Sebagai dosen yang telah mengajar puluhan tahun, tentu saya bisa membandingkan mahasiswa sekarang dan dahulu. Jelas ada perbedaan. Tetapi juga ada persamaan.  Apa persamaannya? Suka nongkrong. Saat saya jadi mahasiswa juga suka nongkrong, bahkan setelah jadi dosen. Dulu, nongkrongnya di angkringan karena kuliahnya di Solo. Sekarang tempat nongkrong popular disebut kafe atau warung kopi. Tulisan ini bercerita tentang warung kopi dan aktivitasnya.

Nongkrong jaman dulu identik dengan diskusi panjang, obrolan tentang masa depan, dan mahasiswa yang serius memikirkan ide-ide besar. Juga tempat membaca, Sekarang, suasananya berubah. Di warung kopi meja penuh minuman, colokan penuh kabel charger, tapi kepala justru terbenam di layar ponsel. Bukan untuk membaca materi kuliah atau riset, melainkan game, video pendek, gosip digital, dan hiburan tanpa henti. Bukan tempatnya yang salah, tapi kebiasaannya. Warung kopi seharusnya menjadi ruang belajar yang santai, namun pelan-pelan berubah menjadi pusat pelarian dari kenyataan akademik.

Kecanduan gadget bukan sekadar masalah kecil. Ia tampak sepele karena menyenangkan, tetapi dampaknya merusak dalam jangka panjang. Ketika mahasiswa terlalu larut dalam dunia digital hiburan, fokus belajar menghilang. Tugas kuliah terasa membosankan, presentasi kelompok dianggap beban, dan kerja keras diganti dengan pencarian jalan pintas.

Bukan lagi menulis makalah penuh pemikiran, tetapi menyalin cepat dari internet dan berharap dosen tidak sadar. Apalagi sekarang ada aplikasi Artificial Intelligence (AI). Pikiran yang terbiasa pada hiburan instan menjadi sulit memahami bacaan berat. Jurnal ilmiah terasa menakutkan. Buku terasa memusingkan. Bahkan berdiskusi di kelas menjadi memalukan karena tidak siap secara intelektual.

- Poster Iklan -

Yang lebih mengkhawatirkan, kecanduan gadget membuat mahasiswa kehilangan kemampuan berpikir kritis. Game dan video pendek tidak menantang otak untuk menganalisis. Tanpa disadari, otak terbentuk untuk selalu mencari kenikmatan cepat. Mau yang menyenangkan, bukan yang mengasah. Akhirnya, mahasiswa menjadi generasi yang cerdas secara teknologi, tetapi miskin kedalaman berpikir.

Gadget meningkatkan koneksi, namun menurunkan interaksi. Mahasiswa duduk bersama tetapi tidak saling bicara. Semua sibuk sendiri di layar masing-masing. Komunikasi berubah menjadi emoji, bukan percakapan. Hubungan terasa dekat secara virtual, tetapi jauh secara nyata. Mereka secara fisik bersama-sama, tetapi pikiran melayang sendiri-sendiri berdasar gadget masing-masing.

Namun, fenomena ini sebenarnya dapat berbalik arah jika budaya membaca dihidupkan kembali. Warung kopi bisa tetap menjadi tempat favorit mahasiswa, tetapi dengan cara yang berbeda. Bayangkan datang ke warung kopi membawa satu buku, satu jurnal, atau catatan penelitian. Bayangkan diskusi santai tentang ide bisnis, buku yang sedang dibaca, atau topik penelitian terbaru. Itu bukan romantisme masa lalu. Itu mungkin terjadi jika mahasiswa ingin mengubah gaya hidupnya.

Kebiasaan membaca memberikan manfaat luar biasa untuk masa depan mahasiswa. Membaca meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas. Orang yang rajin membaca terbiasa melihat peluang, merancang gagasan, dan menciptakan solusi. Membaca juga memperkuat kemampuan komunikasi. mahasiswa yang membaca akan mampu menyampaikan argumen secara logis, berbicara dengan percaya diri, dan menulis dengan gaya yang jelas. Dunia kerja memerlukan orang yang mampu menjelaskan gagasan, bukan hanya yang sekadar mengikuti instruksi.

Selain itu, membaca memperluas wawasan global. Mahasiswa yang suka membaca tidak hanya fokus pada apa yang terjadi di kampus, tetapi juga memahami isu teknologi, ekonomi, budaya, dan perkembangan dunia. Mereka memiliki visi jangka panjang, bukan hanya target lulus kuliah. Kebiasaan membaca juga meningkatkan rasa percaya diri. Ketika seseorang memahami banyak hal, rasa minder hilang dengan sendirinya. Presentasi di depan kelas tidak lagi menakutkan. Diskusi bukan lagi hal yang dihindari. Pengetahuan membuat tubuh berdiri lebih tegak.

Salah satu manfaat terbesar membaca adalah membentuk mental pantang menyerah. Ketika membaca biografi orang besar atau kisah penemuan besar, mahasiswa belajar bahwa kesuksesan lahir dari perjuangan. Tidak ada pencapaian tanpa dedikasi. Mahasiswa yang memahami hal ini tidak mudah menyalahkan keadaan, pemerintah, atau kampus. Ia fokus membangun dirinya sendiri. Ia sadar bahwa masa depan bukan sesuatu yang diberikan, melainkan sesuatu yang dikejar.

Kita tidak harus ekstrem membuang gadget. Teknologi bukan musuh, justru sahabat terbaik ketika digunakan dengan bijak. E-book, jurnal digital, kursus online, riset internet, semuanya bisa diakses dari ponsel. Gadget bisa menjadi alat menata masa depan, bukan alat untuk lari dari kenyataan. Yang penting adalah keseimbangan. Gadget untuk belajar, bukan untuk tenggelam dalam hiburan tanpa akhir.

Kalau budaya membaca dimulai sejak masih kuliah, manfaatnya akan terasa saat memasuki dunia kerja. Mahasiswa pembaca biasanya lebih adaptif karena terbiasa mempelajari hal-hal baru. Mereka lebih produktif karena mampu menganalisis masalah dengan cepat. Mereka lebih mandiri karena mampu mengambil keputusan berdasarkan informasi dan wawasan yang luas. Yang paling penting, mahasiswa pembaca memiliki peluang lebih besar menjadi pemimpin. Sebab pemimpin bukan hanya orang yang duduk di depan, tetapi orang yang memahami dunia dengan kedalaman pemikiran.

Bangsa yang kuat lahir dari mahasiswa yang kuat. Bukan mahasiswa yang santai tanpa visi, tetapi mahasiswa yang berani menuntut ilmu. Budaya membaca bukan hanya untuk terlihat pintar. Ini tentang menyiapkan masa depan. Kita tidak sedang berlomba menjadi viral di media sosial. Kita sedang berlomba untuk kehidupan yang layak, karier yang baik, dan masa depan keluarga yang bahagia. Dan semuanya dimulai dari kebiasaan keci yakni membaca. Tidak perlu memaksa diri membuka seratus halaman dalam sehari. Cukup satu halaman dulu. Konsisten. Perlahan. Tetapi pasti.

Gadget bukan musuh, tetapi kecanduan gadget membuat mahasiswa kehilangan fokus, kemampuan berpikir kritis, dan arah masa depan. Sebaliknya, membangun budaya membaca dapat meningkatkan kreativitas, komunikasi, wawasan global, kepercayaan diri, produktivitas, dan kesiapan karier. Masa depan bukan datang karena keberuntungan, tetapi karena kebiasaan baik yang dibangun hari ini. Mulailah membaca, selagi waktu masih berpihak kepada kita. Membaca juga kerena dilakukan di warung kopi.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here