Di selatan sana—bukan selatan yang sarapan nya smoothie bowl bukan pula yang setiap sudutnya instagramable, tapi selatan yang kabutnya turun sebelum ayam selesai berkokok—hidup satu makhluk aneh. Namanya: Tikusruk.

Ia bukan hantu. Ia tak bisa diusir dengan bacaan atau dupa. Ia muncul hanya saat satu hal terjadi: ketika manusia mulai pura-pura jadi orang lain.

Menurut Uwa Sani, tetangga Boim yang selalu setia nyapu jalan pakai sapu lidi bikinan sendiri, Tikusruk muncul kalau seseorang yang tinggal di wilayah bukit selatan namun merasa tinggal di selatan urban.

“Eta mah lamun maneh nyarita, ‘literally, this tahu isi is amazing!’ padahal mesen di warung Emak Tati, dijamin tikusruk datang. Jempolna nyangsang.”

- Poster Iklan -

Boim adalah remaja yang sering digentayangi oleh Tikusruk, ia lahir dan besar di kaki bukit. Ayahnya seorang buruh kebun, ibunya dulu buka warung kecil sebelum akhirnya tutup karena warung-warung “instagramable” mulai naik daun. Dulu ia main layangan di tanah lapang yang kini berubah jadi spot foto berbentuk hati.

Ia hafal setiap kelok jalan dan bau tanah basah selepas hujan. Tapi setelah pindah ke kota untuk kuliah, semuanya terasa “kurang keren” di matanya. Ia mulai belajar membedakan antara kopi tubruk dan espresso, antara sandal jepit putih dan Sepatu sneakers necis yang biasa dipakai masyarakat urban. Ia mulai takut disebut kampungan.

Pada suatu hari, Boim dan beberapa temannya merencanakan liburan berlabel healing spiritual. Mereka naik mobil Niko, anak luar daerah yang biasa beli tote bag dari brand lokal seharga cicilan laptop tiga bulan. Plat mobilnya “Khas Masyarakat Urban”, dan konon katanya, itu adalah pemicu utama ekonomi dinamis di wisata daerah Selatan.

Di perjalanan, sebelum sampai ke lokasi, mereka mampir makan di sebuah warung yang jaraknya tidak jauh dari gerbang tempat wisata. Tempatnya sederhana, tapi ramai. Meja panjang dari triplek, bangku plastik yang ngilu kalau kena matahari. Mereka lapar, jadi tak banyak tanya soal harga.

Mereka makan dengan menu yang relative biasa: nasi hangat, ayam goreng, teh tawar panas.

Setelah makan, seorang teman Bernama revan sudah berniat baik untuk mentraktir makanan yang sudah dinikmati. Ia keluarkan sejumlah uang 100rb sambil bertanya, 

“Totalnya berapa, Bu?” 

Ibu warung senyum, lalu menjawab dengan ringan, seolah sedang ngasih info cuaca.

“Nasi ayam, Teh hangat 5 porsi ya??”. Sambil menghitung dengan kalkulator, ibu warung melanjutkan. “Dua ratus lima puluh ribu, Kak.”

Boim sontak melirik. Matanya menelisik ke piring. Nasi tak lebih dari segenggam, ayamnya tipis nyaris jadi krupuk.

“Lho, bukannya seratus ribu?” gumamnya pelan.

Ibu warung tertawa kecil, manis tapi mengandung ancaman. Seperti sedang berkata.

“Namanya juga tempat wisata. Masa nggak bawa bekal lebih? Lagian, kalian bukan orang sini, kan?”

Revan pun membayar semua makanan yang sudah dinikmati. 

Dan Niko, seorang remaja urban, nyeletuk dengan pujian, “Bu, nasinya pulen, ayamnya mantap. Saya doakan Ibu supaya cepat naik haji ya Bu, aamiinn…”

Meledaklah tawa. Suasana mencair. Semua tertawa, kecuali Boim. Ia tak ikut bercanda, karena sejak tadi, ada suara asing masuk ke telinganya—halus, tapi ganjil.

Berbisik dari arah rak kerupuk yang berdebu.

“Tikusrukkk…”

Boim menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Tapi dada kirinya mulai sesak, seperti ditekan dari dalam.

****

Sesampainya di gerbang wisata, mereka langsung disambut spanduk yang masih utuh namun terlihat sedikit kumuh bertuliskan:

SELAMAT DATANG DI NEGERI KABUT.

Tiket masuk yang semula mereka baca dari Google seharga 40 ribu per orang, tiba-tiba melonjak jadi “150 ribu.” Full servis katanya.  

Seorang teman bernama Raga mengeluarkan jurusnya,  jurus yang ia dapat dari warga local sekitar: menggunakan Bahasa local agar dapat harga special. Raga adalah teman yang berasal dari luar daerah. Namun dengan percaya diri, ia ucapkan Bahasa local walaupun seadanya.

“Kok harganya beda, Kang? Urang kan asli jalma didieu kang. Hayu atuh kang. Harga baturan waeee…” ucap raga, sambil menyodorkan ktp sodaranya yang katanya asli warga sekitar. 

Petugas parkir melirik KTP lalu menunduk dan tersenyum ke arah sepatu Boim yang bersih mengilat. Seolah berkata

“Sepatunya, sih enggak bilang gitu, Bang, Sepatu branded masa dompet pelit.” 

Lalu petugas pun melirik ke arah plat mobil Niko, Seakan menemukan kode alam dari plat Khas masyarakat urban. 

Dengan hati yang sedikit resah, mereka pun membayar tiket sesuai arahan. 

Boim terdiam. Suara itu muncul lagi. Kali ini, bukan dari rak kerupuk. Tapi dari knalpot mobil—penuh desis, bergaung seperti suara ban selip di turunan.

“Tikusrukkk… Tikusrukkk… ngarti teu ka diri sorangan?”

Boim memejam mata. Dalam satu detik, hawa dingin menyusup lewat sela-sela baju. Ia tahu, ada yang datang.

****

Kabut makin tebal ketika mereka jalan kaki ke area danau. Tapi hanya Boim yang merasa semakin berat melangkah.

Tikusruk muncul. Bukan lagi suara. Ia kini duduk di jok belakang mobil, tenang, seperti kawan lama. Kepalanya dari sandal jepit butut, tubuhnya kabut yang terus bergerak perlahan. Tak ada yang bisa melihatnya. Kecuali Boim.

“Maneh sok loba gaya. Hatena kosong. Akun medsos foya-foya. Tapi dompet? Garing jasa. Cik atuh, mikir…” 

Boim pura-pura menggaruk kepala. Ia menahan detak jantung yang makin kacau.

Tikusruk mendengus. Embun membentuk tulisan di kaca belakang:

“Ngaku wae maneh, cape pan pura-pura teh….”

****

Mereka akhirnya sampai di tepian danau. Pemandangan bagus, tapi hambar. Boim merebahkan diri di bawah pohon sambil mengamati sekitar. Warung kopi, tempat foto berbentuk hati, dan beberapa pengunjung yang sibuk mencari angle terbaik.

Tikusruk duduk di sampingnya. Kali ini, ia merampas HP Boim. Dan menulis sebuah caption.

“Captionnya: healing with the real ones, padahal maneh mah keur kabur tina kenyataan.”

Boim menghela napas. Tapi amarah mulai menggelegak. Ia berdiri tiba-tiba dan menatap langit.

“Gue cuma pengen nyatu sama tren, Tikusruk! Gue cuma pengen diterima!”

Tikusruk tertawa lirih. Tawa yang tidak memihak siapa pun.

“Maneh teh salah tempat. Di dieu mah, nu di teangan sanes gaya. Tapi kajujuran nu tulus.”

Lalu Tikusruk menghilang begitu saja. Tapi sebelum itu, ia menyelipkan sesuatu di pangkuan Boim:

Selembar plat nomor usang bertuliskan: JUJUR.

****

Perjalanan pulang sunyi. Tak ada lagu. Tak ada obrolan. Sepatu baru Boim kini penuh lumpur. Tote bag-nya ringsek. Tapi yang paling berisik justru pikirannya sendiri. Satu pertanyaan menggema terus-menerus:

Sejak kapan jadi diri sendiri harus minta izin sama gaya hidup?

Sesampainya di rumah, Boim langsung ke warung Emak Tati. Tempat kecil di sudut gang. Tempat paling jujur yang ia kenal.

“Mak, goreng buncis masih ada?”

“Aya loba pisan, Boim. Sareng teh manis biasa?”

“Iya. Dua. Satu lagi buat Tikusruk.”

Emak Tati tertawa. “Tikusruk? Nu sok muncul lamun urang hirup pura-pura?.”

Boim hanya ikut tersenyum. Entah kenapa, teh manis di gelas plastik itu terasa lebih jujur dari semua spot foto hari ini.

Mungkin Tikusruk udah pergi. Tapi pesannya tinggal di udara, mengendap seperti kabut:

“Jangan sampai kamu lupa siapa dirimu, hanya karena khawatir tidak cocok dengan caption sosmed mu.”

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here