Kalau TNI Boleh di Ranah Sipil, Buruh & Petani Juga Boleh Bawa Senjata, Kan? (sumber foto: Tempo)
Kalau TNI Boleh di Ranah Sipil, Buruh & Petani Juga Boleh Bawa Senjata, Kan? (sumber foto: Tempo)

DPR RI baru saja mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara  Nasional Indonesia (TNI). Salah satu poin penting dalam revisi ini adalah semakin luasnya  kesempatan bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun atau  mengundurkan diri terlebih dahulu. Dengan dalih memperkuat stabilitas nasional, keputusan  ini membuka ruang bagi militer untuk semakin dalam mengatur urusan sipil.

Jika logikanya  adalah stabilitas nasional, maka mari kita dorong logika ini lebih jauh: buruh dan petani juga  perlu menjaga stabilitas ekonomi. Jika TNI boleh masuk ke ranah sipil, mengapa buruh dan  petani tidak boleh ikut serta dalam ranah pertahanan? Mengapa mereka tidak boleh  dipersenjatai untuk membela hak-hak mereka dari ancaman eksploitasi dan penggusuran? 

Ketimpangan Kewenangan 

Keputusan ini menandakan sebuah ketimpangan dalam distribusi kekuasaan. Militer diberikan  kebebasan lebih besar untuk mengatur ranah sipil, sementara rakyat sipil tetap dilarang  memasuki ranah militer. Padahal, buruh dan petani adalah kelompok yang secara langsung  menopang ekonomi bangsa. Mereka lebih paham bagaimana mempertahankan kesejahteraan  nasional daripada tentara yang kini malah sibuk mengelola BUMN dan duduk di kursi  pemerintahan.

Mari kita bayangkan jika buruh dan petani memiliki Divisi Pertahanan Rakyat,  di mana mereka dipersenjatai untuk melindungi hak-hak mereka. Serikat buruh bersenjata  untuk memastikan hak upah layak. Pasukan tani bersenjata untuk mempertahankan lahan  mereka dari perampasan korporasi. Pedagang kaki lima dengan perlengkapan pertahanan agar  tidak digusur secara sewenang-wenang. Jika tentara bisa mengelola bansos, maka buruh bisa  mengelola keamanan nasional. Jika tentara bisa menduduki kursi pejabat sipil, maka petani  juga bisa menjadi jenderal. 

- Poster Iklan -

Logika yang Absurditas 

Jika militerisasi sipil dianggap sebagai solusi, maka sekalian saja sipilisasi militer juga  diberlakukan. Mungkin sudah saatnya pemerintah membentuk Akademi Militer Rakyat (AMR)  untuk melatih buruh dan petani dengan kurikulum seperti: Teknik Bertahan dari Upah Murah,  Strategi Gerilya Menghadapi Outsourcing, dan Taktik Perang Melawan Penggusuran. Apakah  ini terdengar tidak masuk akal? Ya, sama seperti tidak masuk akalnya kebijakan yang  memperbolehkan militer masuk ke ranah sipil tetapi tetap melarang sipil masuk ke ranah 

militer. Negara ini sedang bergerak ke arah di mana sebagian boleh melakukan segalanya,  sementara yang lain harus menerima nasib tanpa perlawanan. 

Selain itu, jika militer bisa duduk di jabatan-jabatan sipil dengan alasan kompetensi dan  kebutuhan strategis, mengapa kita tidak menerapkan hal yang sama kepada buruh dan petani?  Bagaimana jika setiap perwira militer harus menjalani setidaknya satu tahun kerja di pabrik  atau sawah sebelum diizinkan menduduki jabatan sipil? Dengan begitu, mereka dapat  memahami kondisi nyata kehidupan rakyat sebelum membuat kebijakan yang menyangkut  kepentingan mereka. Bayangkan seorang jenderal yang harus merasakan bagaimana rasanya  bekerja dengan sistem kontrak yang tidak jelas, atau bagaimana rasanya menjadi petani yang  lahannya dirampas atas nama pembangunan. 

Konsekuensi dari Kebijakan Ini 

Membiarkan militer semakin dalam masuk ke ranah sipil tanpa kontrol yang jelas berisiko  menciptakan pemerintahan yang semakin otoriter. Dalam sejarah Indonesia, kita sudah pernah  mengalami bagaimana militer memiliki kuasa yang begitu besar di era Orde Baru. Hasilnya?  Kebebasan sipil tercekik, kebijakan ekonomi lebih menguntungkan elite ketimbang rakyat, dan  suara-suara kritis dibungkam. Apakah kita ingin mengulang sejarah yang sama? 

Tak hanya itu, dengan memberi ruang lebih bagi militer untuk masuk ke ranah sipil, pemerintah  secara tidak langsung sedang mengerdilkan profesionalisme baik di tubuh militer maupun sipil.  Militer yang seharusnya fokus pada pertahanan negara malah disibukkan dengan urusan  administratif dan politik, sementara jabatan-jabatan sipil yang seharusnya diisi oleh profesional  dari latar belakang sipil malah ditempati oleh mereka yang memiliki pengalaman lebih banyak  dalam operasi militer ketimbang kebijakan publik. 

Bagaimana dengan dampaknya bagi buruh dan petani? Mereka akan semakin kehilangan ruang  untuk menyuarakan hak-haknya. Ketika buruh mogok menuntut kenaikan upah atau petani  berdemonstrasi menolak perampasan tanah, apakah mereka akan berhadapan dengan aparat  yang kini juga berstatus sebagai pejabat sipil? Atau lebih buruk lagi, apakah mereka akan  dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional hanya karena menuntut hak-hak dasar  mereka? 

Jika tentara boleh masuk ke ranah sipil dengan dalih stabilitas nasional, maka buruh dan petani  juga harus diberikan hak untuk menjaga stabilitas ekonomi mereka. Namun, kita tahu bahwa 

sistem yang ada saat ini tidak bekerja seperti itu. Kekuatan hanya diberikan kepada mereka  yang sudah memiliki kekuasaan, sementara rakyat dilarang memiliki alat untuk melawan. Lalu,  apakah ini benar-benar demokrasi, atau hanya oligarki berseragam? Mungkin sudah saatnya  kita mempertanyakan, siapa sebenarnya yang melindungi siapa? 

Jika pemerintah benar-benar serius ingin meningkatkan stabilitas nasional, maka bukan dengan  cara membuka jalan bagi militer untuk menduduki jabatan sipil. Sebaliknya, yang perlu  dilakukan adalah memperkuat profesionalisme masing-masing sektor, memastikan bahwa  militer tetap fokus pada tugas pertahanan negara dan sipil memiliki ruang yang cukup untuk  menjalankan pemerintahan serta membangun kebijakan tanpa tekanan dari institusi bersenjata. 

Selain itu, jika stabilitas ekonomi dianggap sebagai bagian dari stabilitas nasional, maka buruh  dan petani harus menjadi prioritas dalam kebijakan ekonomi. Mereka harus diberikan akses  terhadap sumber daya, perlindungan hukum, serta kebebasan untuk mengorganisir diri tanpa  takut ditekan oleh aparat yang kini semakin terintegrasi dalam pemerintahan sipil. 

Pada akhirnya, keputusan untuk merevisi UU TNI ini bukan hanya sekadar persoalan hukum,  tetapi juga cerminan dari bagaimana negara melihat relasi antara militer dan rakyat sipil.  Apakah negara ini ingin kembali ke masa di mana militer berkuasa di segala lini kehidupan?  Atau kita masih punya harapan untuk membangun negara yang benar-benar demokratis dan  berpihak pada rakyat?

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here