Fathu Makkah: Saat Kota Suci Ditaklukkan dengan Cinta, Bukan Dendam (sumber foto: sidogiri.net)
Fathu Makkah: Saat Kota Suci Ditaklukkan dengan Cinta, Bukan Dendam (sumber foto: sidogiri.net)

Bayangkan ini: Kota Makkah yang dulunya menjadi pusat penindasan terhadap kaum Muslimin, kini berdiri diam dan tak berdaya di hadapan pasukan besar yang datang bukan dengan amarah, tapi dengan misi kedamaian. Inilah kisah luar biasa dari Fathu Makkah, sebuah momen epik dalam sejarah Islam yang bukan hanya menggambarkan kemenangan strategis, tetapi juga kemenangan hati dan jiwa.

Awal Mula: Sebuah Perjanjian yang Dikhianati

Dua tahun sebelum peristiwa ini, kaum Muslimin dan Quraisy telah menandatangani Perjanjian Hudaibiyah, sebuah kesepakatan damai yang seharusnya bertahan selama sepuluh tahun. Tapi perdamaian itu tak bertahan lama. Salah satu sekutu Quraisy, yaitu Bani Bakr, menyerang Bani Khuza’ah—sekutu umat Islam. Lebih parahnya lagi, Quraisy ikut membantu serangan ini. Kesepakatan dilanggar, dan darah kembali tumpah.

Ketika kabar pengkhianatan ini sampai ke Madinah, Nabi Muhammad SAW tidak tinggal diam. Beliau kecewa, marah, namun tetap bijaksana. Tanpa suara keras atau ancaman terbuka, beliau menyiapkan strategi untuk membebaskan Makkah, bukan sekadar menaklukkannya.

Pasukan Damai yang Mengepung dari Empat Arah

Pada 10 Ramadan tahun ke-8 Hijriyah (sekitar 1 Januari 630 Masehi), sekitar 10.000 pasukan Muslimin berangkat dari Madinah menuju Makkah. Mereka dibagi ke dalam empat kelompok besar, masing-masing dipimpin oleh sahabat-sahabat utama: Khalid bin Walid, Zubair bin Awwam, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Sa’ad bin Ubadah. Strategi pengepungan dilakukan dengan cermat, namun bukan untuk membumihanguskan kota.

- Poster Iklan -

Nabi Muhammad SAW memberi pesan penting: “Jangan serang kecuali bila terpaksa. Jangan lukai mereka yang tidak melawan.” Ini bukan serbuan penuh amarah. Ini adalah gerakan yang dipenuhi semangat damai dan belas kasih.

Tak Ada Perlawanan yang Signifikan

Ketika pasukan Muslimin yang berjumlah sekitar 10.000 orang akhirnya tiba di sekitar Kota Makkah pada 10 Ramadan tahun ke-8 Hijriyah, suasana di dalam kota berubah drastis. Masyarakat Quraisy yang sebelumnya begitu sombong dan menindas kaum Muslimin, kini berdiri di ambang ketakutan. Mereka menyadari bahwa kekuatan yang datang dari Madinah bukan kekuatan biasa. Ini adalah pasukan yang dipimpin oleh sosok yang mereka kenal dengan baik: Muhammad bin Abdullah, seorang pemimpin yang kini bukan hanya dihormati karena kekuatan militernya, tapi juga karena keteguhan moral dan kebijaksanaannya.

Alih-alih menyiapkan barisan pertahanan besar-besaran, sebagian besar kaum Quraisy memilih untuk tidak melawan. Mereka menyadari bahwa mereka tak punya cukup kekuatan untuk menandingi pasukan Muslim yang sudah tersebar mengepung dari empat penjuru. Banyak di antara mereka yang memilih bersembunyi di rumah, menutup pintu rapat-rapat, atau mencari perlindungan di tempat-tempat yang disebut aman oleh Nabi Muhammad SAW sebelumnya, seperti rumah Abu Sufyan, Masjidil Haram, dan bahkan tempat-tempat suci lainnya di Makkah.

Meski mayoritas penduduk Quraisy menyerah tanpa perlawanan, ada segolongan kecil dari pihak Quraisy yang mencoba mempertahankan kota dengan senjata. Perlawanan terbatas ini terjadi terutama di sisi pasukan Khalid bin Walid, yang saat itu bertugas masuk dari arah bawah Makkah. Bentrokan singkat pun tak terhindarkan. Namun karena strategi pasukan Muslim yang rapi dan kekuatan mereka yang solid, perlawanan ini cepat diredam. Jumlah korban pun sangat minim dibandingkan skala peristiwa ini. Tidak ada pembantaian besar-besaran, tidak ada balas dendam, dan tidak ada kekerasan yang tak perlu.

Hari Pembebasan, Bukan Hari Balas Dendam

Tak ada gemuruh pedang yang membalas dendam. Tak ada jeritan dari mereka yang diburu karena kesalahan masa lalu. Hari itu, di bawah langit Kota Makkah yang cerah, sebuah peristiwa luar biasa terjadi—kemenangan tanpa amarah, pembebasan tanpa pembalasan.

Pasukan Muslimin yang datang dari Madinah bukanlah pasukan haus darah. Mereka tidak menjarah, tidak membalas luka lama yang dalam. Padahal, di kota ini, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya telah disiksa, diusir, dihina, bahkan diburu seperti binatang. Kota ini adalah tempat di mana Bilal bin Rabah pernah diseret di atas batu panas. Di sinilah Khabbab bin Al-Arat dibakar punggungnya dengan bara api. Di sinilah Sumayyah, wanita pertama yang syahid karena Islam, dibunuh secara kejam.

Namun, saat kekuatan berada di tangannya, Nabi Muhammad SAW tak mengangkat pedang untuk membalas. Sebaliknya, ia berdiri di hadapan orang-orang yang pernah menyakitinya dan berkata dengan penuh kasih:

“Hari ini bukan hari pembalasan. Hari ini adalah hari kasih sayang.”

Ungkapan itu bukan sekadar kata. Itu adalah tamparan lembut bagi ego manusia, dan pada saat yang sama, pelukan hangat bagi jiwa-jiwa yang ketakutan. Para pembesar Quraisy yang dulu begitu angkuh kini berdiri dalam diam, menunggu nasib. Tapi yang datang bukan murka, melainkan pengampunan. Yang terdengar bukan perintah penangkapan, melainkan janji keselamatan.

Nabi Muhammad SAW bahkan menjamin keamanan siapa saja yang masuk ke dalam Masjidil Haram, berlindung di rumah mereka, atau di rumah Abu Sufyan—tokoh Quraisy yang selama bertahun-tahun menjadi lawan utama dakwah Islam. Bayangkan, seseorang yang dulunya berdiri paling keras menentang Islam, kini justru diberikan kehormatan dengan kata-kata:

“Barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia aman.”

Ini bukan sekadar kebijakan politik. Ini adalah demonstrasi nyata dari akhlak kenabian, sebuah teladan yang menunjukkan bahwa Islam datang bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menyembuhkan.

Membebaskan dengan Hati

Fathu Makkah bukanlah sekadar kisah penaklukan kota. Ia adalah puncak dari perjalanan panjang spiritual, perjuangan, dan kesabaran Nabi Muhammad SAW. Tidak ada satu pun eksekusi balas dendam dilakukan. Tidak ada daftar hitam atau pembalasan dendam pribadi. Bahkan mereka yang pernah menyusun strategi untuk membunuh Nabi, ketika datang dengan hati yang tunduk, dimaafkan dan diterima kembali sebagai bagian dari umat.

Apa yang terjadi hari itu bukan hanya mengubah wajah Makkah secara fisik, tapi juga mengubah hati ribuan manusia. Mereka yang awalnya benci dan memusuhi Islam, kini melihat langsung wajah sejati ajarannya: pemaafan, cinta, dan kemanusiaan.

Penghapusan Berhala dan Penguatan Tauhid

Setelah memasuki Ka’bah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan penghancuran sekitar 360 berhala yang selama ini menjadi simbol kesyirikan di Makkah. Beliau menyapu bersih simbol-simbol penyembahan selain Allah dan mengukuhkan kembali ajaran tauhid di tempat paling suci umat Islam. 

Peristiwa itu tidak sekadar simbolis. Ini adalah momen kebangkitan spiritual, penyucian tempat paling suci di muka bumi. Ka’bah yang telah lama dikotori oleh praktik syirik, kini kembali menjadi pusat tauhid, pusat penyembahan hanya kepada Allah SWT. Tak ada lagi perantara, tak ada lagi sesembahan palsu.

Dalam narasi sejarah, ini menjadi titik balik besar. Bukan hanya bagi Makkah, tapi bagi seluruh Jazirah Arab. Dakwah tauhid yang sebelumnya ditindas, kini berdiri kokoh dan menjadi fondasi utama peradaban Islam.

Fathu Makkah: Lebih dari Sekadar Penaklukan

Fathu Makkah bukan hanya soal merebut kota. Ia adalah kisah tentang pengampunan yang luar biasa, kepemimpinan penuh hikmah, dan strategi tanpa kekerasan. Kota suci itu dibebaskan bukan dengan pedang, melainkan dengan keteladanan dan cinta kasih.

Banyak penduduk Makkah yang akhirnya memeluk Islam, bukan karena dipaksa, tapi karena tersentuh oleh akhlak sang Nabi. Inilah yang membuat Fathul Makkah dikenang bukan sebagai peristiwa militer, tapi sebagai momen transformatif dalam sejarah Islam.

- Cetak Buku dan PDF-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here