Diskriminasi hingga hari ini terus menerus menjadi isu yang hangat diperbincangkan dan sering kali terjadi di negara yang katanya “Bhinneka Tunggal Ika” ini. Indonesia merupakan negara yang memiliki anugerah dengan keberagaman suku, budaya, dan agama. 

Dengan adanya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang dirumuskan oleh para pejuang, menjadi sebuah harapan untuk masyarakat saling bahu-membahu untuk menyuguhkan persatuan dan kedamaian di tengah perbedaan. Namun sayangnya kemajemukan ini malah menjadi momok besar yang menakutkan bagi sebagian masyarakat kita, yakni para minoritas. 

Salah satu bentuk dari adanya keberagaman agama di Indonesia adalah mengenai keberadaan rumah ibadah berbagai agama yang tersebar di seluruh wilayah. Rumah ibadah bukan hanya sebagai tempat menjalankan ritual-ritual keagamaan, tetapi juga simbol identitas dan eksistensi agama serta ruang untuk membangun kerukunan. 

Namun, hari ini eksistensi rumah ibadah menjadi momok menakutkan bagi masyarakat karena keberadaannya dianggap sebagian orang “mengganggu” kenyamanan. Oleh karena itu, kebhinekaan dan kebebasan beragama di negara ini harus dipertanyakan, terutama dalam konteks toleransi. 

- Poster Iklan -

Rumah Ibadah sebagai Simbol Kebhinekaan

Peran penting rumah ibadah adalah sebagai cerminan situasi keberagaman agama. Sebagai tempat untuk beribadah, rumah ibadah menjadi pusat spiritual bagi penganutnya untuk melakukan kegiatan ritual-ritual dalam meneguhkan iman dan mendekatkan diri pada Tuhan. 

Lebih dari itu, rumah ibadah merupakan simbol kebhinekaan yang menampilkan eksistensi dari berbagai agama di masyarakat yang majemuk. Seperti misalnya keberadaan, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta serta Masjid Muhajirin, Vihara Budhayana, Kapel Santo Yustinus, Klenteng Be De Miao, Pura Sakti Raden Wijaya, dan GKI Wiyung Royal Residence di Surabaya yang saling berdampingan mencerminkan kerukunan antarumat beragama.

Selain itu, rumah ibadah juga menjadi jembatan bagi antarumat beragama untuk membangun solidaritas dan menunjukkan kebhinekaan yang sesungguhnya. Banyak kita jumpai bersama, bahkan di sekitar kita, dimana rumah ibadah menjadi tempat saling berbagi dan tempat untuk memberikan perlindungan bagi korban bencana ataupun konflik, tanpa memandang latar belakang suku, ras, dan agama. Hal ini menunjukkan pentingnya rumah ibadah dalam kebermanfaatannya dalam hal sosial.

Adanya rumah ibadah masing-masing agama menjadi simbol terwujudnya kebebasan beragama di negara ini. Namun sayangnya, rumah ibadah menghadapi tantangan yang cukup serius di masyarakat. 

Kurangnya rasa toleransi dan sentimen politik di beberapa kalangan masyarakat membuat rumah ibadah dari agama minoritas di tempat tersebut sulit untuk didirikan. Serta peraturan yang dirumuskan oleh pemerintah terasa agak diskriminatif karena harus melalui proses yang rumit.

Tantangan Eksistensi Rumah Ibadah

Meskipun mempunyai peran penting dalam menciptakan kerukunan, eksistensi rumah ibadah di Indonesia memiliki tantangan yang cukup serius. Tantangan ini mencangkup beberapa aspek, yakni aspek kultural, sosial, dan politik. Aspek-aspek tersebut sering kali menjadi penyebab utama dalam terganjalnya proses pendirian rumah ibadah. 

Dalam ranah aspek sosial, tantangan utamanya adalah diskriminasi dalam pendirian rumah ibadah. Aturan yang dibuat oleh pemerintah yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006, yang mengatur pendirian rumah ibadah, sering kali menjadi kontroversi. 

Bagaimana tidak, di dalam surat tersebut tertuang aturan yang menyatakan bahwa syarat untuk mendirikan rumah ibadah adalah persetujuan masyarakat setempat sebanyak 60 orang, dan harus disetujui serta diberi rekomendasi oleh berbagai instansi. Akibatnya, rumah ibadah dari agama minoritas sering kali mendapat penolakan, pembubaran, bahkan pembongkaran. 

Selain itu, adanya sentimen agama yang berkembang di masyarakat menganggap bahwa adanya rumah ibadah agama lain sebagai ancaman dan mengganggu kenyamanan. Hingga pada akhirnya muncul aksi protes hingga aksi kekerasan. Fenomena ini memperlihatkan bahwa masyarakat kita masih belum dewasa dalam menyikapi keberagaman.

Lalu dalam aspek politik, karena akhir-akhir ini agama menjadi konsumsi yang banyak digemari masyarakat, pada akhirnya agama di politisasi, hingga efeknya pada isu rumah ibadah. Politisasi dilakukan dengan memberi janji dalam penjaminan pendirian rumah ibadah dan kenyamanan dalam beribadah, hal ini sering kali digunakan pada saat masa kampanye untuk memperoleh dukungan dari mayoritas maupun minoritas. 

Efeknya adalah hubungan antarumat beragama menjadi keruh karena terus ditabrak-tabrakkan. Selain itu, penegakan hukum terhadap tindakan intoleransi sering kali tidak ditangani dengan serius, sehingga peristiwa seperti ini terus menerus terjadi.

Terakhir, tantangan rumah ibadah muncul dari sisi aspek kultural. Budaya eksklusivisme yang tumbuh di beberapa kelompok masyarakat menjadi penghambat adanya toleransi. Budaya ini mengajak masyarakat untuk menutup diri dari hal diluar keyakinan mereka, dan menganggap bahwa yang di luar mereka adalah ancaman. 

Oleh karena itu, pendirian rumah ibadah minoritas di kawasan masyarakat dengan kultur budaya seperti ini akan sangat sulit dilakukan, karena pasti dianggap sebagai ancaman. 

Strategi Membangun Toleransi

Agar muncul kultur budaya dan lingkungan sosial yang mendukung adanya toleransi keberagamaan, dalam konteks rumah ibadah.  Maka diperlukan pendekatan yang holistik, sistematik, dan kolaboratif. Menumbuhkan ras toleransi bukan hanya tugas pemerintah, namun juga tanggung jawab setiap masyarakat dan pemuka-pemuka agama. 

Masyarakat harus sadar bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk, memiliki beraneka ragam suku, ras, dan agama, sehingga rasa toleransi harus ditanamkan dan selalu dirawat. Pemuka agama juga memiliki peran vital dalam mendakwahkan ceramah-ceramah yang mengajak untuk saling toleransi untuk membangun Indonesia yang rukun, sejalan dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. 

Selain itu, strategi yang dapat dilakukan dalam membangun toleransi dapat dilakukan dengan pendidikan multikultural, kebijakan yang inklusif, dan dialog antar agama. Pendidikan memiliki peran penting untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak usia dini. Kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah harus mengajarkan tentang pentingnya saling menghargai perbedaan, baik dalam budaya maupun agama. 

Kebijakan yang lebih inklusif juga harus dilakukan, pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan yang sering kali menghambat pendirian rumah ibadah. Pengkajian ulang dilakukan dengan pertimbangan agar semua masyarakat baik mayoritas maupun minoritas mendapatkan keadilan dalam beragama, dan tidak diskriminatif.

Dialog antaragama juga diperlukan agar komunikasi terus berjalan dari berbagai arah, untuk membangun rasa kepercayaan dan menghormati satu sama lain. Forum ini dilaksanakan dengan adanya dialog yang melibatkan tokoh agama, masyarakat, dan pemerintah untuk mendiskusikan problematika dan harapan yang diinginkan masing-masing orang yang dibangun dengan penuh rasa persatuan dan kebhinekaan. 

Kerja sama antar agama ini dapat mengatasi kegelisahan masyarakat dalam saling memandang agama atau kepercayaan.

Sebagai penutup, sekali lagi, inspirasi dari kacamata kemajemukan bangsa ini dapat kita lihat jika keberagaman suku, ras, dan agama bukan lagi menjadi momok menakutkan. Salah satu simbol dari cerminan hal tersebut adalah eksistensi rumah ibadah masing-masing agama yang ada di Indonesia. 

Melalui pendidikan, kebijakan, dan dialog, diharapkan tidak ada lagi kasus-kasus diskriminatif dalam proses pendirian rumah ibadah kaum minoritas. Kebhinekaan mengajarkan kita untuk saling memahami dan mengerti sebuah perbedaan, bukan untuk saling memarahi, namun untuk memberikan kenyamanan lewat indahnya persatuan

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here