawit. Menyodorkan fakta, bahwa kegiatan penambangan dan pembukaan lahan kelapa sawit makin merangsek lebih jauh ke pedalaman kalimantan seenak jidat.

Mereka mengancamku akan membeberkan rekam jejak suap yang kulakukan, maka aku harus melakukan segala cara untuk menggagalkan aksi demo itu. Kuminta alat-alat berat segera diturunkan, sebelum akses menuju lokasi diblokir para demonstran. Kugadaikan setengah lahan warisanku sebagai lahan parkir alat-alat berat, dengan membayangkan aku akan terus menjadi kepala divisi aparat, tanpa khawatir kesialan akan datang menerpaku.

Sampai ku tersadar ketika melihat bangsal rumah sakit. Tak ada yang datang. Hanya Zul, anakku seorang yang selama ini menentangku, menemaniku seorang diri. Berkali-kali kudengar dia menelpon seseorang yang mengabarkan kondisi demonstran di lapangan. Para aparat dengan cepat berhasil menangkap semua provokator selama tiga hari ini.

‘Kalah Zul.. kita telah kalah.. tokoh nasional aktifis lingkungan kita, terbunuh malam tadi..’

Raut sayu Zul seperti hantu. Kelihatannya dia tidak tidur beberapa hari ini.

Tiba-tiba masuk beberapa orang berseragam mendekati posisiku. Ruang kelas tiga mendadak riuh dikelilingi orang-orang yang penasaran. Zul menghadang, namun tangannya dengan cepat terborgol di belakang punggung. Sementara salah seorang paling rapi, paling percaya diri dan kaku diantara orang-orang berseragam itu menunjukkanku surat penangkapan resmi.

“Atas nama Bapak Syahrul Gunawan, anda ditahan dengan tuduhan tindak pidana korupsi penyelewengan dana bantuan ke warga Penajam, dengan total 10 milyar rupiah. Juga tindak pidana pemerasan ke peruahaan, kebakaran hutan pada tujuh tahun yang lalu, dan lima dakwaan lainnya…”

Zul tersenyum menatapku. Di depan wajahnya, ada pula surat penangkapan dirinya.

“Kita tidak akan pulang hari ini bapak. Tidak pula esok hari”

Boyolali, 08 Juni 2024

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here