Meraih Oscar untuk Best Animated Short Film pada Academy Awards 2011 bukanlah prestasi yang kecil, apalagi bagi sebuah film animasi pendek berdurasi sekitar lima belas menit. Terlebih film animasi ini diadaptasi dari buku bergambar, dan mempertahankan gaya visual khas aslinya: penuh tekstur, warna yang suram khas kota industri, sunyi, dan minim aksi. Bukunya sendiri terbit sepuluh tahun lebih awal, yaitu pada tahun 2000. Sementara film animasinya di garap pada tahun 2010 oleh penulis sekaligus ilustratornya sendiri, yaitu Shaun Tan asal Australia. Dengan banyaknya penghargaan lain dari festival-festival bergengsi seperti Annecy International Animated Film Festival, dan penghargaan industri animasi di Australia, film animasi ini sukses dengan karakternya yang tanpa ledakan warna dan kisah yang di bawanya hadir di tengah hiruk-pikuk dunia animasi. 

Kisahnya sendiri sederhana, bahkan nyaris biasa. Seorang anak laki-laki yang sedang mengumpulkan tutup botol di pantai kemudian menemukan makhluk aneh – sesuatu yang bentuknya seperti perpaduan kepiting, gurita, dan mesin uap. Makhluk besar merah itu tampak tersesat, namun tak seorang pun di sekitar mereka yang peduli. Dunia di sekeliling anak itu terlalu sibuk, terlalu terlatih untuk hanya melihat yang mereka anggap penting. 

Sang anak mencoba mencari tahu di mana makhluk ini seharusnya berada. Usaha itu kemudian membawanya pada kantor birokrasi yang dingin dan terasa formalitas belaka – tempat segala pertanyaan dijawab dengan tatapan acuh dan prosedur tak masuk akal. Sampai akhirnya, ia menemukan sebuah dunia tersembunyi, penuh makhluk-makhluk unik yang hidup bebas. Di sanalah ‘The Lost Thing’ akhirnya di tempatkan, meski film ini membiarkan kita bertanya-tanya: apakah itu benar-benar rumahnya, atau hanya persinggahan yang terasa tak masuk akal?

 

- Poster Iklan -

Pencarian Tempat untuk Berada (Sense of Belonging)

Animasi ini dengan halus memotret bagaimana dunia modern sering kali menutup mata pada hal-hal yang tak sesuai ‘cetakan’. Kota di film ini terasa mekanis, penuh iklan yang menutupi dinding, dan manusia-manusia yang berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Makhluk itu hadir seperti gangguan visual di tengah keteraturan yang kaku. 

Di balik kisah modernitas ini, tersembunyi isu yang universal – rasa ingin menemukan ruang di mana kita bisa benar-benar menjadi diri sendiri. ‘The Lost Thing’ adalah metafora yang lentur, ia bisa menjadi representasi orang-orang dengan identitas yang unik; mereka yang keterbatasan fisik atau mental; atau sekadar perasaan yang tak mendapat ruang dalam percakapan  sehari-hari. 

Film animasi ini memotret bahwa mereka yang berbeda di tempatkan di ‘rumah’ yang berbeda pula. Entah rumah itu berarti kita diterima sepenuhnya, atau cukup tempat di mana keberadaan kita tidak di pertanyakan, atau agar tidak mengganggu yang ‘normal’. Shaun Tan tidak memberi jawaban pasti pada film animasinya. Ia hanya menunjukkan bahwa pencarian itu penting, bahkan jika hasilnya bukan tempat sempurna, melainkan ruang yang cukup memberi kita napas.

 

Kritik Pada Dunia Modern

Kita hidup di zaman di mana langkah kaki lebih cepat daripada tatapan mata. Semua orang tampak bergerak, tapi tak ada yang benar-benar melihat. Kesibukan menjadi semacam tameng untuk menghindari hal-hal yang tidak sesuai rencana. 

Di dunia semacam ini, berhenti sejenak bukan hanya dianggap tidak produktif, tapi nyaris salah. Menoleh ke hal-hal yang tidak relevan dengan target hidup rasanya dianggap buang-buang waktu. Kita belajar untuk melihat hanya yang berguna, sementara sisanya dihapus dari pandangan. Shaun Tan menggambarkan ini lewat detail kecil, bahwa orang-orang yang tidak melihat makhluk itu bukan karena mereka buta, melainkan karena mata mereka terlatih untuk melewatkannya. 

Film Animasi ini memantulkan cermin kepada kita, bahwa banyak ‘hal yang hilang’ di sekitar kita yang tak pernah kita sadari. Oleh karena itu, The Lost Thing menjadi pengingat bagi kita untuk berani menoleh ke arah sesuatu yang orang lain anggap remeh. Sebab ada nilai dalam berhenti, dalam melihat, dan dalam merawat. Siapa tahu, mungkin, di akhir hidup yang paling kita sesali bukanlah pekerjaan yang tak selesai, melainkan momen-momen kecil yang kita biarkan berlalu tanpa sempat menoleh. Maka jelas saja film ini mendapatkan beberapa penghargaan bergengsi, sebab nilai sejatinya ada pada apa yang film ini bisikkan ke telinga penontonnya.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here