Thunderbolts adalah sebuah film yang disutradarai oleh Jake Schreier dan memiliki durasi selama dua jam enam menit. Film ini merupakan karya teranyar dari Marvel Studios dan baru dirilis di Indonesia pada 30 April lalu. Beruntunglah, karena 1 Mei merupakan hari libur nasional, saya pun berkesempatan untuk langsung menyaksikan film ini di hari kedua pemutarannya.
Secara singkat, Thunderbolts menceritakan tentang kumpulan antihero–beberapa bahkan merupakan supervillain–yang terpaksa bersatu menjadi sebuah tim. Tim yang kemudian dinamakan Thunderbolts ini terdiri dari Yelena Belova (Florence Pugh), Red Guardian (David Harbour), U.S. Agent (Wyatt Russell), Ghost (Olga Kurylenko), Bucky Barnes (Sebastian Stan), dan satu tokoh yang memulai debutnya di film ini, Robert Reynolds (Lewis Pullman).
Untuk apa alasan mengapa mereka bersatu, bagaimana proses penyatuannya, dan ancaman apakah yang membuat mereka harus bekerja sama, saya tidak akan membahasnya secara gamblang. Maklum, Thunderbolts baru tayang selama beberapa hari, jadi saya tidak mau menyebarkan spoiler yang akan mengganggu kenyamanan orang.
Kalau mau cerita lengkapnya, kalian nonton sendiri aja, ya.
Nah, setelah tuntas menyaksikan dengan mata kepala sendiri, saya merasa film ini memiliki beberapa bagian yang menarik untuk diulas. Apa sajakah itu?
Tidak Harus Sempurna untuk Menjadi Pahlawan
Sebagaimana yang telah saya sebutkan, Thunderbolts adalah tim yang berisikan orang-orang yang cenderung kurang baik. Mereka bukanlah orang berhati mulia seperti Steve Rogers maupun memiliki kecerdasan melebihi lulusan Oxford macam Tony Stark. Thunderbolts terdiri dari mereka yang jauh dari kata “sempurna” untuk dianggap sebagai pahlawan.
Meskipun begitu, saya melihat hal ini sebagai bagian paling menarik. Sepanjang film, saya merasa tema tersebut adalah gagasan yang paling dominan diangkat. Penonton dapat melihat deretan adegan kilas balik yang memperlihatkan berbagai tragedi para tokohnya: U.S. Agent yang frustasi karena jabatannya sebagai The New Captain America harus dicopot; Red Guardian yang merasa gagal menjadi orang tua yang baik; Yelena yang tidak bisa lepas dari dosanya selama berada di Red Room, dan lain-lain.
Semua adegan tersebut ingin menyampaikan pesan bahwa masa lalu bukanlah sesuatu yang harus dilupakan. Sebaliknya, kita harus berdamai dengannya, tidak peduli seberapa buruknya itu. Sebab, masa lalulah yang membentuk diri kita sekarang; menjadi lebih kuat, lebih berani, dan mau mengesampingkan ego demi kepentingan bersama.
Film Marvel Paling Manusiawi
Berkaitan dengan poin sebelumnya, saya memandang Thunderbolts sebagai karya sinema Marvel yang paling manusiawi. Di sini, kamu tidak akan banyak bertemu dengan adu serangan laser, armor canggih, batu luar angkasa, musuh alien dari planet apa-namanya, dan aspek-aspek khas Marvel lainnya. Di sini, mayoritas tokohnya hanyalah manusia biasa dengan kekuatan yang cenderung tidak neko-neko.
Maka dari itu, “jualan” utama dari Thunderbolts adalah sisi humanisme itu sendiri. Oleh sebab itu, sejujurnya saya cukup terkejut dengan adegan klimaks dari film ini. Mulanya, saya berpikir bahwa adegan penyelesaian konflik di sini akan seperti film-film superhero kebanyakan: sang penjahat akan bertarung sampai meratakan kota dengan sang pahlawan, lalu si antagonis akan kalah, dan pahlawan akan menyelamatkan hari, kemudian semua orang akan tersenyum sumringah.
Ternyata, saya keliru.
Thunderbolts tidak memakai formula yang sama. Tanpa memberikan banyak spoiler, saya hanya akan mengatakan bahwa bagian resolusi film ini sangatlah manusiawi. “Pertarungan” yang ditampilkan lebih berkaitan kepada sisi batin alih-alih fisik. Dengan demikian, kalau kamu menantikan adanya jual beli baku hantam, kamu mungkin akan kecewa. Namun, kalau kamu memerlukan penutup yang emosional, Thunderbolts cukup dapat memberikan itu padamu.
Absolute Cinema?
Dari dua poin tersebut, kamu mungkin dapat melihat bahwa saya sangat menyukai film ini. Ya, itu tidak sepenuhnya salah. Namun, apakah saya merasa bahwa film ini tanpa cacat sama sekali dan layak disebut “absolute cinema”? Saya rasa belum juga.
Hal pertama yang cukup mengejutkan saya (in a bad way) adalah munculnya satu tokoh yang literally cuma “begitu doang?”. Saya tidak akan menyebutkan siapa tokoh itu, tetapi intinya, saya sungguh merasa tokoh tersebut sangat disia-siakan. Setidaknya, biarkanlah dia tetap bernapas hingga pertengahan film, melakukan beberapa adegan aksi keren, baru setelah itu coret saja namanya dari naskah.
Namun, itu tidak terjadi, dan kematiannya sungguh tidak menyisakan kenangan manis apa-apa.
Hal berikutnya yang kurang saya sukai dari Thunderbolts adalah film ini sedikit terasa seperti filler-nya Marvel dalam beberapa bagian. Sebagai contoh, kalau kamu adalah penggemar berat Marvel, kamu pasti sudah tahu bahwa Robert Reynolds bukanlah karakter biasa, melainkan sebuah tokoh dengan kekuatan dahsyat yang pasti akan memegang peranan penting di Marvel Cinematic Universe.
Singkatnya, wajahnya pasti akan sering tampil lagi di film-film Marvel mendatang.
Oleh karena itu, saya merasa pihak Marvel cenderung banyak “menyimpan” tokoh tersebut di Thunderbolts. Memang, ia hadir sejak awal hingga akhir film, tetapi potensinya sebagai tokoh yang lebih besar cenderung ditahan-tahan. Barulah, di babak final, ia mengeluarkan potensinya dan menampilkan adegan yang membuat saya tidak lagi bertanya-tanya apa jadinya jika Superman hadir di semesta Marvel.
Akan tetapi, sayangnya, porsi adegan tersebut sangatlah minim.
Jadi, secara keseluruhan, Thunderbolts layak diberi nilai 8/10. Layak ditonton oleh para penggemar Marvel maupun mereka yang berniat untuk melihat kegantengan Sebastian Stan.