(Kembali) Membaca Cerita Anak itu Politis! (ilustrasi: Anya)
(Kembali) Membaca Cerita Anak itu Politis! (ilustrasi: Anya)

Membaca (lagi) cerita anak(bagi orang dewasa) adalah tindakan politis tersembunyi?

Ketika J.K. Rowling memahat seri Harry Potter, ia mengakui menulis dengan kesadaran akan pembaca dewasa: “Saya tidak menulis dengan orang dewasa dalam pikiran, tetapi saya tentu tidak akan meremehkan anak-anak, yang saya pikir membuka pintu bagi orang dewasa untuk membaca buku-buku tanpa rasa segan (karena itu buku anak-anak).” Pendekatan menulis yang dilakukan Rowling menciptakan teks yang tumbuh bersama pembacanya, mengungkapkan lapisan-lapisan makna baru seiring dengan kedewasaan pembaca. 

Subteks berlapis dalam sastra anak memungkinkan orang dewasa  terlibat dengan karya-karya ini pada tingkat intelektual bisa jadi mengejutkan mereka yang menganggap bacaan anak sebagai sekadar  pelarian. Sebaliknya, seperti yang disarankan oleh para teoretikus sastra, cerita anak yang berkualitas mengundang pengalaman membaca yang kompleks, termasuk pembaca dewasa mampu menghargai narasi permukaan maupun implikasi yang lebih dalam.

Saat membaca tokoh Nono dan kompleksitas masalah yang dihadapinya dalam Anak Rembulan, karya Djokolelono, pencerita anak terkemuka Indonesia yang kata esais Setyaningsih, tak boleh ketinggalan disebutkan namanya jika mengingat maestro cerita petualangan era 1970-1980-an, kita menemukan Nono ketakutan saat tersesat di dalam sebatang pohon kenari. Siapa sangka batang pohon kenari yang ditemui di jalan saat ia berlibur di rumah kakeknya di Wlingi, Blitar, melontarkannya ke masa perang kemerdekaan Indonesia, di zaman Indonesia dijajah Belanda. Perang? Tentu bukan dimulai oleh Nono dan anak-anak seusianya. Apa yang ingin disampaikan Rowling dan Djokolelono? 

- Poster Iklan -

Perry Nodelman, seorang ahli sastra anak, memperkenalkan konsep “teks bayangan”. Sebuah gagasan bahwa buku anak-anak beroperasi pada berbagai tingkatan, dengan makna yang dapat diakses oleh anak-anak berjalan seiring subteks yang lebih dalam, yang ditujukan untuk pembaca dewasa. “Alamat ganda” ini menciptakan apa yang Nodelman sebut “orang dewasa tersembunyi” dalam teks cerita anak, sehingga memungkinkannya berbicara secara bersamaan kepada para pembaca yang berbeda usia.

Membaca kembali cerita anak berpotensi menjadi aktivitas politis karena di dalamnya terdapat subteks dan simbolisme yang memengaruhi pandangan serta identitas pembacanya. Cerita anak sering kali secara tidak langsung mengkritisi norma dan struktur sosial yang ada. Melalui narasinya, cerita-cerita anak menyajikan kritik terhadap otoritas yang represif atau struktural, sehingga menginspirasi pembaca, terutama orang dewasa, untuk mempertanyakan dan menantang status quo

Coba lihat bagaimana Dr. Seuss (Theodor Geisel) menggunakan sajak sederhana dan ilustrasi fantastis untuk menyampaikan pesan sosial dan etika yang kompleks. Dalam The Lorax dan Horton Hears a Who!, Seuss membahas perusakan lingkungan, otoritarianisme, dan nilai setiap individu, tema yang beresonansi secara mendalam dengan keprihatinan orang dewasa. Seperti yang dicatat Seuss sendiri, “Membaca (tentang) anak-anak dan pemikiran anak-anak adalah dasar di mana negara ini akan bangkit. Atau tidak bangkit.”

Dalam konteks kebudayaan, kembali membaca cerita anak memungkinkan seseorang menyambung kembali dirinya dengan akar budaya dan nilai-nilai tradisional. Hal ini sangat politis, terutama dalam situasi modernisasi dan globalisasi, di mana nilai-nilai lokal bisa jadi terancam. Dengan membaca kembali, pembaca mengambil bagian dalam pelestarian dan penegasan identitas budaya mereka. Tentu ini juga salah satu alasan yang didaku oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang mengorkestrasi sayembara penulisan cerita anak dwibahasa (Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia) di seluruh kantor dan Balai Bahasa Provinsi di Indonesia, sejak 2022 hingga kini. 

Cerita anak yang ditulis dengan alamat ganda (dual address) kerap mengandung pesan alternatif yang membingkai kembali sejarah atau realitas sosial dengan cara yang berbeda. Pesan-pesan ini membuka ruang resistensi terhadap narasi dominan yang mungkin tidak adil atau represif. Melalui interpretasi ulang tersebut, pembaca dewasa mendapatkan alternatif cara pandang yang bisa menggerakkan perubahan sosial. 

Kita cek bagaimana J.M Barrie mengisahkan Peter Pan. Membaca cerita Peter Pan membuka ruang bagi pembacanya untuk menolak narasi dominan yang seringkali membungkam kebenaran dan keadilan. Dalam kisah petualangan yang penuh imajinasi, batasan-batasan yang ditetapkan oleh dunia orang dewasa, yang tidak adil atau represif, dilunturkan. Pelunturan ketidakadilan memberikan kesempatan bagi jiwa yang merdeka untuk merayakan keingintahuan, pemberontakan, dan pencarian kebenaran alternatif. Dengan menyelami dunia Neverland yang penuh keberanian dan keajaiban, kita seakan diajak untuk menyusup ke dalam ruang-ruang perlawanan, menemukan bahwa imajinasi adalah alat ampuh untuk mempertanyakan struktur kekuasaan dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru menuju masyarakat yang lebih adil.

Nostalgia yang dibangkitkan dari cerita anak menyajikan kenangan akan masa lalu yang ideal atau murni. Namun, kenangan ini juga bisa digunakan sebagai alat untuk mengkritik kondisi sosial saat ini, yang dianggap menjauhkan dari nilai-nilai ideal tersebut. Pembacaan ulang cerita anak menjadi medium untuk menimbang perbedaan antara masa lampau yang ideal dan realitas dewasa, mengangkat kritik sosial yang mendalam. Kerja-kerja tersebut rupanya dilakukan oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) yang pada Maret 2025 mulai menerbitkan kembali buku-buku klasik karya Djokolelono, Rahasia di Balik Lukisan, Terlontar ke Masa Silam, dan Pak Gangsir Juru Ramal Istana.

Dalam kata pengantar buku Terlontar ke Masa Silam, Setyaningsih, salah satu penyunting buku ini menyatakan bahwa jika mendengar kata “klasik” pembaca pasti akan teringat buku-buku pengarang Eropa dan Amerika, Mark Twain, Robert Louis Stevenson, atau Louisa M. Alcott, yang mempunyai tradisi kesusastraan cetak jauh lebih awal dan mapan. Selain buku-buku fiksi anak besutan Djokolelono, Indonesia juga punya Aman Dt. Madjoindo, yang menarasikan Si Doel Anak Betawi (1932) dan Anak Desa (1930), sebagai anak-anak yang bertungkus lumus dengan dunia sehari-hari dan tata sosial di sekitarnya. Jangan lupa, era 1980 akhir hingga 1990-an ada serial Lupus dan Lupus Kecil, garapan Hilman Hariwijaya dan Boim, yang menuturkan remaja dan bocah SD bernama Lupus yang menyuarakan catatan kritis anak-anak terhadap situasi Indonesia saat itu, termasuk saat Indonesia jatuh dalam krisis moneter (krismon).

Cerita anak memicu imajinasi dan kreativitas yang diyakini dapat menginspirasi pola pikir kritis. Imajinasi kritis inilah yang memungkinkan individu untuk merumuskan pandangan baru, memperdebatkan narasi resmi, dan mengusulkan alternatif yang mencerminkan keadilan sosial serta kesejahteraan bersama. Membaca kembali cerita anak bukan hanya sekedar kegiatan nostalgia, tetapi juga merupakan aksi politik yang berpotensi memengaruhi cara pandang terhadap kekuasaan, budaya, dan identitas. Hal ini membuka ruang bagi diskursus kritis yang dapat menggerakkan perubahan sosial dan mengaktifkan perlawanan terhadap sistem yang ada. 

Saat kita menavigasi kompleksitas kehidupan modern, dengan disrupsi di segala lini kehidupan, fiksi anak-anak menawarkan pengingat seperti yang disampaikan oleh Christopher Robin kepada Pooh, “Kau lebih berani daripada yang kau percayai, lebih kuat daripada yang kau tampakkan, dan lebih cerdas daripada yang kau pikirkan.” Fantasi dalam sastra anak-anak sering beroperasi sesuai dengan kerangka moral yang jelas di mana yang baik dan yang jahat dapat dibedakan, keadilan menang, dan keberanian dihargai, kepuasan dan kelegaan naratif yang terkadang ditolak oleh sastra dewasa, dengan penekanannya pada ambiguitas moral dan karakterisasi yang kompleks. Kejelasan ini bisa menyegarkan pembaca dewasa yang menavigasi area abu-abu etis kehidupan kontemporer.

Daya tarik abadi sastra anak-anak bagi pembaca dewasa menunjukkan bahwa batas-batas antara kepekaan anak-anak dan orang dewasa lebih berpori alias dapat ditembus (permeable) daripada yang mungkin disarankan oleh kebijaksanaan konvensional. Kembali ke buku bacaan masa kanak-kanak, atau remaja, orang dewasa tidak mengalami kemunduran melainkan justru mengintegrasikan berbagai aspek dari diri mereka yang membaca, merumuskan nilai-nilai baru dalam teks-teksnya, mengukuhi kebijaksanaan, dan kebenaran emosional, terlepas dari audiens yang dituju. Mungkin, membaca kembali cerita anak adalah kegiatan politis yang justru tak dicurigai penguasa. Mungkin.

- Cetak Buku dan PDF-

1 COMMENT

  1. Ada kesederhanaan pesan dan kedalaman makna dalam sebuah sastra anak. Seperti biasa, tulisan bunda selalu melekat dalam pemahaman Saya. Sehat selalu bu dosen????

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here