Pasar Wetan tak pernah benar-benar pagi. Ia selalu setengah malam, setengah lupa, dan setengah bau. Di sanalah, di sela-sela teriakan pedagang sayur dan ceracau tukang kopi, seorang perempuan bernama Winda selalu duduk diam di barisan ketiga bangku musala terminal. Wajahnya tak asing, tapi juga tak cukup dikenali. Ia bukan siapa-siapa, kecuali seseorang yang terlalu sering menunggu.

Tapi siapa pula yang sungguh peduli dengan perempuan yang terlalu sering menunggu? Terminal itu menyimpan terlalu banyak orang yang menunda hidup, dan Winda hanyalah satu dari sekian yang tak sempat mati dengan tenang. Beberapa gelandangan bahkan sempat menjadikannya titik orientasi: “Kalau kamu lihat ibu-ibu duduk diam di baris tiga, dari situ belok kiri, warung saya berada sebelah tukang tambal ban.” 

Ia telah menjadi semacam mercusuar absurd, penanda arah bagi mereka yang justru tersesat lebih dulu. Kadang, anak-anak kecil memanggilnya hantu jam subuh, sebab ia muncul hanya saat matahari belum juga yakin untuk terbit. Orang-orang menyapa bukan karena simpati, melainkan karena terbiasa. Dan terminal, seperti halnya hidup, hanya berfungsi baik jika semua sudah punya tempatnya masing-masing, bahkan jika itu adalah tempat menunggu yang tak akan pernah selesai.

“Mbak, nunggu siapa lagi?” tanya tukang bersih-bersih musala yang sudah pensiun sejak enam tahun lalu, tapi masih saja muncul tiap subuh.

- Poster Iklan -

“Enggak nunggu siapa-siapa, Pak. Cuma nyari sinyal,” jawab Winda, seperti biasa, sambil tetap menatap kipas angin tua yang menggantung lesu di langit-langit.

Tentu saja itu bohong. Semua orang tahu, tak ada sinyal yang cukup waras di musala terminal. Bahkan Tuhan pun, kalau hendak ditelepon dari sana, mungkin sedang sibuk.

Winda datang sejak tiga tahun lalu, katanya dari Cikande. Membawa satu tas kecil, dan selembar foto lelaki berpakaian tentara yang berdiri di depan pohon kamboja. Lelaki itu, kata Winda, pernah pamit untuk operasi rahasia di perbatasan. Dan seperti halnya semua kisah di negeri ini yang berkaitan dengan kata rahasia, akhirnya tak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi.

“Namanya Arwan. Tapi saya lebih suka manggil dia Wawan. Biar nggak terlalu gagah,” ujar Winda suatu sore kepada penjual tahu petis yang kebetulan duduk sebangku. 

Wawan, seperti nama-nama lelaki dalam novel percintaan murahan, menyisakan terlalu banyak teka-teki. Kadang ia disebut tertangkap, kadang dikabarkan jadi mata-mata. Winda memilih yang kedua, karena terdengar lebih dramatis dan bisa disesuaikan dengan alur telenovela yang sering ia tonton di warung makan.

Ia bahkan pernah berkata bahwa Wawan telah disekap oleh pasukan bayangan yang melindungi rahasia negara. Bahwa ia menyamar sebagai petugas parkir di Istana, menyembunyikan identitasnya demi melindungi Winda dari bahaya laten. Imajinasi Winda tak pernah repot soal kemungkinan. Ia membuat cerita bukan untuk dipercaya orang, melainkan untuk menambal hari-hari yang bocor oleh kebosanan. Kadang ia tertawa sendiri saat menceritakan versi-versi itu kepada penumpang asing yang duduk tak sengaja di dekatnya. “Tenang aja, dia belum bisa pulang karena visa ke dunia nyata-nya belum keluar,” ujarnya sambil menyeruput teh dari gelas plastik. Tak satu pun yang menanggapi serius, dan itulah yang membuat Winda semakin percaya dirinya tetap waras.

Terminal itu bukan tempat yang tepat untuk menanti. Tapi Winda menolak pindah. “Dia pasti ke sini, kok. Aku sempat bilang tempat ini paling gampang diakses dari mana pun,” ucapnya dengan nada seperti sedang menjelaskan arah jalan pada seseorang yang sebenarnya tak pernah bertanya.

Orang-orang mulai bosan bertanya. Lalu mulai percaya. Lalu lupa. Winda tetap duduk di sana. Terkadang tidur sebentar, kadang bertanya-tanya kepada diri sendiri dalam bentuk bisikan. Ia menyebut hari-hari dengan nama Senin sebagai Nyaris, Selasa jadi Mungkin, dan Rabu adalah Salah Tangkap. Kamis adalah Sudah Diarahin, sedangkan Jumat disebutnya Dia Bilang Mau Pulang. Sabtu dan Minggu hanya disebut Ulang.

Hari ini Kamis. Artinya, Winda membawa bekal dua potong roti dan sebotol air putih. Ia juga memakai baju merah muda dengan bunga-bunga kecil yang ia sebut sebagai seragam keberuntungan. Ia bahkan sempat meminjam lipstik milik tukang parkir perempuan yang tidur di bawah tangga musala.

Di luar, hujan jatuh dengan malas. Orang-orang berlarian seperti biasa, dan bus-bus tua terus berteriak memanggil kota-kota yang sama sekali tidak Winda minati. Ia tak peduli ke mana semua itu akan pergi. Ia hanya peduli pada siapa yang akan datang.

“Kenapa enggak coba cari dia?” tanya seorang mahasiswa magang yang sedang riset tentang mobilitas perempuan urban. Ia duduk di samping Winda sambil merekam suara dan suasana terminal.

“Kalau aku nyari, nanti dia enggak bisa nemu aku,” jawab Winda.

“Kalau dia juga nunggu kamu, gimana?”

Winda hanya tersenyum. “Kalau sama-sama nunggu, berarti memang belum waktunya ketemu. Kayak pintu sama engsel, satu diganti, satunya belum tentu pas.”

Mahasiswa itu mencatat kalimat itu dengan serius, mungkin akan ia kutip di bab tiga skripsinya nanti sebagai kebijaksanaan organik warga marginal.

Tiga tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menunggu seseorang yang tidak pernah benar-benar menjanjikan apa-apa. Tapi Winda sudah melampaui tahap percaya. Ia kini lebih seperti artefak, bagian dari ornamen terminal. Ia tak terganggu oleh jadwal keberangkatan, atau harga gorengan yang terus naik. Ia hanya ingin berada di tempat di mana Arwan bisa menemukan dirinya, jika sewaktu-waktu semua kebetulan bisa dipaksakan terjadi.

Pernah sekali waktu ada seseorang yang nyaris mirip Wawan. Bentuk tubuh, gaya jalan, bahkan cara menatapnya dari jauh membuat Winda hampir pingsan. Ia berdiri, melambai, tapi lelaki itu hanya berjalan ke arah halte, memungut kardus, dan pergi tanpa menoleh. Sejak saat itu, Winda tak lagi mau menebak. Ia belajar membenci pengharapan yang terlalu cepat mengenali wajah. Ia membenci kebaikan palsu dari wajah-wajah samar. Dan ia mulai mengerti bahwa kadang, siksaan sebenarnya bukanlah ditinggalkan, melainkan diberi harapan yang salah alamat.

Sampai suatu hari, seorang lelaki asing muncul. Usianya sekitar empat puluh lima, memakai topi, dan membawa kantong kresek yang warnanya lebih buram dari mata Winda. Ia duduk di barisan pertama, lalu pindah ke barisan kedua, sebelum akhirnya berhenti di barisan ketiga, tepat di samping Winda.

“Maaf, Mbak. Ini barisannya Wawan, ya?” tanyanya dengan suara terlalu datar untuk ukuran pertanyaan seaneh itu. 

Winda menoleh. Jantungnya melonjak pelan, tapi ia menahannya agar tak jatuh.

“Mas tahu Wawan?”

Lelaki itu mengangguk. “Dulu pernah satu regu. Waktu pelatihan di Gunung Kunci.”

Winda nyaris tak bernapas. “Mas tahu dia di mana sekarang?”

Lelaki itu menatapnya lama. Lalu membuka kresek dan mengeluarkan sesuatu, sebuah baju loreng, satu foto, dan sepucuk surat dengan tulisan tangan yang hampir pudar.

“Dia titip ini buat kamu. Tapi katanya jangan dibuka sebelum kamu benar-benar yakin dia enggak bakal pulang.”

Winda gemetar. Tangannya menggenggam surat itu seperti benda sakral.

“Apa dia mati?”

Lelaki itu menggeleng. “Kalau mati, mungkin lebih mudah. Tapi dia tidak mati.”

Winda mengernyit. “Maksud Mas, dia hidup tapi bukan jadi Wawan?”

Lelaki itu menunduk. “Dia sekarang ada jabatan. Ada keluarga. Ada kehidupan yang tidak bisa diganggu kenangan.”

Hening menggantung seperti pakaian dalam yang lupa dijemur. Winda tak segera bereaksi, karena dalam benaknya, Wawan bukanlah seseorang yang bisa diubah jadi ‘Pak’ apa pun. Ia adalah kenangan yang disimpan dalam bentuk tetap, tak boleh bertambah tua, apalagi berubah status. Tapi hidup, seperti juga terminal, tak pernah peduli pada versi ideal. Kadang seseorang memang tak pulang bukan karena tersesat, tapi karena tak ingin ditemukan dalam keadaan yang sudah tak sesuai gambar lama.

“Dia cuma berhenti.”

“Berhenti?”

“Berhenti jadi orang yang kamu kenal. Dia sekarang kerja di entah, apa namanya itu, bagian pengamanan proyek. Katanya dia harus hilang supaya bisa menyelamatkan banyak hal.”

Winda terdiam.

“Dia pernah ke sini?” tanyanya nyaris berbisik.

Lelaki itu memalingkan wajah. “Pernah. Tapi dia duduk di barisan keempat. Katanya dia nunggu kamu berbalik. Tapi kamu enggak pernah menoleh.”

Setelah lelaki itu pergi, Winda tak membuka suratnya. Ia menyimpannya di saku kecil tasnya, lalu pindah duduk ke barisan keempat. Di sana, ia mencoba mengingat-ingat wajah yang mungkin ia lewatkan.

Sejak hari itu, Winda berhenti bicara tentang Wawan. Ia juga berhenti menunggu. Tapi ia tetap duduk di musala terminal, kali ini bukan untuk sinyal, bukan untuk cerita, melainkan karena tak tahu harus ke mana.

Orang-orang mulai lupa bahwa dulu ia menanti. Mereka kini menyapanya hanya sebagai Bu Winda Musala. Kadang anak-anak kecil menirukan cara duduknya, dan tukang bersih-bersih baru mengganti kipas angin tua dengan speaker kecil yang memutar lagu religi dari pagi sampai petang.

Sampai suatu pagi, tepat sebelum azan subuh, seseorang meletakkan karangan bunga di bangku barisan ketiga. Tidak ada nama pengirim, hanya kartu kecil bertuliskan: “Terima kasih sudah tidak berbalik.”

Winda melihat itu tanpa suara. Di dalam dirinya, keraguan bertumbuh seperti jamur di bawah bangku terminal yang lembap. Surat itu tetap tersimpan, tetap tertutup, dan ia tak tahu apakah membukanya akan membuat segalanya lebih baik atau justru memaksa kenyataan masuk tanpa permisi. Hari-hari berlalu tanpa perayaan, dan kadang ia berpikir bahwa mungkin Wawan memang semestinya tinggal di ruang tunggu, bukan dalam kenyataan. Toh tidak semua yang dicari harus ditemukan. Ada yang lebih berguna jika hanya dirindukan. Dan Winda, seperti juga banyak dari kita, terlalu takut kehilangan ilusi yang kadung nyaman.

Ia menoleh ke speaker yang saat itu mati, lalu menatap ke luar jendela musala, ke arah terminal yang sudah mulai hidup lagi. Sejenak, ia seperti hendak berdiri. Tapi lalu duduk kembali. Tak ada yang tahu, apakah ia sudah membuka surat itu. Atau, apakah ia masih percaya pada lelaki dari barisan keempat. 

Hari itu, bus jurusan Tasikmalaya mogok tepat di depan musala. Asap mengepul seperti harapan yang kehabisan alasan. Seorang kernet turun, meludah, dan berkata pada supirnya, “Mungkin bensinnya nyangkut di masa lalu, Pak.” Tak seorang pun menanggapi. Winda tertawa pelan. Mungkin, pikirnya, semua memang sedang mogok. Waktu, harapan, atau bahkan cinta. Tapi toh terminal tak pernah ditutup. Selalu ada yang datang. Selalu ada yang pergi. Dan ia, setidaknya, masih tahu caranya duduk.***

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here