Sebelum menjadi tetua kampung yang dihormati, Sikar adalah pemuda yang lahir dari rahim kemiskinan. Seorang yatim yang hari-harinya dihabiskan untuk berjualan kue cucur di pasar desa. Mengabdi pada seorang kiai adalah jalan sunyi yang sikar tempuh. Apa saja yang dimandatkan kepadanya, dia lakukan dengan penuh tanggung jawab. Waktu itu hari Jumat, kiai junjungannya ada jadwal mengimami di desa sebelah. Kiainya minta dihantar. Waktu itu sepeda motor merupakan barang yang sangat mewah dan sulit dijangkau. Satu-satunya alat transportasi yang tersedia hanya sepeda manual. Sikar mengayuh di depan, kiainya bonceng di belakang.

Aspal belum masuk desa. Jalanan akan sangat becek ketika musim hujan—dan akan sangat berdebu ketika kemarau datang. Setelah melalui jalan berkelok dan berbatu, Sikar memelankan kayuhan sepedanya. Dia turun sebab tidak kuat lagi untuk mengayuh. Sementara kiai junjungannya tetap duduk di jok  belakang, “Terus jalan, Nak.” Gumam kiainya. Sikar terus melangkah pelan sambil memegangi sepedanya. 

Orang-orang desa menganggap Kiai Sadruki seorang wali. Awas ada tamu tidak diundang. Ada tikus yang mau bertamu. Beliau bisa menebak bahwa ada maling yang mengintai sapi-sapi peliharaan warga. Sehingga ketika malam datang dan suaranya menggema di pengeras suara masjid—masyarakat harus bersikap awas. 

 Waktu itu masyarakat desa masih sangat jarang yang mengenyam bangku sekolah. Kiai Sadrukilah yang mengenalkan bahwa sekolah itu penting. Beliau mendirikan sekolah satu-satunya di desa. Karena buah kegigihannya—sekolah yang dia idamkan akhirnya berdiri. Masyarakat desa mulai percaya dan menyekolahkan anak-anaknya. Tapi nahas, belum sempat menjadi sekolah yang besar, Kiai Sadruki meninggal dunia.  Dia dilindas bus antarprovinsi sepulang dari mengisi pengajian.

- Poster Iklan -

Pada malam ketujuh kematianya. Selepas tahlilan usai, Sikar merebahkan tubuhnya pada lincak bambu di halaman rumahnya. Ia merasa didatangi oleh gurunya itu—lewat mimpi. Sikar merasa berada  di tengah hutan belantara. Hanya obor yang dia punya. “Jangan takut, tetap arahkan pandanganmu ke depan.” Gumam Kiai Sadruki. Tapi, rasa takut telah menyelimuti sekujur tubuhnya. Sikar khawatir jika tiba-tiba ada hewan buas menerkamnya dari belakang.

Kiai Sadruki bilang bahwa ketakutan hanya ilusi. Sikar sama sekali tidak mengindahkan ucapan kiainya itu. Ketakutan tetap menyelimuti hatinya. Keringat dingin bermunculan dari keningnya. Kiai Sadruki tetap melangkah dan Sikar mengikutinya dari belakang. Kini Sikar membelalak, matanya tertuju pada sendang yang memantulkan cahaya biru. Semua hewan yang ada di jenggala itu tampak berkumpul di bibir sendang. Kelihatannya mereka sangat haus. 

Layaknya hewan yang butuh air untuk melanjutkan hidup. Manusia juga butuh sekolah untuk memperhalus perasaannya. Batin dan pikiran butuh dididik. Butuh sekolah untuk mencerahkannya. Manusia bisa saja jadi hewan. Bahkan kadang bisa melebihi hewan ketika manusia angkuh dan tamak. Lanjutkan perjuanganku. Kata-kata terakhir yang diucapkan gurunya itu sangat  membekas dipikirannya Sikar. Sikar berkomitmen akan mengurus dan melanjutkan cita-cita kiainya.

***

“Kamu punya hajat apa?” tanya salah satu tetangganya. 

“Saya tidak punya hajat apa-apa, kok.” Sikar menjawab pertanyaan lelaki paruh baya itu dengan nada lirih.  

“Aku bermimpi kamu membangun istana yang begitu megah di puncak gunung. Tapi ketika waktu memasuki Subuh anak laki-lakimu membakar habis semua istana yang kamu bangun. ” Jawab tetangganya. Mimpi tetangganya itu menimbulkan firasat aneh. Apakah mimpi itu sebuah pertanda baik? Tapi kenapa anak laki-lakiku membakarnya? 

Sikar merasa mustahil jika harus membangun sebuah sekolah saat itu. Faktor finansial menjadi penyebab utamanya. Sementara masyarakat sudah mendesaknya. Sebelum jam makan malam—Sikar duduk bersama istrinya yang dia nikahin sepuluh tahun lalu. Mereka berdua mencari siasat bagaimana sebuah lembaga pendidikan bisa berdiri di desanya.

“Bagaimana jika rumah ini djadikan sekolah,” usulan istrinya itu sontak membuat Sikar terkejut. Memang dalam diri istrinya mengalir darah pendidikan. Bapak dan ibunya guru ngaji di desa. Perempuan yang dia nikahi itu tidak kekurangan pendidikan apa pun. Mulai semenjak madrasah ibtidaiah—dia sudah mengeyam bangku pesantren.  Istrinya juga telah mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an tiga puluh juznya.

Rumah kecilnya dijadikan sekolah. Sikar mulai dipercaya masyarakat untuk mengajar anak-anak mereka. Sikar pun mulai mengumpulkan buku dan kitab peninggalan kiainya dulu. Ada beberapa yang masih layak  pakai. Seiring berjalannya waktu  muridnya semakin banyak saja. Sikar dan istrinya mulai kerepotan mengajar. Mereka berdua sebenarnya ingin merekrut guru tambahan hanya saja takut tidak bisa menyejahterakannya.

Sikar dan istrinya mulai dituahkan. Mereka mulai sering diundang di acara-acara sakral seperti pernikahan dan syukuran 40 hari kelahiran bayi. Sekolahnya kini telah menjelma lembaga pendidikan yang unggul. Sikar berhasil mencetak anak-anak yang cerdas, pintar dan bagus akal budinya. Dari beberapa alumni yang pernah dia ajar dulu—kini mereka telah banyak yang menempuh jenjang sarjana.

Selang beberapa tahun—rumahnya tidak lagi dijadikan sekolah. Bantuan dari berbagai pihak membuat lembaga pendidikan yang Sikar pimpin berkembang pesat. Gedung sekolahnya bercokol megah di tengah desa. Sikar dan istrinya mulai merekrut tenaga guru. Karena mereka sudah tidak kuat lagi mengajar murid yang begitu banyaknya. 

Sebagai guru sekaligus pemimpin yang punya integritas tinggi. Sikar mencetak murid-muridnya menjadi pribadi yang baik, “Kalian harus menghormati kedua orang tua. Patuhi mereka berdua karena rida Tuhan ada pada mereka. Jangan sakiti hati orang tua dengan sikap kalian yang kurang ajar.” Sikar mengucapkan kata-kata itu ketika mengajar di kelas. Ucapannya begitu membekas di pikiran murid-muridnya. 

Tapi ada satu hal yang Sikar lupa bahwasanya—cobaan dalam rumah tangga akan datang dalam bentu tiga hal: harta, istri, dan anak. Dia tidak sadar dengan hal itu. Masyarakat begitu menghargai pendapat Sikar mengingat status dia sebagai guru dan orang yang ditokohkan. Semua muridnya takzim terhadap apa yang dia katakan. Tapi, cobaan dalam hidup selalu saja datang dalam berbagai rupa. Soal harta—dia dan istrinya sudah tidak kekurangan. Apa yang dia cita-citakan telah terkabulkan semuanya.

Petaka bermula ketika anak laki-laki kesayangannya menginjak bangku sekolah menengah atas. Masyarakat desa menganggap keluarga Sikar baik-baik saja, romantis tanpa ada masalah. Tapi anggapan itu keliru. Keluarganya mulai dirundung  masalah. “Pak, besok disuruh datang ke sekolah.” Anaknya menaruh surat yang diberikan sekolahnya di meja. Sikar membacanya. Surat itu berisi panggilan orang tua. Paginya, Sikar dan istri memenuhi undangan tersebut.

Mereka berdua diarahkan ke ruangan paling pojok, ber-AC dan harum. Tidak berselang lama seorang laki-laki berkacamata—lengkap dengan pakaian dinas mengucap salam. Sikar dan istrinya duduk berdampingan. Mereka mengobrol dan setelah beberapa waktu—akhirnya Sikar tahu bahwa yang mereka hadapi adalah kepala sekolah. “Putra Bapak dan Ibu memukul siswa yang lain. Sampai sekarang yang dipukul masih dirawat.” Peristiwa itu tentu sangat mengagetkan Sikar pasalnya, ketika di rumah anaknya tidak memperlihatkan sikap nakal apalagi anarkis.

Tidak hanya sekali, Sikar berulang kali dipanggil sekolahnya dengan kasus berbeda-beda. Mulai dari kasus pemukulan, merokok hingga kasus minuman keras. Tentu hal itu aib bagi keluarga besarnya. Mendidik anak orang berhasil tapi mendidik anak sendiri tidak becus. Apa kata masyarakat nanti?

“Permasalahan terkait anak kita jangan sampai masyarakat tahu.” Ucap Sikar kepada istrinya. “Apa kata orang nanti. Anak orang bisa dibuat alim sedangkan anaknya sendiri bertingkah kurang ajar.” Istrinya menenangkan suaminya. Istrinya menganggap bahwa semua akan kembali baik seperti semula. Istrinya bersikap tenang karena putranya sebentar lagi akan kuliah. Pemikirannya pasti akan lebih terbuka. Kenakalannya akan luntur. Dia akan sembuh.

***

Anaknya mulai mengenyam bangku kuliah. Sebenarnya hati kecil Sikar tidak setuju ketika anaknya memutuskan menimba ilmu di luar kota. Sikar mengerti risiko yang ada di luar sana. Pergaulan lebih sakti daripada ucapan orang tua. Salah pilih teman bisa menyebabkan salah jalan. Tapi anaknya bersikukuh bahwa pendidikan di luar kota lebih bagus. Lebih menjanjikan ketika sudah lulus nanti. Lebih cepat dapat kerja.

Hal yang Sikar inginkan adalah—dia mau menyiapkan anaknya sebagai penerusnya kelak. Sikar sudah berumur 65 tahun. Usia yang tidak muda lagi. Tenaganya sudah tidak sebugar dulu, napasnya ngos-ngosan. Tapi apa boleh buat. Satu-satunya yang bisa diharapkan adalah memberikan kepercayaan penuh kepada anaknya.

Suara telepon berdering, muka Sikar tampak padam. Firasatnya tidak enak. Entah Masalah apa lagi yang telah dibuat putranya. Perasaan Sikar runyam, kepalanya berat. Tidak mungkin aku ditelepon orang kampus jika tidak terjadi apa-apa. Kepalanya pening dan bertanya-tanya kesalahan apa yang telah dilakukan anaknya. 

“Dengan berat hati kami harus mengeluarkan putra-putri Bapak Ibu dari kampus ini.” Di dalam ruangan itu sudah terdapat anaknya dan seorang perempuan muda. Mereka duduk berdekatan. Anak perempuan itu pacar anaknya—rambutnya ikal, berwajah bulat dan warna kulitnya kuning langsat. Sikar duduk dengan istrinya sementara diseberangnya entah siapa. Sikar hanya bisa menerka bahwa mereka adalah sepasang suami istri, sepertinya orang tua dari pacar anaknya.

“Apa tidak ada jalan lain supaya anak saya tetap bisa melanjutkan kuliah di sini, Pak!” Pejabat kampus tersebut hanya menggelengkan kepalanya.

“Kami tidak bisa menoleransi kasus ini, Pak. Vidionya sudah tersebar luas!” Pejabat kampus itu kemudian merogoh gawainya dari dalam celana. Vidio tidak senonoh.

Tubuh Sikar hampir roboh melihat rekaman itu. Kepalanya pening, tangannya gemetar. Sementara anak semata wayangnya meneteskan air mata. Sikar juga melihat kekecewaan mendalam terpancar dari wajah istrinya. Semua yang ada di ruangan itu tertunduk.

 “Aku hamil!” 

Perempuan di seberang Sikar mulai mendekati anaknya. Tangisan pecah. Sikar benar-benar bingung. Apa yang harus dia lakukan. Sekolah yang dia rintis akankah sirna akibat kejadian yang menimpa keluarga kecilnya itu. Anak yang dia asuh dan dia siapkan untuk menggantikannya kini mengecewakannya. Dia menghamili anak orang di luar nikah. Apa kata wali murid nanti jika  kabar buruk ini sampai di telinga mereka? 

 

Pamekasan, 2025

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here